Qonitah
Qonitah

qurratu ‘aini, penabur kebahagiaan dalam hidupku (bagian 2)

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Qurratu ‘Aini, Penabur Kebahagiaan dalam Hidupku (Bagian 2)

wirid-16Qurratu ‘Aini, Penabur Kebahagiaan dalam Hidupku (Bagian 2)

Al-Ustadz Fathul Mujib

Pada bahasan terdahulu telah kita ketahui sifat hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman. Di antaranya adalah memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala istri dan keturunan yang akan menjadi penyejuk mata baginya. Telah kita ketahui pula arti kata qurrata a’yun, yaitu penyejuk mata yang akan menjadikannya bahagia. Air mata yang keluar darinya adalah air mata yang dingin karena ia bahagia melihat istri dan anak keturunannya menjadi hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang saleh. Matanya terasa dingin dan hatinya berbahagia karena keluarganya yang saleh.

Demikianlah sifat seorang mukmin yang jujur. Ia senang karena melihat keluarganya mengikutinya dalam hal ketaatan. Manfaat dari mereka di dunia benar-benar terwujud baginya, baik ketika ia masih hidup maupun setelah ia mati. Adapun di akhirat kelak, keluarganya yang ia tinggalkan terlebih dahulu akan kembali berkumpul dengannya di jannah yang penuh dengan kenikmatan. (Disarikan dari Ruhul Ma’ani karya al-Alusi)

Pada bahasan kali ini kita akan melihat sebagian kandungan lanjutan doa yang seharusnya kita panjatkan ini. Kesimpulan secara global dari doa ini adalah hamba Allah yang beriman memohon kepada Allah agar mengeluarkan dari tulang sulbi dan anak keturunannya orang-orang yang taat kepada Allah dan hanya beribadah kepada-Nya saja, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)

Mempersiapkan Bekal

Di antara kebahagiaan seorang yang beriman ketika di dunia adalah melihat istrinya sebagai wanita yang menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ditambah lagi kebahagiaan ini akan berlanjut hingga akhirat kelak. Dengan demikian, seorang yang beriman akan melakukan usaha dan upaya dengan sungguh-sungguh agar istri yang ia cintai menjadi istri yang benar-benar menjalankan ketaatan kepada Allah. Apalagi pada masa yang pembusukan akidah Islam semakin gencar dilakukan oleh para musuh melalui berbagai media ini. Arus yang meruntuhkan akhlak dan adab kaum muslimin semakin deras.

Di hadapan situasi dan kondisi yang demikian, tidak ada jalan lain kecuali menyandarkan keselamatan diri dan keluarga hanya kepada Allah, disertai menjalankan usaha-usaha yang mendukungnya, yaitu mendalami ilmu Islam dengan baik dan mengamalkannya. Dengan bekal ilmu, seorang mukmin memiliki senjata dalam menghadapi tantangan pada masa hidupnya dan bisa memberikan bekal kepada istri dan keluarganya.

Istri yang Menyenangkan Hati

Telah sering diulang penyebutan sifat hamba Allah yang beriman, yaitu ia senang apabila melihat istri dan keturunannya menjadi hamba-hamba Allah yang taat. Adapun sifat istri yang menyenangkan hati, sebagaimana telah disampaikan secara global, adalah taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hanya beribadah kepada-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Ayat dan hadits yang memerintahkan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala sangat banyak jumlahnya. Keutamaan-keutamaan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala juga telah sering didengar dan dibaca. Di sini akan kita simak sebagian saja dari ayat-ayat dan hadits-hadits tentang keutamaan wanita yang bertakwa.

تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٣

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (an-Nisa’: 13)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagi kalian amalan-amalan kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (al-Ahzab: 70—71)

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٥٢

“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (an-Nur: 52)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita menegakkan kewajiban shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, ia akan masuk jannah dari pintu mana pun yang ia kehendaki.”[1]

Dalam ayat dan hadits di atas sangat jelas keutamaan mereka yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, di dalam hadits di atas disebutkan secara jelas pahala yang akan didapatkan oleh wanita yang demikian dan demikian, yaitu ia akan masuk ke jannah dari pintu mana pun yang ia kehendaki.

Lalu, apa yang kalian cari, wahai para muslimah? Manakah yang akan kalian ikuti seruannya?

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik dan hidayah kepada para muslimah di negeri ini sehingga keteraturan, ketenteraman, dan kedamaian bangsa dan negara ini benar-benar terwujud.

Adapun kriteria istri yang salihah telah dibahas dalam rubrik-rubrik yang lain, sehingga cukuplah bahasan yang telah ada tersebut.

Tambahan Faedah

Dalam Tafsir as-Sa’di dinyatakan bahwa makna azwaj tidak sebatas istri, tetapi juga mencakup teman-teman dekat dan sejawat. Jadi, doa ini juga mencakup doa kebaikan untuk mereka. Wallahu a’lam.

Keturunan yang Menyenangkan Hati

Hamba Allah yang beriman akan sangat berharap anak-anak dan keturunannya menjadikannya bahagia di dunia dan di akhirat, yaitu dengan ia melihat mereka sebagai orang-orang yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, perkembangan kondisi dan situasi yang semakin memprihatinkan menuntutnya untuk ekstra hati-hati dalam menjaga, mendidik, dan mengasuh mereka.

