Qonitah
Qonitah

pentingnya belajar fikih

11 tahun yang lalu
baca 14 menit
Pentingnya Belajar Fikih
Pentingnya Belajar Fikih

Oleh: Ummu Maryam Lathifah

Apakah fikih itu? Apa hubungan fikih dengan ibadah? Mengapa ada banyak perbedaan pendapat dalam fikih? Apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita sebagai muslimah mempelajarinya? Sejauh mana kita harus belajar?

Berikut ini sekilas jawaban yang disarikan (dengan penyesuaian) dari kajian al-Muqaddimah fil Fiqhil Islami bersama asy-Syaikh Muhammad ‘Umar Bazmul hafizhahullah. Semoga Allah l memberikan manfaat dengannya.

Mempelajari fikih ibadah dan dalil-dalil hukum di dalam Islam adalah perkara yang penting bagi muslimah. Mengapa? Karena kita diciptakan untuk beribadah kepada al-Khaliq (Sang Pencipta), Rabb kita, yaitu Allah l. Kita membutuhkan fikih dalam shalat dan puasa kita, ketika kita hendak mandi haid atau mandi janabah, ketika kita hendak mengurusi jenazah, dst. Kita membutuhkannya di setiap aspek kehidupan kita.

Ibadah tidak terbatas pada bentuk-bentuk ritual tadi. Dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, ibadah adalah sebuah kata yang mengumpulkan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah l, baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kita telah mempelajari syarat diterimanya suatu ibadah dalam rubrik “Pilar” pada edisi perdana majalah ini. Kita tidak mungkin mengetahui berbagai ibadah yang dicintai oleh Allah k dan menjalankannya dengan benar tanpa mengenal fikih Islam dan dalil-dalilnya.

 

Definisi Fikih

Secara bahasa, fikih (al-fiqh) artinya al-fahmu (pemahaman). Allah l berfirman,

ﭽ  ﯽ  ﯾ  ﯿ    ﰀ     ﰁ   ﰂ  ﰃ  ﰄ  ﭼ

“Maka mengapakah orang-orang (munafik) ini hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?” (an-Nisa’: 78)

Kata al-fiqh secara bahasa juga berarti pemahaman yang mendalam/mendetail, seperti ketika Nabi n berdoa bagi Ibnu ‘Abbas a

 اَللهم فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Ya Allah, jadikanlah ia benar-benar memahami agamanya.”

Menurut Ibnul Qayyim t, kata al-fiqh bisa berarti pemahaman terhadap makna yang diinginkan, seperti ketika kaum Syu’aib berkata kepadanya,

ﮋ ﭶ  ﭷ  ﭸ        ﭹ  ﭺ   ﮊ

“Kami tidak memahami kebanyakan apa yang engkau ucapkan.” (Hud: 91)

Adapun secara syariat, makna kata al-fiqh adalah pengagungan terhadap segala sesuatu yang datang dari syariat. Nabi n bersabda,

 مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, Allah akan menjadikannya fakih di dalam agamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Fakih di sini maknanya adalah mengagungkan perintah Allah dengan menjalankannya dan mengagungkan larangan Allah l dengan menjauhi segala sesuatu yang dilarang dan dicerca oleh-Nya.

Secara istilah, al-fiqh (ilmu fikih) adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat ‘amali (membahas amalan ibadah anggota badan), yang disarikan dari dalil-dalil yang terperinci. Jadi, ilmu fikih membahas hukum syar’i, seperti hukum taklifi (yang berkaitan dengan hukum beban syariat: haram, makruh, mubah, mustahab, dan wajib) dan hukum wadh’i (yang bersifat penetapan/hukum positif, seperti sah atau rusaknya suatu amal, syarat atau sebab, atau pencegah suatu amalan).

Ilmu fikih terfokus pada amalan anggota badan yang berhubungan dengan mukallaf (orang yang dibebani syariat agama) dari sisi pewajiban, pengharaman, ketiadaan, dan sah atau rusaknya suatu amalan. Oleh karena itu, dari sudut pandang tersebut, ilmu ini membahas hukum-hukum ibadah, akhlak, adab, dan muamalah.

