Wanita, Pendidik Generasi Bangsa
Berebut kursi kekuasaan bukan lagi perkara yang tabu di masa dewasa ini. Tanpa malu, mereka mencalonkan dan mengusung diri dalam pemilihan wakil rakyat, kepala daerah, bahkan kepala negara. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.”
Cukuplah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjadi peringatan bagi kita. Apalagi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang keras ‘Abdurrahman bin Samurah untuk meminta kepemimpinan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Maka, celakalah bagi pemburu jabatan! Akan dibebankan kepadanya tugas itu tanpa ditolong oleh Allah subhanahu wa ta’ala .
Seorang pemimpin mengemban tugas dan tanggung jawab yang begitu berat. Karena itu, diperlukan seorang yang kuat, totalitas, dan memiliki integritas yang tinggi. Ia pun harus cerdas dan cerdik dalam mengatur strategi kenegaraan/daerah yang dipimpinnya. Seorang pemimpin publik harus mampu pula menciptakan citra yang baik bagi wilayah yang dipimpinnya. Sehingga daerah atau negeri yang dipimpinnya akan dihargai dan diakui oleh daerah/negara lain.
Maka dari itu, Islam mensyariatkan kepemimpinan itu diemban oleh kaum lelaki. Sebab, kaum lelaki telah diberikan kelebihan-kelebihan daripada kaum perempuan. Seorang wanita akan mengalami berbagai benturan apabila menjadi pemimpin, apalagi pada kepemimpinan publik yang sifatnya luas dan komplek. Hal ini bukan berarti diskriminasi gender. Akan tetapi, itulah ketentuan yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adalah sesuatu yang memprihatinkan, kala kaum perempuan ikut beramai-ramai mencalonkan diri sebagai pemimpin, menggelar kampanye-kampanye politik, berebut takhta kepemimpinan bersama para lelaki atau perempuan lainnya. Sungguh, hal ini adalah bentuk pelanggaran terhadap syariat Islam, mengeluarkan wanita dari fitrahnya, dan merupakan musibah yang bukan hanya berimbas pada diri pribadi, bahkan akan merugikan rakyat dan daerah/negara yang dipimpinnya.
Adapun kepemimpinan perempuan, syariat telah menentukan lingkupnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa seorang perempuan (baca: istri) adalah pemimpin dalam rumah suaminya. Itulah lingkup kepemimpinan seorang perempuan. Dia bertanggung jawab tentang keadaan rumah, anak-anak, dan pelayanan terhadap suaminya.
Pensyariatan kepemimpinan seorang perempuan dalam rumah suaminya ini tidak boleh dianggap sebagai pengekangan. Sebab, itulah kodrat yang ditakdirkan oleh Allah bagi seorang perempuan. Itulah tempat yang cocok dan sesuai dengan fitrahnya. Di dalamnya, seorang perempuan memiliki tugas dan peran yang tidak bisa diremehkan. Dari dalamnya, disusunlah fondasi ketentraman masyarakat. Bahkan, terciptanya generasi bangsa yang tangguh diretas oleh kaum perempuan (baca: ibu) terlebih dahulu. Jadi, dengan syariat tersebut sebenarnya Islam justru mengokohkan kodrat wanita sekaligus menempatkannya pada porsi yang tepat di dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, harus kita sadari sepenuhnya, tunduk kepada aturan syariat, mutlak dilakukan agar kita selamat di dunia dan akhirat. Inilah makna Islam secara umum: tunduk dan berserah diri kepada aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.