Qonitah
Qonitah

menyibak kedustaan si munafik (bagian 2)

10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Menyibak Kedustaan Si Munafik (Bagian 2)

figur-mulia-15Al-Ustadzah Hikmah

Silsilah Kisah Berita Bohong atas Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (Bagian 2)

Muslimah Qonitah, pada edisi lalu telah kita simak penuturan Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang ujian yang menimpanya.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menanyakan berita tuduhan keji itu kepada Barirah dan Shafwan bin al-Mu’aththal, sampailah berita tersebut ke telinga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Apa yang terjadi pada Ibunda ‘Aisyah setelah itu? Pembaca, ikutilah lanjutan penuturan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai berikut.

Berita bohong itu pun sampailah kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Pada sore harinya, ketika kurasakan bahwa kondisiku sedikit membaik, aku keluar dari rumah. Aku keluar bersama Ummu Misthah menuju sebuah tempat di perbukitan. Tempat itu adalah tempat kami membuang hajat. Kami tidak keluar kecuali pada waktu malam hingga malam berikutnya. Tempat buang hajat tersebut ada sebelum kami membangun kamar mandi di dekat rumah-rumah kami.

Membuang hajat di tempat lapang seperti ini telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab sejak dahulu. Dahulu kami merasa terganggu jika WC-WC dibangun di dekat rumah-rumah kami.

Berangkatlah aku dan Ummu Misthah. Ummu Misthah adalah putri Abu Ruhm bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin ‘Amir, bibi Abu Bakr ash-Shiddiq dari pihak ibu.[1] Anak lelaki Ummu Misthah bernama Misthah bin Utsatsah bin ‘Abbad bin al-Muththalib.

Tidak lama kemudian, setelah menyelesaikan keperluan kami, kami kembali ke rumahku. Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset karena kain selimutnya. Dengan spontan ia berkata, “Celaka Misthah!”[2]

“Betapa jeleknya perkataanmu,” ujarku. “Apakah kamu berani mencela seorang lelaki yang ikut dalam Perang Badr?!”

Ummu Misthah menyahut, “Ah, Anda ini. Tidakkah Anda mendengar perkataannya?!”

“Apa yang ia katakan?” aku balik bertanya.

Ummu Misthah menceritakan berita dusta yang disebarkan oleh para pembohong itu. Akibatnya, bertambah parahlah sakitku dan aku ditimpa demam tinggi.

Mencari kepastian berita dari kedua orang tua.

Sesampainya aku di rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemuiku. Beliau mengucapkan salam lalu bertanya, “Bagaimana kabarmu?”

“Apakah Anda mengizinkan saya untuk tinggal bersama ayah dan ibu saya?” tanyaku kepada beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengizinkanku. Beliau mengutus seorang budak untuk menemaniku.

Aku pulang ke rumah kedua orang tuaku untuk mencari berita dari mereka berdua.

Setelah sampai di rumah ayah dan ibu, aku mendapati ibu (Ummu Ruman) radhiyallahu ‘anha berada di tingkat bawah rumah, sedangkan ayah, Abu Bakr ash-Shiddiq z, berada di tingkat atas. Ayah sedang membaca al-Qur’an.

Ibu bertanya, “Ada perlu apa engkau datang, Putriku?”

Kuceritakan kepada beliau kabar yang kudengar dari Ummu Misthah. Ternyata beliau belum mendengar berita sebanyak yang telah sampai kepadaku.

“Ibu, berita apa yang telah disebarkan oleh orang-orang?”

Beliau menjawab, “Putriku, anggaplah ringan segala problem yang menimpamu. Jangan terlalu kaupedulikan! Demi Allah, wanita yang dianggap cantik oleh suaminya yang mencintainya, dan ia memiliki banyak madu, pasti para madunya itu akan banyak menceritakan kekurangannya.”[3]

“Apakah ayah telah mengetahui berita tersebut?” tanyaku lagi.

“Ya,” jawab ibu.

“Rasulullah juga?”

“Ya, Rasulullah juga.”

Aku pun terperanjat. “Subhanallah, Mahasuci Allah. Apakah memang orang-orang telah menyebarkan berita bohong tentang diriku ini?!”

Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan, Abu Bakr mendengar tangisku, padahal beliau berada di tingkat atas. Beliau pun turun lantas bertanya kepada ibu, “Ada apa dengan ‘Aisyah?” Ibu menjawab, “Telah sampai kepadanya berita tentang dirinya.”

Air mata Abu Bakr berlinang. Beliau berkata, “Aku bersumpah, Putriku, hendaknya engkau pulang ke rumahmu.” Akhirnya, aku pun pulang ke rumahku.

Setelah mengetahui kepastian berita tersebut, aku menangis sejadi-jadinya sepanjang malam hingga pagi. Air mataku terus mengalir tiada henti. Aku tidak bisa tidur.