Ilmu fikih juga berkaitan dengan perkara yang kembalinya pada istinbath (pengambilan hukum) dari dalil-dalil syariat yang terperinci. Dalil-dalil fikih yang disepakati oleh para ulama ada empat: al-Qur’an, as-Sunnah (hadits Rasulullah n), ijma’ (kesepakatan para ulama umat ini), dan qiyas (analogi terhadap dalil-dalil yang lain). Dalil yang dibahas di dalam fikih bersifat terperinci untuk suatu masalah tertentu. Misalnya, dalil kewajiban wudhu adalah firman Allah l,

ﭽ ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕ  ﭖ  ﭗ  ﭘ   ﭙ  ﭚﭼ

 “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak berdiri untuk mengerjakan shalat, basuhlah wajah dan tangan kalian…. (al-Maidah: 6)

 Berbeda halnya dengan ilmu ushul fikih yang membahas dalil yang bersifat keseluruhan/komprehensif dari sisi penunjukannya dan cara pengambilan hukum dari dalil tersebut.

 

Hukum Mempelajari Ilmu Fikih

Ada tiga keadaan dalam masalah ini.

1.     Apabila yang dimaksud adalah mempelajari hukum syar’i yang dibutuhkan setiap hari oleh seorang muslim yang mukallaf agar ia bisa menegakkan ibadah kepada Allah l,,, seperti hukum bersuci, shalat, puasa, zakat, dsb, hukum mempelajari fikih dalam konteks ini adalah fardhu ‘ain (harus secara individual) bagi setiap orang yang sudah diwajibkan untuk menunaikan berbagai ibadah tersebut.

Dalilnya adalah sabda Nabi n,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Hal ini juga karena adanya kaidah ushul, “Suatu hal yang tidak akan sempurna sebuah kewajiban selain dengan adanya hal tersebut, maka hal tersebut juga menjadi wajib.”

Seorang muslim harus menunaikan perkara yang dituntut oleh syariat sehingga dia wajib pula mempelajari hukum perkara tersebut. Sebab, agama Islam tegak di atas dua landasan:

  • Kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah l.
  • Kita tidak mengibadahi-Nya kecuali dengan perkara yang Ia syariatkan.

Konsekuensi poin kedua adalah setiap individu muslim wajib mempelajari perintah ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah l, agar ibadahnya benar dan diterima.

2.     Terkadang, mempelajari ilmu fikih berhukum mustahab (dianjurkan/disukai) dalam hal yang merupakan tambahan terhadap perkara yang dituntut pada keadaan pertama di atas (baca: fardhu ain).

3.     Terkadang pula, menuntut ilmu fikih hukumnya fardhu kifayah. Ini terjadi apabila sebagian orang telah menunaikannya, gugurlah kewajiban dan dosa dari yang lainnya. Sebab, penduduk suatu negeri pasti membutuhkan keberadaan seorang ahli fikih di tengah-tengah mereka. Ahli fikih tersebut mengetahui hukum-hukum syariat sehingga bisa memberikan arahan kepada penduduk negerinya dalam berbagai permasalahan kehidupan mereka.

Keutamaan Mempelajari Fikih

Seluruh dalil syar’i yang menunjukkan keutamaan ilmu syar’i menjadi dalil juga bagi keutamaan mempelajari ilmu fikih, bahkan ilmu fikih adalah cabang ilmu yang pertama kali berhak masuk di dalam keutamaan tersebut. Misalnya, sabda Rasulullah n,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, Allah akan menjadikannya memahami agamanya.”

