Pembaca muslimah, semoga Allah merahmati Anda. Mayoritas wanita mengalami apa yang disebut masyarakat sebagai datang bulan atau menstruasi. Syariat menyebutnya sebagai haid. Bagaimana kalau baju kita terkena darah haid? Apakah kita bisa memakainya kembali setelah suci dari haid? Apakah kita dapat mengenakannya untuk shalat?
Melihat bayi yang mungil, lucu, dan menggemaskan mungkin akan membuat kita tidak tahan untuk tidak mencium dan menggendongnya. Namun, ketika kita menggendong atau memangkunya, ternyata bayi tersebut buang air kecil dan air kencingnya mengenai baju kita.
Bagaimana cara menyucikan baju yang terkena air kencing bayi, baik bayi laki-laki maupun bayi perempuan? Bagaimana tuntunan syariat Islam dalam hal ini?
Simak penjelasan berikut ini.
Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah balig kemudian menjadi kebiasaan pada wanita tersebut pada waktu-waktu tertentu.
Darah haid adalah najis menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana dinukilkan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (1/588). Beliau menyebutkan ijma’ (kesepakatan) ulama tentang najisnya darah haid dan berdalil dengan hadits dari Asma’ bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anha yang bercerita, “Seorang wanita datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu berkata, ‘Baju salah seorang dari kami terkena darah haid. Apa yang harus dia lakukan terhadap baju tersebut?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ
“Dia mengerik darah itu, kemudian menggosok bagian baju yang terkena darah itu dengan ujung jari dengan air, lalu mencucinya, kemudian shalat dengan baju tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Cara menyucikan baju yang terkena darah haid adalah dengan mengerik darah tersebut. Apabila darah haid telah kering, dikerik/digosok dengan ujung jari (kuku) atau kayu, atau bisa juga disikat, kemudian dicuci dengan air yang dicampur daun bidara atau dengan sabun dan yang semisalnya. Setelah itu baju tersebut dicuci seluruhnya.
Cara-cara di atas berdasarkan hadits-hadits berikut.
Ia menceritakan, “Aku mendengar seorang wanita bertanya kepada Rasulullah tentang bajunya, ‘Apabila saya telah suci dari haid, apa yang saya lakukan terhadap baju tersebut?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
إِذَا رَأَيْتِ فِيْهِ دَمًا، فَحُكِّيْهِ، ثُمَّ اقْرُصِيْهِ بِمَاءٍ، ثُمَّ انْضَحِي فِي سَائِرِهِ، فَصَلِّي فِيْهِ
“Apabila kamu lihat darah pada baju itu, keriklah, kemudian gosoklah dengan ujung jari dengan air, kemudian cucilah seluruh baju itu, lalu shalatlah dengan baju itu’.” (HR. Abu Dawud, ad–Darimi, al–Baihaqi, sanadnya hasan sebagaimana dalam ash-Shahihah 1/539 no. 299)
Beliau berkata,
كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيْضُ، ثُمَّ تَقْرُصُ الدَّمَ مِنْ ثَوْبِهَا عِنْدَ طُهْرِهَا فَتَغْسِلُهُ، وَتَنْضَحُ عَلَى سَائِرِهِ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ
“Dahulu apabila salah seorang dari kami haid, ketika suci dari haidnya, dia menggosok darah yang mengenai bajunya dengan ujung jari, kemudian mencuci bagian baju yang terkena darah, lalu mencuci baju itu seluruhnya, kemudian shalat dengan baju itu.” (HR. al-Bukhari no. 308, Ibnu Majah, dan al-Baihaqi 2/406—407)
Dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang darah haid yang mengenai baju, bagaimana mencucinya? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
حُكِّيْهِ بِضِلَعٍ، وَاغْسِلِيْهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Keriklah baju itu dengan kayu, dan cucilah dengan air yang dicampur dengan daun bidara.” (HR. Abu Dawud dalam Shahih Sunan Abu Dawud 342, an–Nasai 1/195—196, Ibnu Majah 628, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih–nya 1/141)
Dia menceritakan bahwa Khaulah bintu Yasar radhiyallahu ‘anha datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya hanya mempunyai baju satu lembar, lalu saya haid di situ. Apa yang harus saya lakukan?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْهِ ثُمَّ صَلِّي فِيْهِ
“Apabila kamu sudah suci dari haidmu, cucilah baju tersebut, kemudian shalatlah dengannya.”
Khaulah bertanya lagi, “Bagaimana jika darah tersebut tidak hilang?” Rasulullah bersabda,
يَكْفِيْكِ غُسْلُ الدَّمِ، وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Cukup bagimu mencuci darahnya, dan bekasnya tidaklah memudaratkanmu (tidak apa-apa bekasnya).” (HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 351)
Al-Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar (1/50) berkata, “Dari sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, لَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ (bekasnya tidaklah memudaratkanmu) dapat diambil faedah bahwa tetap adanya bekas najis yang sulit dihilangkan tidaklah menjadi soal. Akan tetapi, hal ini setelah diubah warnanya dengan za’faran (pewarna merah), pewarna kuning, atau selain keduanya, sampai warna darah tersebut hilang. Sebab, warna darah itu menjijikkan. Bisa jadi, orang yang melihatnya akan menganggap bahwa dia tidak bersungguh-sungguh dalam menghilangkannya.”
