Qonitah
Qonitah

pengantar redaksi edisi 04

10 tahun yang lalu
baca 4 menit
Pengantar Redaksi Edisi 04

redaksiMenjadi lajang sampai usia senja bukanlah harapan setiap anak manusia. Ia membutuhkan pasangan agar bisa hidup berliput bahagia. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi jalan dan bimbingan untuk mendapatkan pasangan. Pernikahan, itulah pintu gerbang resmi mendapatkan kebahagiaan.

Ketika menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidup, seseorang tentu memiliki kriteria seperti apa suami atau istri yang dia harapkan. Seorang lelaki tentu ingin mendapatkan istri yang baik, begitu pula sebaliknya. Lantas, seperti apa kriteria seseorang dianggap baik untuk menjadi calon suami atau istri? Apakah dilihat dari sudut pandang kebagusan rupa, jumlah harta, atau keturunan?

Memang, tiga hal di atas sudah jamak menjadi pertimbangan. Namun, perlu diingat, memilih pasangan berarti memilih seseorang yang akan menjadi kawan dekat tempat menyimpan rahasia, teman berbagi suka dan duka, sepanjang umur kita. Selain itu, kita sedang memilih calon ayah atau ibu bagi anak kita. Lebih dari itu, seringkali pasangan akan memengaruhi keistiqamahan jalan hidup seseorang. Yang sebelumnya lurus bisa menjadi bengkok. Jika kebengkokan itu dalam hal akidah: syirik dan bid’ah, tentu lebih berbahaya karena menyangkut masa depan kita di akhirat. Karena itu, lihatlah bagaimana akidah, akhlak, muamalah, perangai, dan hal lain yang terkait dengan agamanya.

Islam menuntun seseorang agar memilih pasangan hidup yang saleh atau salihah. Bagaimana cara kita mengetahui lebih dekat saleh tidaknya seseorang? Menurut Islam, mengenal calon pasangan tidak boleh dengan pacaran. Bisa jadi, ada yang menyoal, bagaimana bisa tahu sifatnya kalau tidak boleh pacaran?

Di sinilah letak keindahan dan kesempurnaan Islam. Jika melarang sebuah pintu kejelekan, Islam memberikan jalan keluar yang penuh keluhuran. Islam mensyariatkan adanya ta’aruf (proses saling mengenal) yang penuh kehormatan dan penjagaan, baik terhadap lelaki maupun perempuan. Setelah itu adalah nazhor, lelaki melihat perempuan yang akan dilamarnya. Jika cocok, diteruskan ke khitbah (lamaran). Setelah lamaran pun, Islam masih memberi batasan hubungan di antara calon suami istri ini. Bagaimana pun, mereka belumlah menjadi apa-apa dengan sekadar lamaran, hingga dilakukan prosesi akad nikah.

Sekarang, coba kita ‘tengok’ pacaran. Sekian banyak larangan syariat diabaikan. Sebagai contoh ‘kecil’, berduaan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Lebih dari itu, pasti ada acara menyentuh lawan jenis. Bisa jadi dengan sekadar memegang tangan, bisa jadi lebih dari itu. Yang lebih dari itu semua pun bisa terjadi. Apalagi kalau kita melihat gaya pacaran anak muda sekarang yang dilandasi oleh nafsu syahwat. Dalih mengenal calon pasangan hanyalah hiasan. Akhirnya, sering terdengar adanya pernikahan MBA (married by accident), menikah karena kecelakaan.

Bisa jadi, masyarakat memandang MBA lebih “mending”. Sudah telanjur berisi, malu jika tak ada suami. Padahal, menurut syariat, seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh dinikahkan. Pernikahannya tidak sah. Banyak pula kasus perempuan harus “bertanggung jawab” sendiri karena si lelaki “lari”. Belum lagi beberapa survei—meski hasilnya diperdebatkan—yang menyebutkan, di beberapa kota besar, tergolong susah mencari gadis yang masih menjaga kehormatan. La haula wala quwwata illah billah. Kita memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari semua ini.

Maka dari itu, siapkanlah diri Anda menjadi seorang yang saleh atau salihah sehingga layak dipilih. Siapkan pula diri Anda menjadi orang tua yang saleh, baik, dan bijak. Bagaimana caranya? Ya, tidak ada jalan selain mempelajari ilmu agama yang benar dan mengamalkannya. Sebab, sekadar ilmu agama tanpa pengamalan, tidak bisa membuat orang tua menjadi teladan.

Maka dari itu, awali dari diri kita. Mari kita landasi kehidupan kita dengan ilmu yang benar, berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi n, menurut pemahaman salafush shalih. Ini pula yang menjadi bukti bahwa cinta kita kepada Rasul n itu ada. Bukan cinta sekadar di ujung lisan, melainkan cinta sejati yang berakar kuat di dalam hati.

Tidak bisa dikesampingkan adalah doa. Senantiasa kita panjatkan doa kepada Allah agar memberi kita taufik dan bimbingan. Sebab, tanpa kehendak dan pertolongan Allah, segala daya dan upaya manusia tidaklah bermakna.

 

***