Demikian pula firman Allah l,

ﭽ  ﯧ  ﯨ            ﯩ  ﯪ   ﯫﯬ   ﯭ  ﯮ  ﯯ  ﯰ           ﯱ  ﯲ  ﯳ  ﯴ  ﯵ  ﯶ     ﯷ  ﯸ  ﯹ  ﯺ  ﯻ   ﯼ   ﯽ  ﯾ   ﭼ

“Tidak sepatutnya orang yang beriman itu pergi berperang seluruhnya. Mengapa tidak pergi sekelompok orang dari setiap golongan mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila kaumnya telah kembali kepada mereka, agar mereka dapat menjaga diri?” (at-Taubah: 122)

Perkembangan dan Periodisasi Ilmu Fikih

Dengan mempelajari poin ini, kita bisa mengambil banyak faedah, di antaranya adalah memahami sebab perselisihan di dalam disiplin ilmu ini.

1.    Periode fikih pada masa Rasulullah n.

Ciri-ciri periode ini, sandarannya adalah wahyu Allah l, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah (bimbingan) Nabi n. Sebab, Rasulullah n tidak berbicara dari hawa nafsu, tetapi ucapan beliau adalah perkara yang diwahyukan.

2.    Periode fikih pada masa sahabat Rasulullah n.

Periode ini ditandai dengan fatwa para sahabat g. Keilmuan para sahabat di dalam hukum syariat bertingkat-tingkat, sebagaimana halnya mereka bertingkat-tingkat dalam hal hadits yang mereka dengar dari Rasulullah n. Ada sahabat yang banyak fatwanya karena panjangnya masa hidupnya atau banyaknya peristiwa yang terjadi semasa hidupnya. Di antara imam fatwa di kalangan sahabat adalah al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali) dan al-‘Abadilah (para sahabat yang bernama Abdullah: Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin ‘Umar, dan Abdullah bin Abbas).

3.    Periode fikih pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi n) yang menegakkan fikih para sahabat dan berbicara berdasarkan apa yang mereka dengar dari para sahabat.

Periode sahabat dan tabi’in memiliki ciri istimewa, yaitu meluasnya pembahasan fikih dan menyebarnya ilmu fikih di banyak negeri. Hal ini disebabkan oleh menyebarnya para sahabat ke berbagai penjuru dunia dengan meluasnya wilayah kemenangan kaum muslimin. Ada sahabat yang tinggal di Syam, di Irak, dan di Mesir. Ada yang tinggal di Makkah, ada pula yang tetap di Madinah. Sahabat yang tinggal di suatu tempat menjadi salah satu menara fikih dan ilmu syariat di alam ini. Mereka menyebarkan ilmu yang mereka dapatkan dari Rasulullah n. Selain itu, mereka juga menyampaikan apa yang mereka ketahui dan ijtihad mereka di tempat-tempat tersebut. Setelah itu, para tabi’in meneruskan apa yang mereka dapatkan dari para sahabat.

4.    Periode fikih pada masa atba’ut tabi’in (para pengikut generasi tabi’in)

Periode ini adalah perkembangan dari periode sebelumnya. Pada masa inilah empat imam mujtahid dikategorikan: al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad bin Hanbal. Pada masa ini juga terdapat banyak imam besar, yang dengan berjalannya waktu mazhab fikih mereka terhapus. Misalnya, al-Imam al-Auza’i dan Sufyan ats-Tsauri. Periode ini melanjutkan periode-periode sebelumnya. Mereka fokus pada atsar (riwayat perkataan) para sahabat dan tabi’in.

Di antara manhaj (metode) ilmiah mereka adalah prinsip tidak keluar dari pendapat para sahabat. Para imam ini menyerukan agar manusia tidak mengikuti pendapat mereka tanpa melihat dalil yang mereka bawa, tetapi mengambil ilmu dari sumbernya, yaitu Rasulullah n dan para sahabat beliau.

5.    Periode fikih setelah para imam mujtahid

Pada periode ini, di tengah-tengah kaum muslimin mulai berkembang sikap taqlid (mengikuti suatu pendapat tanpa ilmu, tanpa melihat dalil pendapat tersebut) dan sikap bergantung pada pendapat para imam mujtahid.

