Qonitah
Qonitah

menggapai ketinggian derajat dengan merendahkan sayap

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Menggapai Ketinggian Derajat dengan Merendahkan Sayap

adab-4Al-Ustadz Marwan

 Manusia adalah makhluk Allah yang Dia ciptakan dari tanah liat, sebagaimana halnya dalam penciptaan Adam ‘alaihissalam. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan anak keturunan Adam dari setetes air yang hina lagi menjijikkan, yang ditumpahkan ke dalam rahim. Setelah itu, dengan kehendak-Nya, Allah menjadikan air tersebut segumpal darah, lalu menyempurnakannya dalam bentuk manusia, laki-laki atau perempuan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨

            “… yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian, Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.” (as-Sajdah: 7—8)

Demikianlah asal penciptaan manusia. Saat mereka terlahir, tiada sesuatu pun yang mereka miliki, baik ilmu, harta, jabatan, kekuasaan, maupun yang selainnya. Kemudian, hanya dengan keutamaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, manusia mendapatkan ilmu, harta, kedudukan, jabatan, dan keutamaan yang lain. Tidaklah semua itu mereka dapatkan melainkan karena upaya dan kekuatan dari Allah subhanahu wa ta’ala semata, bukan dari mereka sedikit pun.

Setelah seseorang mengetahui hal tersebut, di mana dia akan menempatkan perasaan memiliki superioritas, yang terkait dengan ilmu, kekayaan, kedudukan, dan selainnya? Merasa paling banyak berguru, paling banyak memiliki harta dan kekuasaan, paling layak mendapatkan berbagai keutamaan, paling berpengaruh di antara manusia, dan paling tinggi atas orang lain?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّكَ لَن تَخۡرِقَ ٱلۡأَرۡضَ وَلَن تَبۡلُغَ ٱلۡجِبَالَ طُولٗا ٣٧ كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا ٣٨

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu.” (al-Isra’: 37—38)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menuturkan, “Tawadhu’ adalah lawan sikap merasa tinggi. Maksudnya, seorang insan tidak merasa tinggi dan tidak mengangkat dirinya di atas orang lain, baik dalam hal keilmuan, nasab (keturunan), harta, kekuasaan, jabatan, maupun hal lainnya. Sebaliknya, dia wajib merendahkan sayap (bersikap tawadhu’) kepada orang-orang yang beriman, sebagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, makhluk yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap tawadhu’ kepada kaum mukminin. Sampai-sampai, ada seorang anak perempuan kecil menggandeng tangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu mengajak beliau ke mana ia kehendaki, dan beliau memenuhi keperluan anak tersebut. (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik a)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ٨٨

“Dan rendahkanlah sayapmu (bertawadhu’lah) terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hijr: 88)

dan dalam firman-Nya yang lain,

.. لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢١٥

“… terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (asy-Syu’ara: 215)

Arti kalimat “dan rendahkanlah sayapmu” adalah bersikaplah tawadhu’.

Orang yang merasa tinggi dan mengangkat dirinya di atas orang lain, melihat dirinya bak seekor burung yang terbang tinggi di angkasa. Maka dari itu, dia diperintah untuk turun dengan merendahkan sayapnya terhadap orang-orang beriman yang mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Dengan demikian, diketahui bahwa kita tidak perlu bersikap tawadhu’ kepada orang kafir. Kita justru harus merasa lebih tinggi daripada orang kafir.” (Syarhu Riyadhish Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin 2/257)

 

Perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk Bertawadhu’

Di antaranya adalah hadits ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا

Sungguh, Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’. (HR. Muslim)

Maknanya, setiap individu diperintah untuk bersikap tawadhu’ dan tidak merasa tinggi di atas orang lain. Sebaliknya, dia memosisikan orang lain semisal dirinya atau bahkan lebih tinggi.

Di antara kebiasaan Salafush Shalih rahimahumullah adalah memperlakukan orang yang lebih muda seperti anaknya sendiri, orang yang lebih tua seperti bapaknya sendiri, dan orang yang sebaya seperti saudaranya sendiri. Mereka memandang orang yang lebih tua dengan pandangan pemuliaan dan penghormatan, memandang orang yang lebih muda dengan pandangan kasih sayang, dan memandang orang yang sebaya dengan pandangan persamaan. Seseorang tidak berlaku sewenang-wenang atas orang lain. Ini di antara sifat yang wajib dimiliki setiap insan, yaitu tawadhu’ kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian terhadap saudara-saudaranya sesama muslim.”

Demikian penuturan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah. (Lihat Syarhu Riyadhish Shalihin 2/261—262)

Tawadhu’ dalam Tutur Kata dan dalam Perilaku

Tutur kata para rasul Allah penuh dengan tawadhu’. Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan tutur kata para rasul kepada kaum mereka,

قَالَتۡ لَهُمۡ رُسُلُهُمۡ إِن نَّحۡنُ إِلَّا بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَمُنُّ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۖ

“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11)

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam untuk bertutur kata yang dipenuhi sikap tawadhu’ ketika berbicara kepada segenap manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَةٖ سَوَآءِۢ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُولُواْ ٱشۡهَدُواْ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ ٦٤

“Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.” (Ali ‘Imran: 64)

Ayat di atas, yang dicantumkan di dalam surat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Heraklius, penguasa Romawi, menunjukkan sikap tawadhu’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hal bertutur kata.

Dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam biasa bercanda dengan anak laki-laki Abu Thalhah, yaitu Abu ‘Umair. Ketika melihat Abu ‘Umair bersedih, beliau shalallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Wahai Abu ‘Umair, ada apa dengan si nughair (seekor burung kecil)?” Nughair yang biasa Abu ‘Umair bermain dengannya telah mati, sehingga ia pun bersedih. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam Syarh Shahih Muslim (14/129), al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan akhlak, sifat mulia, dan sikap tawadhu’ yang dimiliki oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.”

