Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu pula benih yang buruk, akan menghasilkan tanaman yang buruk. Sebaliknya, dari benih yang baik tentu akan dihasilkan tanaman yang baik pula, dengan izin Allah.
Demikianlah ungkapan-ungkapan yang menggambarkan hubungan antara perilaku anak dan perilaku orang tuanya. Memang, secara umum seperti itulah kenyataannya. Perilaku anak tidak jauh berbeda dengan perilaku ayah ibunya. Orang tua yang baik, yang senantiasa memerhatikan aturan-aturan agama, akan memiliki anak-anak yang baik pula, mudah diatur, sopan dalam tutur kata dan tindakannya. Adapun orang tua yang kurang bijak dan lebih sering “menyerempet” larangan-larangan agama, anak-anaknya pun tidak jauh beda dengan mereka. Semoga Allah melindungi kita dari hal demikian.
Sekali lagi, hal ini kita lihat secara umum. Sebab, ada pula fenomena yang menunjukkan sebaliknya. Yang jelas, hidayah hanya di tangan Allah, baik hidayah bagi orang tua maupun anak-anak.
Tanaman Sesuai dengan Benihnya
Pembaca Qonitah, dari pepatah dan ungkapan di atas, kita tahu betapa kuatnya pengaruh sikap orang tua terhadap sikap yang akan terbentuk pada diri anak. Ya, apabila benih yang bagus ditanam pada tanah yang subur dan dirawat dengan baik, tentu akan menghasilkan tanaman yang kuat dan berbuah banyak. Sebaliknya, benih yang buruk, pada tanah yang tandus, kiranya tanaman seperti apa yang bisa diharapkan tumbuh darinya?
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
وَٱلۡبَلَدُ ٱلطَّيِّبُ يَخۡرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ وَٱلَّذِي خَبُثَ لَا يَخۡرُجُ إِلَّا نَكِدٗاۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَشۡكُرُونَ ٥٨
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Rabb-nya. Adapun tanah yang buruk, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (al-A’raf: 58)
Seperti itu pula keberadaan anak. Pria saleh mestinya berpasangan dengan wanita salehah, sehingga menghasilkan keturunan yang saleh pula.
Kami bawakan sebuah contoh mengenai hal ini, yaitu kisah salah seorang pendahulu kita yang saleh, al-Mubarak. Dahulu al-Mubarak adalah seorang budak, lalu tuannya memerdekakannya. Setelah itu, dia bekerja di kebun maula (bekas tuan)nya. Pada suatu hari, datanglah maula al-Mubarak ke kebun. Dia meminta agar al-Mubarak memberinya buah delima yang manis.
Al-Mubarak pergi mencarikan buah tersebut. Setelah diterima, dibelahlah buah delima tersebut. Namun, ternyata buah itu masam. Sang pemilik kebun pun marah dan berkata, “Yang aku mau buah delima manis, tetapi engkau membawakan yang masam. Ayo, bawakan buah yang manis!”
Kembali al-Mubarak mencarikan buah delima untuk maulanya. Setelah didapat dan dibelah, ternyata buah itu pun masam. Kejadian itu berulang sampai tiga kali.
Sang maula bertanya kepada al-Mubarak, “Apakah engkau tidak bisa membedakan mana buah yang manis dan mana yang masam?”
“Tidak,” jawab al-Mubarak.
“Mengapa bisa demikian?” tanya sang maula lagi.
“Karena saya tidak pernah memakannya sedikit pun,” jawab al-Mubarak.
“Mengapa engkau tidak memakannya?” kembali sang maula bertanya.
“Karena Anda tidak mengizinkan saya untuk memakannya,” al-Mubarak memberikan alasan.
Mendengar jawaban itu, si pemilik kebun merasa takjub kepadanya. Karena itu pula, dia lebih menghargai pekerjanya tersebut.
Pada suatu hari, sang maula bercerita kepada al-Mubarak tentang putrinya. Telah banyak orang yang datang untuk meminang, tetapi belum juga ada yang diterima. Sang maula bertanya kepada al-Mubarak, “Wahai al-Mubarak, menurutmu siapa yang pantas menikahi putriku ini?”
Al-Mubarak berkata, “Orang-orang jahiliah menikahi (memilih, -pen.) wanita karena garis keturunannya. Orang Yahudi menikahi wanita karena hartanya. Orang Nasrani memilih wanita karena kecantikannya. Adapun umat ini (kaum muslimin, -pen.) menikahi wanita karena agamanya.”
Bertambahlah rasa kagum sang maula kepadanya karena jawaban yang cerdas ini. Lantas dia pulang menemui istrinya dan berkata, “Sungguh, aku berpandangan tidak ada yang pantas menikahi putri kita selain al-Mubarak.” Dia pun menikahkan putrinya dengan pekerjanya yang cerdik itu.
Dari benih yang baik, tumbuhlah tanaman yang baik pula. Dari pernikahan itu, lahirlah bayi yang kelak menjadi imam agama yang memberikan manfaat kepada umat setiap saat; imam yang zuhud, senang berjihad, dan gemar bersedekah. Dialah Abdullah bin al-Mubarak.