Aku masih terus menangis sepanjang hari itu. Air mata ini tiada berhenti mengalir, tiada mampu kubendung. Kedua orang tuaku mengerti bahwa tangisku itu sebagai luapan kesedihan hatiku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menemui ‘Aisyah dan kedua orang tuanya.

Pada situasi demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemui kami seusai menunaikan shalat ashar. Kedua orang tuaku duduk mengapitku, di sebelah kanan dan kiriku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengucapkan salam lalu duduk di atas tempat tidur di hadapanku. Semenjak tersiarnya berita bohong mengenai diriku, tidak pernah beliau duduk di sampingku.[4]

Sementara itu, selama sebulan ini sama sekali tidak ada wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk memutuskan masalah ini.

Setelah duduk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bertahmid (memuji Allah) dan mengulang pujian untuk-Nya lalu membaca syahadat. Setelah itu, beliau bersabda, “Amma ba’du (adapun setelah itu). Wahai ‘Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita demikian dan demikian mengenai dirimu.[5] Jika kamu memang terbebas dari tuduhan itu, niscaya Allah akan menjelaskan terbebasnya kamu dari tuduhan itu. Namun, jika memang kamu terjerumus dalam dosa itu (berzina), mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya, apabila seorang hamba mengakui dosa yang ia lakukan kemudian bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.”

Usai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, seketika itu juga berhentilah air mataku. Tidak kurasakan setetes air mata pun mengalir.

Aku menoleh kepada ayah dan berkata, “Jawablah perkataan Rasulullah!”

Namun, ayah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.”

Aku pun menoleh kepada ibu dan berkata, “Jawablah perkataan Rasulullah!”

Namun, ibu juga menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.”

Ungkapan tegas ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Tatkala kedua orang tuaku tidak berkomentar apa pun terhadap perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, aku pun membuka perkataan. Padahal, saat itu aku hanyalah bocah belia yang belum memiliki banyak hafalan dari al-Qur’an.

Aku membaca syahadat, bertahmid, dan mengulang pujian untuk-Nya dengan pujian-pujian yang Dialah Pemiliknya. Selanjutnya, “Amma ba’du. Demi Allah, sungguh saya yakin bahwa berita bohong tentang saya itu telah Anda dengar dan masuk ke hati Anda sekalian. Anda sekalian sudah benar-benar memercayainya. Jika saya katakan bahwa saya terbebas dari tuduhan keji itu—dan Allah Mahatahu bahwa saya benar-benar terbebas darinya, tentu kalian tidak akan memercayai saya.

Namun, jika saya mengakuinya, dan pengakuan ini saya lakukan hanya untuk mengikuti kemauan Anda sekalian, sementara Allah Mahatahu bahwa saya benar-benar terbebas dari tuduhan itu, kalian pasti akan memercayai saya dan membenarkan pengakuan saya.

Demi Allah, saya tidak mendapatkan sebuah permisalan untuk saya dan untuk kalian kecuali Abu Yusuf (Nabi Ya’qub q), ketika ia mengatakan,

فَصَبۡرٞ جَمِيلٞۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ ١٨

“Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” (Yusuf: 18)

Yakin akan pertolongan Allah subhanallahu wa ta’ala.

Usai berbicara, aku beralih lalu berbaring di atas pembaringanku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin bahwa aku bersih dari tuduhan itu. Aku juga yakin bahwa Allah akan membersihkanku darinya.

Namun, demi Allah. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Allah akan menurunkan—terkait dengan problemku ini—wahyu (beberapa ayat al-Qur’an) yang dibaca.

Dalam anggapanku, problemku ini terlalu remeh untuk Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman tentang diriku dalam beberapa ayat al-Qur’an yang dibaca. Aku hanya berharap semoga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melihat dalam tidur beliau sebuah mimpi yang menunjukkan bersihnya aku dari tuduhan tersebut.

Turun wahyu.

Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum bergeser dari tempat duduk beliau, dan penghuni rumah pun belum ada yang keluar, ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau diliputi kepayahan ketika wahyu turun. Sampai-sampai, keringat bercucuran dari tubuh beliau bagaikan butiran-butiran mutiara. Padahal, cuaca hari itu dingin. Semua itu karena beratnya firman Allah yang diturunkan kepada beliau.

Kami semua terdiam.

Ketika kondisi tersebut telah berlalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tertawa. Kebahagiaan tampak jelas mewarnai wajah beliau ketika beliau mengusap kening beliau. Kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah,

أَبْشِرِي يَا عَائِشَةُ، أَمَّا اللهُ فَقَدْ بَرَّأَكِ (وَفِي لَفْظٍ: أَبْشِرِي يَا عَائِشَةُ، فَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ بَرَائَتَكِ

“Berbahagialah, ‘Aisyah. Adapun Allah, sungguh Dia telah membersihkanmu (dari tuduhan-tuduhan itu).” Dalam suatu lafadz, “Berbahagialah, ‘Aisyah. Allah telah menurunkan (wahyu) pembebasanmu (dari tuduhan itu).”

