Qonitah
Qonitah

pola hidup bersahaja, upaya mencari kecintaan rabb subhanahu wa ta’ala

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Pola Hidup Bersahaja, Upaya Mencari Kecintaan Rabb subhanahu wa ta’ala

adab-5Al-Ustadz Marwan

Melongok Rumah Tangga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam

Rasul kita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, adalah manusia yang paling zuhud di dunia ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengumpulkan harta dunia, selain sedikit saja yang beliau sediakan untuk memenuhi utang yang menjadi tanggungan beliau. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسَرَّنِي أَنْ لَا تَمُرَّ عَلَيَّ ثَلَاثُ لَيَالٍ وَعِنْدِي مِنْهُ شَيْءٌ إِلَّا شَيْءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ

“Seandainya aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, niscaya aku tidak suka melewati waktu tiga malam dalam keadaan di sisiku masih tersisa sedikit dari emas tersebut, kecuali yang sengaja kusediakan untuk memenuhi utang-utang yang menjadi tanggunganku.” (HR. al-Bukhari no. 2389 dan Muslim no. 991 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Pada saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam wafat, baju besi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam masih tergadaikan pada salah seorang Yahudi. Beliau menggadaikannya karena membutuhkan gandum untuk keluarga beliau.

Demikianlah keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Hasil tarbiyah (pendidikan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tercermin pada keluarga beliau. Mari sejenak kita lihat kembali satu riwayat yang menggambarkan keadaan dapur istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kita longok keadaan dapur salah satu istri beliau, ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan kepada ‘Urwah, “Terkadang, selama beberapa bulan, tidak ada asap mengepul dari dapur rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.” ‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai bibiku, lalu makanan apa yang dikonsumsi oleh Anda dan Rasulullah? ‘Aisyah menjawab, “Kami mengonsumsi air dan kurma.”

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah bercerita, “Seorang wanita miskin datang ke rumahku bersama kedua anaknya. Ia meminta sesuatu kepadaku, tetapi saat itu aku tidak memiliki makanan selain sebutir kurma. Kuberikan kurma tersebut kepada si wanita. Ia pun membagi kurma pemberianku itu menjadi dua, memberikannya kepada kedua anaknya, lalu beranjak pergi. Selepas kepergiannya, masuklah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ke rumahku, lalu kuceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Barang siapa mengurusi anak-anak perempuan sebagaimana wanita tersebut, kemudian ia berlaku baik kepada mereka, kelak mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menggambarkan keadaan dapur-dapur rumah tangga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Salah satunya adalah dapur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dinyatakan oleh beliau radhiyallahu ‘anha sendiri, “Saat itu, aku tidak mendapati makanan di rumahku selain sebutir kurma.” Suatu hal yang dikenal pada kehidupan para shahabiyah, terutama ummahatul muminin, adalah kedermawanan mereka. Seandainya di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ada makanan lain selain sebutir kurma tersebut, pasti ‘Aisyah akan menyebutkannya dan memberikan makanan secukupnya kepada wanita yang datang tersebut. Karena itu, Ibnu Baththal radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan kedermawanan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebab, meski hanya sebutir kurma yang beliau dapati di rumah, beliau tetap lebih mengutamakan si wanita yang membutuhkan.

Definisi Zuhud

Kedermawanan dan tindakan ‘Aisyah mengutamakan orang lain yang lebih membutuhkan adalah salah satu perkara yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Sikap dan tindakan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat adalah definisi zuhud, seperti yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Di Antara Dua Pilihan, Mana yang Anda Inginkan?

Saudariku, semoga Anda senantiasa dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dunia adalah tempat dan masa di mana manusia ini hidup. Di dalam bahasa Arab, dunia bisa bermakna dekat atau rendah. Diistilahkan dunia dengan dekat, karena lebih dekat daripada akhirat. Keberadaan dunia adalah sebelum akhirat, sebagaimana firman-Nya,

وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ ٤

 “Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (dunia).” (adh-Dhuha: 4)

Sebab lain diistilahkan dengan dunia, karena dunia itu rendah, tidak ada nilainya sedikit pun dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah, dari al-Mustaurid bin Syaddad, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan,

لَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Sungguh, tempat cemeti salah seorang kalian di jannah (surga) lebih baik daripada dunia seisinya.