 

 

Madrasah al-Atsar (Metodologi Atsar) dan Madrasah ar-Ra’yi (Metodologi Logika)

Dengan menyebarnya para sahabat ke berbagai penjuru dunia, keadaan negeri-negeri kaum muslimin di dalam masalah ilmu agama pun bertingkat-tingkat. Makkah dan Madinah (Hijaz) menjadi tempat istimewa karena banyak sahabat periwayat hadits yang masih tinggal di sana. Atsar/hadits dari Nabi n dan para sahabat banyak terdapat di Hijaz, sehingga penduduk Hijaz terkenal sebagai ahlul atsar (pemilik atsar).

Negeri-negeri lain tidak seberuntung Hijaz. Irak misalnya, di sana sedikit sekali dijumpai hadits Nabi n pada masa-masa awal Islam. Sebagian orang mulai memalsukan hadits Nabi n, sehingga para ulama negeri tersebut sangat berhati-hati mengambil hadits dari seorang penduduk Irak, terutama daerah Kufah. Karena kondisi ini, di dalam berbagai masalah ilmu agama dan fatwa, ulama Irak sering melakukan ijtihad berdasarkan ra’yu (pemikiran/logika) mereka. Oleh karena itulah, mereka disebut ahlur ra’yi.

Jadi, pada masa-masa awal para imam mujtahid ini muncul dua madrasah (metodologi) dalam hal fikih: madrasah al-atsar yang dimiliki oleh ulama Hijaz, dan madrasah ar-ra’yi yang ditempuh oleh ulama Irak.

Pada asalnya, sebenarnya dua madrasah ini tidak bertentangan. Masing-masing justru saling melengkapi. Yang dicela adalah ketika seorang ahlur ra’yi tetap berpegang pada logikanya, padahal sudah sampai atsar kepadanya; atau ketika seorang muslim tetap berpegang pada mazhab ulamanya, padahal dia mengetahui bahwa mazhab tersebut menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi n. Sebab, dengan sikap ini ia telah mendahulukan logika dan fanatisme mazhab daripada hadits Nabi n.

Seharusnya, ketika sampai kepada seorang muslim sebuah sunnah yang shahih dari Rasulullah n yang menyelisihi pendapat, keyakinan, atau apa yang diikutinya selama ini, ia harus bersegera mengikuti sunnah Nabi n tersebut. Ketika mendengar sebuah hadits shahih, semestinya ia membayangkan dirinya tengah berada di hadapan Nabi n dan mendengar beliau mengucapkannya. Dengan demikian, tidak mungkin ia mengucapkan, “Saya tidak akan mengambil hadits ini. Saya tetap teguh dengan logika saya, atau dengan apa yang diajarkan oleh ulama saya, imam saya, atau kyai saya.”

Karena menyebarnya fanatisme di tengah-tengah muslimin ini, para ulama ahli atsar mencela madrasah ar-ra’yi yang berpusat di Kufah. Namun, celaan ini tidak tertuju kepada ulama ahlur ra’yi yang mengambil metodologi logika karena keadaan yang memaksa, tetapi sebagai peringatan terhadap kaum muslimin secara umum. Tujuannya adalah agar mereka tidak bersikukuh dengan logika yang mereka ikuti ketika datang hadits shahih yang menyelisihi logika tersebut.

 

Empat Mazhab Fikih yang Terbesar

Sepeninggal al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad bin Hanbal, murid-murid mereka mengumpulkan ucapan dan pendapat mereka dalam ushul fikih serta metode pengambilan hukum (istinbath) mereka. Muncullah empat mazhab (sistem metodologi berpikir yang diterima sebagai sesuatu yang otoritatif) dalam Islam:

1.     Mazhab Hanafiyyah (pengikut al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit t [80—150 H])

Al-Imam Abu Hanifah t adalah salah seorang imam fikih yang besar. Kebanyakan ahli tarikh (sejarah) memastikan bahwa beliau sempat melihat sahabat Anas bin Malik a, meskipun tidak mengambil hadits darinya. Abu Hanifah yang tinggal di Irak terhitung sebagai ahlur ra’yi, meskipun beliau meriwayatkan beberapa hadits Nabi n yang terkumpul dalam Musnad Abi Hanifah.