Obati Sifat Sombong dengan Sifat Tawadhu’

Menolak al-haq dan menganggap remeh orang lain adalah pengertian sombong. Sombong adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan, sehingga setiap individu wajib mengobatinya. Pengobatannya dilakukan dengan cara menghilangkan akar penyakit ini, yaitu dengan mengenali diri dan mengingat dari apa dia berasal.

Manusia berasal dari tanah, kemudian dari air mani yang hina lagi menjijikkan yang telah bercampur, yang keluar melalui tempat keluarnya air kencing, kemudian menjadi ‘alaqah (sesuatu yang menggantung di rahim), kemudian menjadi sekerat daging, sehingga barulah menjadi sesuatu yang bisa disebut. Sebelumnya dia hanyalah sesuatu yang tidak memiliki ruh, tidak mendengar dan tidak melihat, tidak mampu merasakan sesuatu, dan tidak bisa bergerak. Dia diawali dengan kematian sebelum hidup, dengan kelemahan sebelum memiliki kekuatan, dan dengan kefakiran sebelum memiliki kekayaan.

Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan hal tersebut di dalam firman-Nya,

مِنۡ أَيِّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥ ١٨ مِن نُّطۡفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ ١٩

“Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (‘Abasa: 18—19)

Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala memberinya kenikmatan, sebagaimana firman-Nya,

ثُمَّ ٱلسَّبِيلَ يَسَّرَهُۥ ٢٠

“Kemudian Dia mudahkan jalannya.” (‘Abasa: 20)

..فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢

“…karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 2)

Allah subhanahu wa ta’ala telah menghidupkan manusia setelah kematian, membaikkan bentuknya, dan mengeluarkannya ke dunia. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mencukupi seluruh kebutuhan pokoknya dan memberinya petunjuk serta kekuatan. Demikianlah permulaan manusia. Lalu, dari mana asalnya kesombongan dan sikap membanggakan diri?

Sekalipun dikatakan sempurna sebagai manusia, ia tetap akan mengalami kebinasaan dan terancam oleh berbagai penyakit. Sedikit pun ia tidak mampu memberikan kemanfaatan ataupun kemudaratan kepada dirinya. Bahkan, kehidupannya pun tidak aman. Ia tidak mengetahui, bisa jadi tiba-tiba ajal menjemputnya sesuai dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

Akhir keberadaannya di dunia adalah kematian. Kematian mengembalikan manusia ke keadaannya semula, yaitu sesuatu yang beku. Kemudian, ia pun kembali ke tanah, menjadi bangkai yang berbau busuk. Rusak seluruh anggota tubuhnya; rapuh tulang-tulangnya. Seluruh bagian tubuhnya menjadi santapan cacing-cacing tanah, sehingga akhirnya menjadi tanah kembali. Setelah masa yang panjang, bagian-bagian badan yang telah berpisah itu pun dikumpulkan kembali untuk dibangkitkan.

Pada hari kiamat kelak, gunung-gunung berjalan, langit terpecah, bintang-bintang berserakan, matahari digulung, dan suasana menjadi gelap gulita. Setelah hari kebangkitan itu, neraka Jahannam menggelegar, dan buku-buku catatan amal pun dibuka. Dikatakanlah kepada manusia,

ٱقۡرَأۡ كِتَٰبَكَ كَفَىٰ بِنَفۡسِكَ ٱلۡيَوۡمَ عَلَيۡكَ حَسِيبٗا ١٤

“Bacalah kitabmu. Cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (al-Isra’: 14)

Akankah kesombongan masih tersisa pada diri seseorang, padahal dia telah mengetahui keadaannya tersebut?

Adapun penyembuhan secara amalan terhadap penyakit sombong adalah berperilaku tawadhu’, semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini dilakukan dengan cara tekun mengamalkan akhlak-akhlak orang-orang yang tawadhu’.

Orang yang sombong karena kekayaannya hendaklah memerhatikan bahwa ada orang-orang selainnya yang telah lebih dahulu kaya. Orang yang sombong karena ilmu yang dimilikinya hendaklah mengetahui bahwa tuntutan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak atas ilmu yang ia miliki sangatlah besar.

Setiap individu hendaknya mengetahui bahwa sifat sombong dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sifat tawadhu’ yang dimiliki oleh hamba-Nya. (Minhajul Qashidin karya al-Imam Ibnu Qudamah, hlm. 231, dengan diringkas)

Mencapai Derajat Tinggi dengan Sikap Tawadhu’

Ketinggian derajat di dunia dan di sisi Allah itu tidak dicapai dengan sikap merasa tinggi dan merasa lebih mulia atas orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala justru akan mengangkat derajat seseorang ketika ia menjauhi kedua hal tersebut. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَما زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta benda seseorang; tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada orang-orang yang suka memaafkan selain tambahan kemuliaan; dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah semata melainkan Dia pasti mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim no. 2588)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menuturkan, “Tawadhu’ semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala memiliki dua makna:

  1. Tawadhu’ terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, janganlah Anda bersikap sombong terhadap agama Allah dan terhadap penunaian hukum-hukumnya.
  2. Tawadhu’ terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, bukan karena takut kepada mereka, bukan pula karena mengharapkan apa yang mereka miliki. Semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua makna tersebut benar.

Barang siapa bersikap tawadhu’ semata-mata karena Allah, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini bisa disaksikan. Orang yang berakhlak tawadhu’ memiliki kedudukan yang tinggi di sisi manusia, mendapatkan sebutan yang baik, dan dicintai oleh orang lain. Lihatlah tawadhu’ Rasul kita.” (Syarh Riyadhish Shalihin)

Wallahu a’lam.