Khuf adalah sesuatu yang dipakai untuk menutupi telapak kaki sampai dengan mata kaki atau lebih. Bahannya bisa berupa kulit atau yang lainnya.[1] Termasuk di dalamnya adalah penutup kaki yang terbuat dari kain, yang diistilahkan dengan jaurab (kaus kaki). Adapun penutup kaki yang menutupi telapak kaki tidak sampai ke mata kaki dinamakan na’l (sandal) (sepatu, -red.)?.
Pembahasan ini erat kaitannya dengan bahasan wudhu yang telah kita simak pada beberapa edisi sebelumnya karena mengusap khuf merupakan pengganti dari membasuh kaki ketika berwudhu.
Bolehnya mengusap khuf dan kaus kaki sebagai pengganti membasuh kaki merupakan kemudahan dalam syariat Islam, lebih-lebih dalam kondisi-kondisi sulit, seperti cuaca yang sangat dingin.
Dalil-dalil tentang Syariat Mengusap Khuf dan Kaus Kaki
Al-Imam asy-Syafi’i menafsirkan “mengusap kaki” di sini dengan mengusap khuf[3] dan sejenisnya, bukan mengusap kaki telanjang (Tafsir Ibni Katsir). Beliau menafsirkan seperti ini karena banyak sekali hadits yang menegaskan kewajiban membasuh kaki ketika tidak dipakaikan padanya khuf , kaus kaki, dan semisalnya.
Ibrahim, salah satu periwayat hadits ini, berkata bahwa hadits ini sangat mengagumkan mereka, yakni para tabi’in, karena Jarir radhiyallahu ‘anhu masuk Islam setelah turunnya surat al-Maidah (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Faedah
Al-Imam at-Tirmidzi berkata bahwa hadits Jarir ini memiliki makna yang sangat penting. Sebab, beberapa pihak[4] yang mengingkari syariat mengusap khuf beralasan bahwa syariat mengusap khuf ada sebelum turunnya ayat wudhu. Artinya, mereka berdalih bahwa ayat wudhu dalam surat al-Maidah menghapus syariat mengusap khuf ini. Maka dari itu, ketika Jarir radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa beliau masuk Islam setelah turunnya surat al-Maidah, menjadi jelaslah bahwa syariat mengusap khuf ini hukumnya tetap ada dan tidak dihapus.
Tasakhin adalah segala sesuatu yang bisa dipakaikan ke kaki untuk menghangatkannya, dan dalam riwayat ini dicontohkan dengan khuf. Jadi, kaus kaki termasuk juga. Oleh karena itu, para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya mengusap kaus kaki yang menutupi mata kaki. Selain mengusap kaus kaki, para ulama juga membolehkan mengusap kain yang dililit-lilitkan ke telapak kaki sampai menutupi mata kaki, karena yang demikian juga termasuk kategori tasakhin.[6]
Catatan
Banyak ulama, di antaranya Ibnul Mundzir, menyebutkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin tentang syariat mengusap khuf, dan bahwa hadits yang menjelaskan masalah mengusap khuf ini sangat banyak sehingga dianggap termasuk hadits mutawatir.
Syarat-syarat Bolehnya Mengusap Khuf dan Kaus Kaki
Dalilnya adalah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu ketika dia bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berwudhu, sampai ketika beliau telah mengusap kepala, al-Mughirah hendak melepas khuf yang beliau pakai (agar kedua kaki beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa dibasuh). Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Biarkan keduanya (jangan dilepas) karena aku telah memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan disyaratkannya memakai khuf dalam keadaan suci. Sebab, beliau menolak khuf beliau dilepas dengan alasan telah memasukkan kaki ke khuf dalam keadaan suci. Artinya, jika kaki dimasukkan dalam keadaan orang tersebut tidak suci, khuf harus dilepas kalau dia mau berwudhu.[7]
An-Nawawi berkata bahwa telah ada ijma’ ulama, “Jika seseorang memakai khuf dalam keadaan berhadats, tidak sah baginya mengusap khuf.”[8]
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits ‘Ali bin Abi Thalib, katanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan batas waktu 3 hari 3 malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi orang yang mukim, untuk mengusap khuf.” (HR. Muslim)
Keterangan
Contohnya, Zainab berwudhu di rumahnya untuk mengerjakan shalat subuh, lalu memakai khuf pada pukul 04.00. Pada pukul 07.00, wudhunya batal karena dia buang air kecil. Pada pukul 11.00 dia berwudhu dan mengusap khuf. Dari contoh ini, Zainab menghitung batas waktu mengusap khuf dari pukul 11.00, dan boleh mengusap khuf sampai pukul 11.00 keesokan harinya.
Contohnya, Zainab berangkat safar bersama ayahnya pada hari Kamis pagi. Di tengah perjalanan, pada pukul 11.00, dia mulai mengusap kaus kakinya. Mereka tiba di rumah lagi pada hari Kamis itu juga, pada pukul 17.00. Dalam kondisi ini, Zainab masih boleh mengusap kaus kakinya sampai hari Jumat pukul 11.00. Namun, jika mereka tiba di rumah pada hari Jumat pukul 17.00, Zainab tidak boleh lagi mengusap kaus kakinya ketika berwudhu. Sebab, ketika tiba di rumah, dia dihukumi sebagai mukim dan memiliki batasan waktu mukim, sedangkan pada hari Jumat itu waktunya sudah lewat sehari semalam.
Hal ini berdasarkan hadits dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah kami bahwa jika kami sedang safar, boleh tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam walaupun setelah buang air besar, buang air kecil, dan setelah tidur; kecuali jika terjadi junub.”[11] Artinya, khuf harus dilepas jika seseorang hendak mandi besar karena junub.
