PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah, pujian agung nan sempurna tiada hentinya kami sanjungkan kepada-Nya. Allah Azza Wa Jalla, pemilik sifat malu dan telah menganugerahkan sifat malu itu kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sang Pendidik yang mempunyai akhlak mulia lagi terpuji.
Pembaca Qonitah yang dirahmati Allah, malu adalah pesona indah yang terpancar dari seorang wanita yang mulia. Ia adalah mutiara yang menghias kehidupannya. Perilaku santun, berwibawa, dan menjaga kehormatan diri tumbuh darinya. Tidaklah sifat malu tersemat pada diri seseorang, melainkan kebaikanlah yang terpancar darinya. Ia adalah akhlak yang diwariskan oleh para nabi secara turun temurun.
Orang yang memiliki sifat malu akan tercegah dari hal-hal yang tidak layak diperbuat. Pantaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
“Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukan apa saja yang kamu suka.”
Sejenak kita renungkan. Ya, hadits di atas adalah kacamata yang sangat pas untuk melihat sekian banyak kebobrokan moral di sekeliling kita. Umbar aurat, berpacaran, bukanlah hal yang asing lagi kita jumpai. Bahkan, tanpa malu, hanya dengan kata cinta mereka berbuat mesum layaknya suami istri. Terjadilah petaka yang mengerikan. Sebuah kenistaan, di usia muda belia, ia sudah dituntut menjadi ibu dari seorang anak yang tak didamba.
Di sisi lain, dada ini terasa sesak ketika membaca sekian banyak berita perselingkuhan. Di negeri yang mayoritas muslim ini, perselingkuhan terjadi hampir pada semua level, dari kalangan atas hingga rakyat jelata. Timbul pertanyaan, apakah sebabnya? Bisa jadi, setiap kasus memiliki jawaban yang berbeda. Ada yang merasa dikhianati oleh pasangan lantas balas berkhianat. Ada yang terkena sindrom “CLBK” (cinta lama bersemi kembali), bahkan banyak pula, yang sekadar memuaskan nafsu syahwatnya yang buas. Timbul pertanyaan lain, tidakkah mereka merasa malu ketika perbuatan itu diketahui oleh orang lain? Jika jawabannya ya, bukankah seharusnya mereka merasa lebih malu terhadap Allah l Yang Maha Melihat?
Namun, ada hal penting. Di suatu keadaan, kita harus bisa menepis rasa malu. Pepatah mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan”. Kalau kita sedang menempuh perjalanan menuju sebuah kota, lantas tersesat di jalan, kerugian kita mungkin ‘hanya’ pada urusan waktu dan bahan bakar, disertai sedikit rasa sesal dan kesal. Kita masih bisa mencari jalan yang benar untuk kembali ke arah tujuan. Bagaimana halnya dengan urusan agama kita, yang menentukan jalan kita di akhirat? Kalau kita malu bertanya sehingga tersesat, ujungnya adalah neraka. Di sana, sesal tidak lagi berguna.
Karena itu, letakkan rasa malu pada tempatnya yang tepat. Untuk melanggar perintah Allah dan menerjang larangan-Nya, tentu kita harus malu. Tetapi, bukanlah tempatnya, malu dalam mencari ilmu.
Nah, pembaca. Sudah penasaran dengan pembahasan sifat malu? Silakan membaca lembar demi lembar majalah kesayangan Anda ini. Dapatkan pula faedah ilmiah di sajian rubrik-rubrik lainnya.
Selamat membaca!