Bukti lain bagi kita semua adalah kisah seseorang yang bernama Ismail. Menjelang wafat, dia berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah memberikan nafkah sekeping dirham pun kepada keluargaku dari penghasilan yang haram walaupun sehari saja, tidak pula dari hasil yang meragukan (halal dan haramnya, -pen.).”
Siapakah dia? Dialah ayahanda seorang ahli hadits, Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Melalui tangan al-Bukhari, terkumpullah hadits-hadits shahih Rasulullah ` dalam sebuah kitab yang terhitung sebagai kitab yang paling shahih setelah al-Qur’anul Karim.
Demikianlah pembaca, semoga Allah merahmati kita semua. Kisah-kisah di atas begitu jelas menggambarkan betapa kuatnya pengaruh kesalehan orang tua terhadap anak-anaknya. Anak-anak tentu akan melihat apa yang dilakukan oleh ayah ibu mereka. Selanjutnya, mereka akan merekam dan menirunya.
Apabila setiap hari anak melihat ayah ibunya senantiasa menjaga shalat, mendengar lantunan bacaan al-Qur’an dari keduanya, dan merasakan tutur kata yang baik serta akhlak yang mulia, tentu demikian pula yang akan dia lakukan.
Sebaliknya, jika setiap hari anak menyaksikan ayah ibunya bermudah-mudah dalam melaksanakan shalat, mendengarkan musik, dan mengucapkan kata-kata yang kasar nan keras, tentu seperti itu pula yang akan dia jalani.
Oleh karena itu, Pembaca, semoga Allah memberkahi kita semua, hal yang mesti kita lakukan sebelum mendidik anak-anak adalah memperbaiki diri kita, memperbaiki amalan-amalan kita sehari-hari, dan berhias dengan akhlak yang mulia. Dengan demikian, kita bisa menjadi teladan bagi mereka.
Kesalehan Orang Tua, Nikmat bagi Anak
Orang tua yang saleh mestinya senantiasa mendoakan anak-anaknya. Dengan demikian, tentulah anak-anak akan mendapatkan kebaikan dari doa mereka.
Orang tua yang saleh mestinya mendidik anak-anak dengan pendidikan yang benar, sesuai dengan ajaran Islam, dan dengan cara yang baik pula. Dengan demikian, tentulah anak-anak mendapatkan pengajaran yang tepat, tidak salah asuhan, dan tidak terzalimi.
Orang tua yang saleh mestinya berhias dengan akhlak mulia dalam kesehariannya. Dengan demikian, tentulah anak-anak mendapatkan contoh yang baik untuk bersikap dalam kehidupannya.
Orang tua yang saleh mestinya sibuk dengan ibadah kepada Rabb-nya. Dengan sendirinya, tentulah anak-anak akan mendapatkan ketenangan dengan ibadah yang mereka lakukan. Selain itu, terbentuklah sikap tekun beribadah pada diri mereka. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa berat dalam menjalaninya.
Masih banyak kenikmatan lainnya yang akan didapatkan oleh anak-anak, bahkan saat orang tua telah tiada. Allah subhanahu wa ta’ala berkisah dalam al-Qur’an tentang perjalanan Khadhir ‘alaihi wassalam bersama Nabi Musa ‘alaihi wassalam. Dalam perjalanan itu, keduanya masuk ke sebuah negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduknya, tetapi ditolak. Di negeri itu, keduanya mendapatkan ada dinding rumah yang hampir roboh. Khadhir pun menegakkannya.
Ketika Nabi Musa mempertanyakan hal itu, Khadhir menjawab,
وَأَمَّا ٱلۡجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيۡنِ يَتِيمَيۡنِ فِي ٱلۡمَدِينَةِ وَكَانَ تَحۡتَهُۥ كَنزٞ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحٗا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبۡلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسۡتَخۡرِجَا كَنزَهُمَا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu. Di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah mereka berdua adalah seorang yang saleh. Rabbmu menghendaki agar keduanya mencapai kedewasaan dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai kasih sayang dari Rabbmu.” (al-Kahfi: 82)
Lihatlah, dalam ayat di atas Allah menyebutkan bahwa penjagaan-Nya terhadap harta benda anak yatim tersebut adalah karena ayah mereka seorang yang saleh. Ibnu Katsir t menyebutkan dalam Tafsir beliau, ayat tersebut menjadi dalil bahwa anak keturunan seorang yang saleh akan dijaga. Keberkahan ibadah orang tua yang saleh akan meliputi anak keturunannya di dunia dan di akhirat dengan syafaatnya untuk mereka, dan diangkatnya derajat mereka ke tingkatan tertinggi di surga, agar orang tua mereka merasa senang dan bahagia dengan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-orang yang beriman dan anak keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, akan Kami gabungkan bersama mereka anak keturunan mereka. Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (ath-Thur: 21)
Demikianlah, dengan sebab kesalehan orang tua, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat derajat anak-anak mereka di surga, walaupun amalan anak keturunan mereka tidak sebanyak amalan mereka. Hal ini agar mereka merasa tenteram dan bahagia bersama anak keturunan mereka.
Subhanallah, Pembaca sekalian, sungguh hal ini adalah kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya. Mestinya kita termotivasi untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya, berusaha memperbaiki diri, dan berupaya menjadi orang tua yang saleh agar menjadi teladan bagi anak-anak kita. Wallahul muwaffiq (hanya Allah-lah yang memberikan taufik).