Dari hadits-hadits di atas dapat diambil faedah sebagai berikut.
Rasulullah menyebutkan tiga tahapan:
Apabila air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan mengenai badan atau pakaian, cara menyucikannya berbeda, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berikut.
Dia bercerita, “Dahulu saya melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau ingin mandi, beliau berkata, ‘Hadapkan kepadaku tengkukmu (balikkan badanmu).’ Aku pun membalikkan badanku dan menutupi beliau. Kemudian, didatangkanlah Hasan atau Husain kepada beliau, lalu cucu beliau tersebut kencing di dada beliau. Aku pun datang untuk mencucinya, tetapi beliau bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَولِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ[1] مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
“Dicuci dari kencing bayi perempuan dan dibasahi dari kencing bayi laki-laki.” (HR. an–Nasai no. 1158, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih–nya 1/143, Ibnu Majah 526; dinyatakan shahih oleh al-Hakim 1/166)
Dia berkata, “Seorang bayi laki-laki didatangkan kepada Rasulullah untuk ditahnik[2], kemudian bayi tersebut kencing di baju Rasulullah. Rasulullah pun langsung membasahi baju beliau dengan air.” (HR. al–Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah dengan tambahan, “Beliau tidak mencucinya.”)
Ia bercerita, “Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib pernah kencing di pangkuan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Aku pun berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, berikan baju itu kepada saya dan kenakanlah baju lain sampai saya cuci baju itu.’ Akan tetapi, Rasulullah bersabda,
إِنَّمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ
“Sesungguhnya (baju itu) dicuci dari kencing bayi perempuan dan cukup dibasahi dari kencing bayi laki-laki.”[3] (HR. Abu Dawud [dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 361] dan Ibnu Majah no. 522; dinyatakan shahih oleh al-Hakim 1/166)
Dia berkata, “Seorang bayi laki-laki dibawa kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu kencing di baju beliau. Nabi pun memerintahkan agar baju beliau dibasahi. Seorang bayi lain, yakni bayi perempuan, dibawa pula kepada beliau, lalu kencing di baju beliau. Beliau pun memerintahkan agar baju beliau dicuci.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang air kencing bayi yang masih dalam penyusuan,
يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ
“Cukup dibasahi dari kencing bayi laki-laki dan dicuci dari kencing bayi perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 77-378, at–Tirmidzi no. 610 dan beliau berkata, “Hadits hasan shahih”, Ahmad [1/76, 97, 137], Ibnu Majah no. 525, ad–Daraquthni hlm. 129, dan al–Hakim [1/165—166], beliau berkata, “Hadits ini shahih.”)
إِنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجْلَسَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
“Ummu Qais bintu Mihshan pernah membawa putranya yang masih kecil, yang belum makan apa pun, kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Rasulullah mendudukkan bayi itu di pangkuan beliau, kemudian bayi itu kencing di baju beliau. Rasulullah pun meminta air, lalu membasahi baju beliau dan tidak mencucinya.” (HR. al–Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287)
Ketika menjelaskan hadits ini, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata dalam al-Fath, “Kalimat لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ (belum makan makanan), yang dimaksud dengan makanan di sini adalah selain air susu ibu (ASI), kurma untuk mentahnik, dan madu untuk obat.”
يُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ، وَيُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ، مَا لَمْ يَطْعَمْ
“Dicuci dari air kencing bayi perempuan dan dibasahi dari air kencing bayi laki-laki, selama bayi laki-laki tersebut belum makan apa pun.” (HR. Abu Dawud [dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 363])
Dalam riwayat lain, Qatadah berkata,
هَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا الطَّعَامَ، فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيْعًا
“Hukum ini berlaku jika keduanya belum memakan makanan. Apabila sudah makan, (yang terkena kencing keduanya) dicuci.” (HR. Abu Dawud [dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 364])
Dari hadits-hadits di atas dapat diambil faedah sebagai berikut.
Demikianlah, saudariku muslimah, cara menyucikan baju kita apabila terkena darah haid beserta tahapan mencucinya. Baju tersebut dapat kita kenakan kembali setelah dicuci, termasuk untuk shalat.
Jika baju kita terkena air kencing bayi—karena mayoritas wanita sering bersama bayi—, apabila bayi tersebut bayi laki-laki yang masih dalam penyusuan ibu dan belum memakan makanan, baju tersebut cukup dibasahi dengan air. Adapun baju yang terkena air kencing bayi perempuan, harus dicuci. Apabila keduanya telah makan makanan, baju tersebut harus dicuci.
Wallahu a’lam.
[1] Makna رَشَّ sama dengan نَضَحَ. Adapun اَلنَّضْحُ adalah membasahi seluruh najis dengan air yang banyak namun tidak sampai mengalir/menetes. (Disarikan dari kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim karya al-Imam an-Nawawi hlm. 184 dan 186)
[2] Tahnik adalah mengunyah kurma atau yang semisalnya kemudian menggosokkan kunyahan kurma tersebut ke langit-langit mulut bayi.
[3] Lihat penjelasannya pada catatan kaki no. 1.