Tempat sepotong tongkat pendek dan kecil di surga lebih baik daripada dunia seisinya, dari awal hingga akhirnya. Demikianlah nilai dunia.

Disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, dari sahabat yang sama, yaitu al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْبُعَهُ فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

“Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan kehidupan akhirat melainkan semisal salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ke lautan (lalu menariknya). Lihatlah apa yang kembali (di jari tersebut).”

Apa yang melekat pada jari, seperti itulah nilai dunia.

Sesuai dengan definisi zuhud yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, selayaknyalah segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat itu ditinggalkan. Sebaliknya, segala hal yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat selayaknya dilakukan, meskipun seseorang hanya memiliki sedikit dari harta dunia. Demikian pula seseorang yang mendapatkan kelapangan dunia. Ketika ia mampu menggunakan apa yang ia miliki, baik harta benda maupun lainnya, untuk hal-hal yang bermanfaat di akhirat kelak, dia termasuk orang-orang yang zuhud.

Zuhud terhadap perkara dunia bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan, bukan pula dengan menyia-nyiakan harta benda. Akan tetapi, seseorang berusaha menjauhkan diri dari godaan/ujian dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠

 “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)

Dalam ayat ini, kehidupan dunia disebutkan sebagai lima hal yang seluruhnya tidak memiliki arti: permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan, dan berbangga-bangga dengan banyaknya anak dan harta benda.

Pada lanjutan ayat, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan,

وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ

“Di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.” (al-Hadid: 20)

Ampunan dan keridhaan Allah di akhirat diberikan kepada orang-orang yang mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Sebaliknya, azab yang pedih diberikan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan dunia daripada kehidupan akhirat.

Kalau begitu, mana di antara kedua hal tersebut yang Anda inginkan?

Kalau seseorang sejenak membaca dan mentadaburi al-Qur’anul Karim, sungguh ia akan mengetahui nilai dunia. Dunia tidak ada nilainya sedikit pun dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dunia hanyalah tempat bercocok tanam untuk kehidupan akhirat, maka lihatlah benih tanaman yang telah Anda tebarkan untuk dipetik di akhirat kelak. Jika yang Anda tebarkan adalah benih-benih kebaikan, berbahagialah dengan harapan memetik hasil yang Anda ridhai. Sebaliknya, jika yang Anda tebarkan adalah benih-benih kejelekan dan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, sungguh Anda merugi di dunia dan di akhirat. Namun, janganlah Anda mencela selain diri Anda sendiri. Kita memohon kepada Allah pemaafan dan keselamatan.

Bukan Akhir Segalanya

Para pembaca, rahimakumullah (semoga Allah merahmati Anda). Dunia bukanlah akhir segalanya, bukan negeri tempat tinggal selamanya. Dunia hanyalah persinggahan. Ia dilewati oleh musafir yang melakukan perjalanan panjang menuju negeri kekekalan, yaitu negeri akhirat. Sang musafir mengendarai tunggangannya tanpa menghiraukan kelelahan, berjalan siang dan malam. Terkadang ia harus singgah sejenak di suatu tempat sekadar untuk mengurangi kelelahan, kemudian segera beranjak kembali. Terus-menerus ia sebagai musafir hingga tiba ke negeri tujuan sebenarnya, tempat tinggal yang sesungguhnya, yaitu negeri akhirat.

Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, “Suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memegang kedua bahuku, kemudian bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.’ Kemudian, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jika engkau berada di waktu sore, jangan menunggu waktu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu waktu sore. Gunakanlah waktu sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan masa hidupmu untuk menghadapi kematianmu.” (HR. al-Bukhari)

Menjaga Fitrah Pola Hidup Bersahaja

Saudariku, rahimakumullah.