Tugas berat untuk mendidik, mengasuh, dan menjaga anak-anak dan keturunan ini akan teringankan ketika ia telah mendapatkan istri yang salihah dan taat. Sang istri yang ia amanati untuk menjaga rumah dan harta serta anak-anak akan menjalankannya dengan baik.

Akan berbeda halnya ketika istri yang ia cintai lebih mementingkan karier, pekerjaan, dan tugas kantor. Tugas dan tanggung jawab sebagai istri dan ibu bagi anak-anak pun terbengkalai. Hal ini sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan masyarakat ‘modern’ yang menempatkan para wanita di pabrik-pabrik, di kantor-kantor, dan di berbagai bidang pekerjaan yang seharusnya ditangani oleh para pekerja pria. Sekian banyak problem sosial dan masyarakat berkembang setelah problem rumah tangga semakin kacau. Bukankah masyarakat terbentuk dari sejumlah keluarga? Ketika rumah tangga telah sedemikian kacaunya, kekacauan dan problem di tengah masyarakat dan negara juga akan ikut berkembang. Kenyataan yang kita saksikan menjadi bukti yang nyata di hadapan kita.

Cukuplah apa yang kita dengar dan kita saksikan tentang problem sosial masyarakat yang semakin ruwet ini menjadi pelajaran bagi kita untuk kemudian kita kembali kepada bimbingan wahyu ilahi dalam mendidik keluarga. Kita mulai dari diri sendiri kemudian orang-orang dekat yang menjadi tanggung jawab kita.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Ingatlah bahwa anak-anak adalah tanggung jawab orang tua. Kelak orang tualah yang ditanya tentang mereka. Apakah orang tua mengenalkan kepada anak-anak perilaku yang baik sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagai manusia yang hidup bersama orang lain? Atau ia biarkan putra-putrinya tumbuh dan berkembang mengikuti pola hidup dan cara pandang yang dijajakan melalui media-media hiburan, seperti televisi, yang tidak mendidik itu? Atau ia biarkan begitu saja putra-putrinya meniru gaya hidup dan pemikiran teman-temannya yang mereka cari sendiri di tengah-tengah masyarakat yang seperti itu kondisinya? Sudahkah sebagai orang tua ia membekali putra-putrinya dengan akidah dan iman yang kuat? Sudahkah ia membekali putra-putrinya dengan adab-adab Islam? Ini semua kembalinya kepada diri kita, mau atau tidak untuk menempuh bimbingan wahyu ilahi.

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ ١٠٨

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepada kalian kebenaran (al-Qur’an) dari Rabb kalian. Oleh sebab itu, barang siapa yang menjadikannya sebagai petunjuk, sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap diri kalian’.” (Yunus: 108)

وَأَنۡ أَتۡلُوَاْ ٱلۡقُرۡءَانَۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَقُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ٩٢

“Dan (aku diperintah) supaya aku membacakan al-Qur’an (kepada manusia). Maka dari itu, barang siapa yang menjadikannya sebagai petunjuk, sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya. Dan barang siapa yang sesat, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan’.” (an-Naml: 92)

Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam di bawah ini agar senantiasa menjadi peringatan bagi kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan di atas fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari)

Maksudnya, orang tualah yang menjadikan putra-putrinya keluar dari fitrah mereka. Orang tua pula yang membiarkan mereka mempelajari kejahatan dan keburukan melalui berbagai media. Sebenarnya, dalam bimbingan nabawi ini telah terdapat solusi untuk mengatasi kejahatan terhadap anak dan kejahatan anak itu sendiri, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh para orang tua terhadap anak-anak mereka agar anak-anak tetap terjaga fitrahnya.

Namun, akankah solusi nabawi ini dijadikan sebagai perhatian oleh semua kalangan yang telah kebingungan untuk mengatasi maraknya kejahatan terhadap dan oleh anak?!

Menjadi Imam

“… dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Jadikanlah kami, wahai Rabb kami, bisa mencapai derajat yang tinggi, yaitu tingkatan shiddiqin dan kesempurnaan sebagai hamba Allah yang saleh. Derajat itu adalah derajat sebagai imam dalam agama, sebagai orang yang menjadi qudwah (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam berucap maupun berbuat, sehingga diteladani dalam perbuatannya. Orang-orang yang bertakwa akan merasa tenang dengan ucapannya, dan orang-orang baik akan berjalan di belakangnya sehingga menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk dan menjadikan petunjuk al-Qur’an sebagai jalan petunjuknya. (Tafsir as-Sa’di dengan beberapa penyesuaian)

Dengan demikian, hamba Allah yang beriman mengharapkan ibadah mereka bersambung dengan ibadah anak-anak dan keturunannya. Ia akan senang apabila hidayah yang mereka dapatkan menyebar manfaatnya kepada orang lain sehingga menjadi lebih banyak pahala baginya dan lebih bagus tempat kembalinya. Oleh karena itu, diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Huraira radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ

“Apabila anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: anak saleh yang mendoakannya, ilmu yang bermanfaat setelah ia meninggal, atau sedekah jariyah.” (Tafsir Ibnu Katsir)

[1] Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib.