Hidup yang baik dan bahagia, itulah idaman setiap muslim. Sebagaimana kaum pria, kaum wanita pun mendambakan kebahagiaan hidup. Semua sama, tiada yang berangan-angan menjalani hidup yang sebaliknya.
Sudah seharusnya wanita muslimah mendambakan kebahagiaan hidup dengan makna yang sebenarnya. Kebahagiaan yang didambakan itu akan terwujud—dengan izin Allah—setelah ditempuh sebab-sebab yang mengantarkan kepadanya, yaitu beriman dan beramal saleh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Dalam ayat ini Allah bersumpah bahwa siapa pun yang beramal saleh, baik lelaki maupun perempuan, ia akan memperoleh kehidupan yang baik dan akan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik daripada amalannya.
Al-Qur’an menjelaskan kepada kita bahwa amalan akan disebut sebagai amal saleh jika memenuhi tiga kriteria:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
“Apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah kepada kalian, ambillah; dan apa yang dilarangnya, jauhilah.” (al-Hasyr: 7)
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan seluruh ibadah hanya untuk-Nya.” (al-Bayyinah: 5)
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Dari ayat ini kita pahami secara logis bahwa orang yang tidak memiliki iman, amalannya tidak akan berbuah dan tidak akan membawanya kepada kehidupan yang bahagia di dunia, apalagi di akhirat.
Pemahaman ini telah disebutkan oleh Allah secara jelas dalam ayat-ayat lainnya. Di antaranya:
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٦
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, serta sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 16)
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمَۡٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡٔٗا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٣٩
“Dan orang-orang kafir itu amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمۡۖ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَرَمَادٍ ٱشۡتَدَّتۡ بِهِ ٱلرِّيحُ فِي يَوۡمٍ عَاصِفٖۖ لَّا يَقۡدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَىٰ شَيۡءٖۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلضَّلَٰلُ ٱلۡبَعِيدُ ١٨
“Orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Hal itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Kehidupan Baik yang Dijanjikan Oleh Allah, di Dunia atau di Akhirat?
Menurut sebagian ulama salaf, kehidupan baik yang dijanjikan oleh Allah dalam ayat di atas bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah kehidupan di surga.
Menurut mereka, hidup di dunia tidak bisa dikatakan sebagai hidup yang baik secara mutlak. Sebab, kehidupan dunia tidak lepas dari beraneka musibah, beragam kesedihan, rasa sakit, kepenatan, keruwetan, dsb. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan,
وَمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٞ وَلَعِبٞۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ لَهِيَ ٱلۡحَيَوَانُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٦٤
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)
Para ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan baik yang disebutkan dalam ayat ini adalah kehidupan di dunia. Dengan demikian, dalam ayat ini Allah memberikan jaminan kepada orang yang beriman dan beramal saleh dengan dua kebaikan sekaligus, yaitu kebaikan di dunia dan di akhirat. Itulah kandungan doa yang selalu dipanjatkan oleh orang-orang mukmin,
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١
“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)
Wujud Kebaikan Hidup di Dunia
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa kebaikan hidup (hayah thayyibah) yang dijanjikan oleh Allah dalam ayat ini adalah ketika di dunia. Menurut beliau, kebaikan tersebut meliputi berbagai kebaikan dan kebahagiaan.
Beliau menukilkan penafsiran dari ulama salaf tentang kalimat ini, di antaranya dari Ibnu ‘Abbas dan selainnya yang menafsirkan kehidupan yang baik sebagai rezeki yang halal, ‘Ali bin Abi Thalib menafsirkannya sebagai qana’ah, sedangkan adh-Dhahhak menafsirkannya sebagai rezeki yang halal, taufik untuk beribadah kepada Allah, dan kelapangan dada dalam menjalani ketaatan.
Menurut Ibnu Katsir, hidup yang baik terwakili oleh tiga penafsiran ini. Hal ini dikuatkan oleh hadits riwayat Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash h bahwa Rasulullah ` bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam, mendapat rezeki yang cukup, dan diberi oleh Allah rasa qanaah terhadap pemberian-Nya kepadanya.”
Rezeki yang cukup adalah harta yang tidak kurang dan tidak lebih dari kebutuhan. Dengan kata lain, sederhana dan pas-pasan. Dengan rezeki yang cukup inilah seseorang terbebas dari meminta-minta kepada orang lain.
Qana’ah artinya merasa cukup dengan pemberian Allah kepadanya.