Al-Imam asy-Syafi’i t pernah berkata, “Manusia membutuhkan Abu Hanifah di dalam disiplin ilmu fikih.”

Kaum muslimin sepakat bahwa Abu Hanifah termasuk imam fikih besar yang dijadikan rujukan dan diambil pendapatnya. Mereka juga tidak meridhai orang yang mencela beliau. Adapun ucapan ahlul bid’ah yang dinisbatkan kepada beliau, sebagian sudah dipastikan bahwa beliau rujuk dari ucapan itu, dan sebagian lagi termasuk dalam masalah yang bersifat ijtihadiyyah—artinya, apabila beliau salah, masih mendapatkan satu pahala, dan kita mengharapkan ampunan Allah l bagi beliau.

Di antara murid Abu Hanifah adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (wafat pada 128 H) dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (189 H).

2.     Mazhab Malikiyyah (pengikut al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi t [93—179 H])

Al-Imam Malik adalah imam seluruh dunia pada masanya dan imam Darul Hijrah (kota Madinah). Di antara kitab beliau yang paling masyhur adalah al-Mudawwanah dan al-Muwaththa’.

Di antara murid beliau yang terkenal adalah Abdurrahman ibnul Qasim (191 H) dan Abdullah bin Wahb bin Muslim (197 H).

Ciri istimewa fikih al-Imam Malik adalah mengikuti hadits dan atsar, sebagai penjagaan terhadap apa yang dahulu diamalkan oleh para salaf (pendahulu) umat ini di Madinah.

3.     Mazhab Syafi’iyyah (pengikut al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i t ([150—204 H])

Al-Imam asy-Syafi’i t termasuk Alu al-Muththalib (keturunan ahli bait Nabi n). Beliau sempat mengambil ilmu dari al-Imam Malik bin Anas t. Beliau seorang imam besar di dunia; digelari sebagai matahari bagi umat manusia.

Beliau adalah peletak dasar ilmu ushul fikih di dalam kitab beliau, ar-Risalah. Kitab beliau yang lain adalah al-Umm, kitab fikih yang dibangun di atas hadits dan dalil.

Di antara murid beliau yang ternama adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (270 H) dan Abu Ibrahim Ismail al-Muzani (264 H).

4.     Mazhab Hanbaliyyah (pengikut al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t [164—241 H])

Beliau adalah murid al-Imam asy-Syafi’i t. Beliau terkenal dalam hal mencari hadits dan berpegang pada hadits dan atsar. Fikih beliau dianggap sebagai intisari dari fikih al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Malik, dan al-Imam Abu Hanifah. Orang yang memerhatikan fatwa, permasalahan fikih, dan jawaban-jawaban beliau akan mengetahui hal ini dengan pasti.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal t adalah imam Ahlus Sunnah yang diberi ketetapan hati oleh Allah l untuk berpegang pada al-haq pada masa fitnah (cobaan) khalqul Qur’an, yaitu menyebarnya paham sesat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Fitnah tersebut terjadi pada masa Khalifah al-Makmun.

Di antara murid beliau adalah putra beliau, Abdullah (290 H), dan Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hani’ al-Atsram (273 H).

Di antara karya beliau adalah Musnad beliau yang terkenal, al-Asyribah, ar-Radd ‘alaz Zanadiqah wal Jahmiyyah, as-Su’alat, dan al-’Ilal wa Ma’rifatur Rijal.

Empat mazhab ini adalah mazhab fikih Ahlus Sunnah yang berkembang pengikutnya di seluruh penjuru dunia setelah periode para imam mujtahid dan bertahan hingga kini. Sangat disayangkan, banyak pengikut mazhab ini yang terjebak pada fanatisme mazhab. Padahal, seluruh imam mereka menyerukan agar manusia tidak bersikap membebek. Sebaliknya, mereka menyerukan agar umat mempelajari dalil yang mereka pakai dan mengambil sunnah yang shahih dari Rasulullah n.

Wallahu a’lam bishshawab.