Aku pun merasa sangat kesal dan marah.

Ayah dan ibu berkata, “Berdirilah! Mendekatlah kepada beliau!”

“Demi Allah,” sahutku, “saya tidak akan berdiri mendekat kepada beliau. Saya tidak memuji beliau, tidak pula memuji Ayah dan Ibu. Saya memuji Allah saja. Dialah yang telah menurunkan wahyu bahwa saya terbebas dari tuduhan itu. Kalian telah mendengar tuduhan dusta itu, tetapi tidak mengingkarinya dan tidak mengubahnya.”

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan sepuluh ayat dari surat an-Nur (ayat 11—20). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١ لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ ١٢ لَّوۡلَا جَآءُو عَلَيۡهِ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَۚ فَإِذۡ لَمۡ يَأۡتُواْ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُوْلَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ ١٣ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ لَمَسَّكُمۡ فِي مَآ أَفَضۡتُمۡ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ١٤ إِذۡ تَلَقَّوۡنَهُۥ بِأَلۡسِنَتِكُمۡ وَتَقُولُونَ بِأَفۡوَاهِكُم مَّا لَيۡسَ لَكُم بِهِۦ عِلۡمٞ وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ ١٥ وَلَوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ قُلۡتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبۡحَٰنَكَ هَٰذَا بُهۡتَٰنٌ عَظِيمٞ ١٦ يَعِظُكُمُ ٱللَّهُ أَن تَعُودُواْ لِمِثۡلِهِۦٓ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧ وَيُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ١٨ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ وَأَنَّ ٱللَّهَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ ٢٠

 

  1. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian. Justru ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.
  2. Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu, orang-orang mukmin dan mukminah tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”?
  3. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, mereka pada sisi Allah adalah orang-orang yang dusta.
  4. Sekiranya tidak ada karunia dari Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu.
  5. (Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kalian katakan dari mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga. Kalian menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allah adalah besar.
  6. Dan mengapa kalian tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar”?
  7. Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian orang-orang yang beriman.
  8. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
  9. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
  10. Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar).

 

Bersambung, insya Allah.

[1] Jadi, ibu Abu Bakr ash-Shiddiq  dan ibu Ummu Misthah radhiyallahu ‘anha adalah kakak beradik.

[2] Ada yang berpendapat bahwa perkataan ini diucapkan oleh Ummu Misthah dengan sengaja, bukan dengan spontan, sebagai pendahuluan dalam menyampaikan berita bohong itu kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[3] Dalam hadits Ummu Ruman radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan, “Tatkala aku dan ‘Aisyah sedang duduk-duduk, tiba-tiba seorang wanita Anshar masuk menemui kami. Ia mendoakan keburukan atas seseorang. Aku pun bertanya, ‘Siapa yang kaumaksud?’

‘Anak lelakiku dan orang-orang yang bercerita bersamanya,’ jawabnya.

‘Aisyah bertanya, ‘Cerita apa?’

Wanita Anshar tersebut berkata, ‘Cerita begini dan begitu (tuduhan zina atas ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Shafwan)’.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dengan demikian, semakin kuatlah keyakinan ‘Aisyah bahwa telah muncul berita dusta atas dirinya. Keyakinannya semakin kuat dengan adanya berita dari Ummu Misthah dan dari wanita Anshar yang memberinya kabar di hadapan ibunya, Ummu Ruman. Adapun nama wanita Anshar dan anaknya ini, saya belum menemukannya.” (Fathul Bari, syarah hadits no. 4750, juz 10 hlm. 478, cet. Dar Abi Hayyan)

[4] Dalam hadits Ummu Ruman radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan bahwa pada saat itu ‘Aisyah menderita demam yang sangat tinggi. Ketika Nabi ` masuk, beliau mendapati ‘Aisyah dalam kondisi seperti itu. Beliau bertanya, “Ada apa dengan ‘Aisyah?”

Ummu Ruman menjawab, “Ia ditimpa demam yang sangat tinggi.”

“Mungkin ia demam karena berita yang tersiar tentangnya,” sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Ummu Ruman menjawab, “Ya.” Lalu ‘Aisyah duduk. (Fathul Bari, syarah hadits no. 4750)

Dalam Shahih al-Bukhari no. 4750, Ummu Ruman berkata,

لَمَّا رُمِيَتْ عَائِشَةُ خَرَّتْ مَغْشِيًّا عَلَيْهَا

“Tatkala dituduh (melakukan zina), ‘Aisyah jatuh pingsan.” (HR. al-Bukhari no. 4750)

[5] Yakni orang-orang bercerita bahwa kamu (‘Aisyah) berzina dengan Shafwan bin al-Mu’aththal.