Lebih Jauh tentang Qana’ah
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, dalam Shaidul Khathir, menukil ucapan Syaiban ar-Ra’yi kepada Sufyan, “Wahai Sufyan, anggaplah perkara duniawi yang tidak diberikan oleh Allah kepadamu sebagai anugerah dari-Nya untukmu. Sesungguhnya Allah tidak memberikannya kepadamu bukan karena pelit kepadamu, tetapi karena kelembutan-Nya kepadamu.”
Kata Ibnul Jauzi, “Saat kurenungkan ucapan ini, aku yakin bahwa ucapan ini benar-benar muncul dari orang yang sangat memahami hakikat hidup. Ya, manusia terkadang memiliki ambisi dan cita-cita tinggi, tetapi tidak mampu meraihnya. Maka dari itu, ketahuilah, ketidakmampuannya dalam meraih asa itu sebenarnya lebih baik dan lebih pas baginya.
Sebab, jika ia mampu meraihnya, hatinya tidak akan jernih lagi. Otaknya ruwet dan bercabang, memikirkan cara menjaga hartanya dan upaya agar hartanya bertambah.
Ketika ambisinya makin kuat, umurnya akan tersia-siakan. Hati yang sebelumnya mengutamakan akhirat, lambat laun cenderung kepada dunia. Kalau hati sudah cenderung kepada dunia, dan ternyata dunia enggan mendatanginya, itulah kehancuran.
Kalau ia kehabisan modal dan mengalami kesulitan dalam mengembangkan dunianya, hal itu menjadi sebab jatuhnya harga dirinya, cepat atau lambat. Kalau dia mati dalam keadaan hatinya masih berambisi meraih dunia, sungguh, ia binasa dengan hati kecewa.
Sadarilah, orang yang berambisi terhadap dunia ibarat orang yang sedang mengasah pedang; pedang itu kelak justru menghabisinya tanpa disadarinya.”
Ibnul Jauzi juga menyebutkan dalam kitabnya, ‘Uyunul Hikayat, bahwa al-’Umari as Saqti berkata, “Aku melihat Bahlul berada di sebuah kuburan. Ia sedang menggaruk-garuk tanah kuburan itu dengan kakinya. Kutanyakan kepadanya, ‘Mengapa Anda di sini?’
‘Ya, aku senang berada di tengah-tengah manusia yang tidak pernah menyakiti. Di saat aku pergi, mereka pun tidak pernah menggunjingku,’ jawab Bahlul.
Kukatakan kepadanya, ‘Tahukah Anda bahwa sekarang ini semua barang mahal?’
Kata Bahlul, ‘Hah, andaikata harga satu biji biji apa? mencapai satu mitsqal, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, aku bisa beribadah kepada Allah sebagaimana Ia perintahkan kepadaku, dan aku yakin Dia pasti akan memberikan rezeki kepadaku seperti yang dijanjikan-Nya. Apakah engkau akan menghabiskan umurmu hanya untuk mengejar dunia yang tidak akan teraih, sedangkan mata pun tidak bisa terpejam gara-gara ingin merasakan kelezatannya?’.”
Bisyr bin al-Harits al-Hafi rahimahullah berkata, “Sungguh, rasa qana’ah memberikan segala kemuliaan. Tiada kemuliaan yang melebihi qana’ah. Oleh sebab itu, jadikanlah qana’ah sebagai modal hidupmu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Aku mendapati bahwa qana’ah adalah baju kekayaan. Oleh sebab itu, aku begitu berambisi untuk meraih baju qan’aah itu walau hanya sepucuk darinya. Dengan itu saja, aku berhasil menjadi orang yang kaya raya tanpa dirham. Aku berjalan melewati dunia dalam keadaan merasakan ‘izzah (kehormatan dan kemuliaan), ibarat raja yang (bertahta di atas singgasana).”
Demikianlah, Saudariku muslimah, keagungan sifat qana’ah. Sepantasnya kita berusaha memilikinya. Bagaimana tidak, sementara Nabi kita berdoa kepada Allah,
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ كَفَافًا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki bagi keluarga Muhammad secukupnya.”
Mari, kita banyak bersyukur dan tidak banyak menuntut. Sederhanakan keinginan, jauhi panjang angan. Sesungguhnya nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kita terlalu banyak dan tidak bisa diukur. Berbahagialah dengan nikmat iman. Syukuri dan peliharalah keimanan itu dengan menjaga amal ketaatan, niscaya hidup akan lebih baik, biidznillah.