Perhatian
Bolehkah mengusap kaus kaki atau khuf jika ada bagian yang sobek? Jawabnya, selama bagian utama yang tersisa masih pantas disebut kaus kaki atau khuf serta bisa dipakai untuk berjalan, boleh diusap walaupun ada beberapa bagian yang sobek.[12]
Cara Mengusap Kaus Kaki atau Khuf
‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Dahulu saya mengira bahwa bagian bawah khuf lebih pantas diusap daripada bagian atasnya, sampai saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengusap bagian atasnya.”[13]
Hadits ini menjelaskan bahwa yang dituntunkan adalah mengusap bagian atas kaus kaki atau khuf, bukan bagian bawah atau sampingnya. Hal ini karena tujuan mengusap khuf bukan untuk membersihkannya, melainkan dalam rangka ta’abbud (beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Selain itu, tangan justru akan terkotori jika yang diusap adalah bagian bawah khuf.[14]
Ibnul Qayyim berkata bahwa tidak ada hadits shahih yang menjelaskan bahwa yang diusap adalah bagian bawah khuf.[15]
Haruskah Mengusap Seluruh Bagian Atas Kaus Kaki atau Khuf?
Tidak harus. Yang penting, tangan yang sudah terbasahi air diusapkan ke bagian atasnya. Selama perbuatan itu sudah pantas secara bahasa disebut mengusap, sudah mencukupi.[16] Selain itu, dalam hadits yang shahih tidak ada ketentuan mengusap dari bagian ujung jari atau dari pangkal betis, sehingga orang yang mengusap dipersilakan memilih.
Apakah Kanan dan Kiri Diusap Bersamaan atau Kanan Dahulu?
Tidak ada ketentuan pasti dalam hal ini, maka al-amru wasi’ (urusannya luas, silakan memilih).[17]
Mana yang Afdhal (Lebih Utama), Mengusap Khuf atau Membasuh Kaki?
Ini tergantung pada keadaan awal orang yang berwudhu. Jika kedua kakinya telanjang ketika dia hendak berwudhu, yang afdhal baginya adalah membasuh kaki dan tidak perlu dia menyengaja memakai khuf agar bisa mengusapnya. Adapun jika kedua kaki terbungkus khuf atau kaus kaki ketika dia akan berwudhu, dan dia memasukkan kaki dalam keadaan suci, yang afdhal baginya adalah mengusap khuf, dan khuf tidak perlu dilepas hanya untuk dibasuh.[18]
Hukum Mengusap Na’l (Sandal) mohon disifati dengan jelas makna na’l disini, agar tidak dipahami dengan segala jenis sandal, misal: sandal jepit, dsb.
Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bolehnya mengusap sandal. Hanya saja, mayoritas ulama membawa berbagai riwayat tersebut ke beberapa makna.[19] Sebagai bentuk kehati-hatian, lebih baik kita tidak mengusap sandal kecuali dalam kondisi mendesak, seperti apabila sandal itu hanya bisa dilepas dengan bantuan tangan atau kaki. Kalaupun kita mengusap sandal, kita iringi dengan memercikkan air ke kaki.[20] Wallahu a’lam.
[1] Dinamakan khuf karena khiffahnya (ringannya). (Hasyiyah ar-Raudhil Murbi’)
[2] Qiraah Hamzah, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan lainnya. Adapun dalam qiraah yang sering kita baca, yakni qiraah Hafsh dari ‘Ashim, potongan ayat tersebut dibaca وَأَرْجُلَكُمْ (dengan lam yang difathah, -ed.). (Adhwaul Bayan)
[3] Tafsir ini pula yang Syaikhul Islam cenderung padanya, sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah.
[4] Yaitu beberapa kelompok ahli bid’ah, seperti Khawarij dan Syi’ah (Adhwaul Bayan). Oleh karena itu, walaupun masalah mengusap khuf pada dasarnya merupakan masalah fikih, para ulama menyebutkannya pula dalam pembahasan akidah sebagai pengingkaran terhadap para ahli bid’ah.
[5] Asy-Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Asy-Syaikh Muqbil juga menyebutkannya dalam ash-Shahihul Musnad.
[6] Fath Dzil Jalal wal Ikram dan al-Ikhtiyarat.
[7] Nailul Authar.
[8] Taudhihul Ahkam.
[9] Inilah pendapat yang dikuatkan oleh beberapa muhaqqiqin, seperti as-Sa’di dalam Mukhtarat Jaliyyah dan Ibnul ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’. Alasannya, semua hadits tentang masalah ini datang dengan konteks batasan mengusap. Teks hadits tidak berbicara mengenai batasan memakai khuf ataupun batasan terjadinya hadats.
[10] Al-Ikhtiyarat.
[11] HR. at-Tirmidzi dan lainnya, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam berbagai kitab beliau, seperti Shahih Sunan at-Tirmidzi.
[12] Majmu’ Fatawa li Ibni Taimiyah 21/172—176.
[13] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Abi Dawud karya al-Albani dan ash-Shahihul Musnad karya al-Wadi’i.
Faedah: Ada lafadz hadits tersebut yang masyhur, yang artinya, “Seandainya agama ini disandarkan pada logika, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas diusap daripada bagian atasnya…” (kelanjutannya seperti lafadz hadits di atas). Hanya saja, hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz ini tidak shahih, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam ad-Daraquthni dalam kitab beliau, al-‘Ilal. Guru kami, asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’i, sepakat dengan pendapat ad-Daraquthni.
[14] Asy-Syarhul Mumti’.
[15] Zadul Ma’ad.
[16] Hasyiyah ar-Raudhil Murbi’.
[17] Fath Dzil Jalal wal Ikram.
[18] Al-Ikhtiyarat.
[19] Tahdzib Sunan Abi Dawud.
[20] Al-Ikhtiyarat.