Pola dan gaya hidup para wanita kafir ataupun fasik telah disuguhkan dan dipaksakan di tengah-tengah masyarakat muslimin. Akibatnya, mayoritas wanita muslimah terbawa, bahkan tenggelam dalam arus perilaku wanita kafir ataupun fasik tersebut.

Melalui iklan-iklan yang bertebaran di sepanjang jalan perkotaan hingga ke pintu-pintu masuk jalan perdesaan, pariwara di berbagai media elektronik, atau ditayangkan dalam bentuk sinetron dan film, digambarkan bahwa kebahagiaan wanita secara khusus, atau kebahagiaan rumah tangga secara umum, adalah seperti yang ditayangkan oleh media-media tersebut. Hendaklah setiap muslimah menyadari semua tipuan yang merusak akhlak mulia dan mengubah fitrah muslimah dari pola hidup kesahajaan itu.

Saudariku, rahimakumullah.

Keadaan seperti ini dihadapi bukan dengan mengambil jalan pintas atau berputus asa sehingga seseorang larut dalam keadaan seiring perjalanan waktu. Akan tetapi, keadaan ini dihadapi dengan cara kembali mengenali fitrah dan mempelajari ilmu agama. Fitrah pola hidup sahaja telah dimiliki oleh wanita-wanita mulia di tiga generasi awal Islam. Oleh karena itu, kita perlu menggali pola hidup sahaja pada zaman keemasan Islam, yang dimiliki oleh para shahabiyah—semoga Allah meridhai mereka—dan wanita-wanita mulia pada dua generasi berikutnya.

Wanita-wanita di kalangan salafush shalih telah mencontohkan upaya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Inilah bentuk aplikasi pola hidup sahaja atau sikap zuhud mereka. Terungkap melalui perkataan mereka saat suami beranjak dari rumah untuk mencari penghidupan, “Suamiku, jauhilah usaha-usaha dan transaksi-transaksi yang diharamkan. Sungguh, kami mampu bersabar menahan lapar dan kekurangan, tetapi tidak akan mampu menahan panasnya azab api neraka.”

Carilah Kecintaan Allah, Petiklah Kecintaan Sesama

Dengan keimanan dan amal saleh, Allah subhanahu wa ta’ala akan menumbuhkan kecintaan sesama hamba. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَيَجۡعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحۡمَٰنُ وُدّٗا ٩٦

             “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah yang Maha Pemurah akan menjadikan rasa kasih sayang dalam (hati) mereka. (Maryam: 96)

Di antara bentuk amal saleh adalah seseorang tidak menujukan pandangan dalam rangka menginginkan setiap perkara dunia yang dimiliki oleh manusia sehingga menafikan sifat merasa cukup dengan pemberian dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat zuhud dalam pengertian merasa cukup dari perkara dunia yang ada di tangan orang lain adalah sifat yang terpuji dan akhlak yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ زَهۡرَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا لِنَفۡتِنَهُمۡ فِيهِۚ وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ ١٣١

“Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Adalah karunia Rabbmu lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)

Saudariku, rahimakumullah.

Marilah kita menjaga sifat zuhud: berupaya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Dengan sifat zuhud, merasa cukup dengan pemberian dan nikmat Allah semata, serta tidak menginginkan segala perkara dunia yang ada di tangan orang lain, sungguh seseorang akan mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika Allah Ta’aala telah mencintai salah seorang hamba-Nya, Dia akan menjadikan para hamba-Nya yang lain mencintainya. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

Jika Allah mencintai seorang hamba, Allah memanggil malaikat Jibril dan berkata, Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia. Jibril pun mencintai si Fulan tersebut dan Jibril menyeru seluruh penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai Fulan, maka hendaklah kalian mencintainya. Seluruh penduduk langit kemudian mencintainya. Lalu diletakkan penerimaan pada seluruh penduduk bumi untuk mencintainya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.