Qonitah
Qonitah

menggapai kebahagiaan dunia akhirat

11 tahun yang lalu
baca 9 menit
Menggapai Kebahagiaan Dunia Akhirat

Oleh: Al-Ustadz ‘Utsman

Kebahagiaan dan kesuksesan adalah dambaan setiap orang, baik muslim maupun non muslim, pria maupun wanita. Hal ini terlihat pada berbagai aktivitas manusia di dunia. Jika mereka ditanya tentang tujuan aktivitas mereka, akan muncul jawaban yang bermacam-macam, tetapi berkisar pada satu titik: mencapai kebahagiaan, ketenangan, dan kemakmuran. Namun, ada perbedaan antara orang yang beriman kepada Allah l dan hari akhir, dengan orang yang hanya berorientasi pada kehidupan dunia.

Muslim sejati akan berusaha menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Bahkan, kebahagiaan akhirat lebih dia utamakan daripada kebahagiaan duniawi. Allah k sebagai pencipta dan pengatur alam semesta telah menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dia pun mengutus Nabi yang agung—penutup para nabi dan rasul, yaitu Muhammad n—sebagai panutan kita dalam hal meraih cita-cita di dunia dan akhirat.

Kaum wanita, yang menjadi bagian terbesar umat ini, tentu saja mendapat perhatian besar dalam Islam agar mereka meraih kebahagiaan dan kesuksesan.

Surat al-’Ashr

Allah l berfirman,

ﮋ ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕ  ﭖ  ﭗ  ﭘ  ﭙ  ﭚ   ﭛ  ﭜ  ﭝ  ﭞ  ﭟ  ﭠ    ﭡ   ﮊ

“Demi waktu. Sungguh, seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebaikan, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr: 1—3)

Para sahabat g menaruh perhatian besar terhadap surat ini. Sampai-sampai, jika dua orang dari mereka bertemu, keduanya tidak akan berpisah sebelum salah seorang membacakan surat ini kepada temannya. Barulah keduanya mengucapkan salam sebelum berpisah setelah itu.[1]

Al-Imam asy-Syafi’i t mengomentari surat ini, “Jika manusia merenungi kandungan surat ini, tentu surat ini akan mencukupi mereka.”[2] Maksud beliau, surat ini cukup sebagai pendorong bagi seseorang agar menempuh jalan yang benar dalam meniti kehidupan ini.

Surat yang terdiri atas tiga ayat ini telah menunjuki kita jalan yang gamblang agar kita terhindar dari kerugian dan kebangkrutan, dengan kata lain agar kita meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Allah l, sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, mengingatkan bahwa semua orang pasti[3] akan merugi, kecuali orang yang memiliki empat sifat: iman, amal saleh, dakwah di jalan Allah, dan sabar. Orang berakal yang mendapat peringatan dari Dzat yang mengasihinya dan Dzat yang paling mengetahui kebaikan bagi dirinya tentu akan berusaha melepaskan diri dari kerugian. Tentu, caranya adalah menghiasi diri dengan keempat sifat tersebut.

1. Iman

Secara ringkas, iman adalah keyakinan yang kokoh di dalam kalbu, yang diiringi dengan ucapan dan perbuatan anggota badan. Iman seseorang bisa bertambah ketika dia berbuat taat, dan berkurang ketika berbuat maksiat. Iman dibangun di atas enam hal yang lazim disebut sebagai rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada takdir Allah.

Iman yang benar akan membuahkan hidup yang lurus dan penuh ketenangan. Orang yang mengimani bahwa Allah adalah al-’Alim, as-Sami’, dan al-Bashir (Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Melihat) akan terarah hidupnya. Dia tidak akan sembarangan berbuat maksiat walaupun tidak ada manusia yang tahu. Sebab, ada Dzat yang Maha Tahu. Jangankan perbuatan maksiat, keinginan berbuat maksiat yang baru terlintas di benaknya saja Allah l pasti mengetahuinya. Ketika menyadari hal ini, seorang mukmin urung bermaksiat kepada Allah. Apalagi kalau iman sudah membuatnya mencintai Allah, tidak mungkin dia mau melakukan perbuatan yang dibenci oleh Dzat yang dia cintai. Di sisi lain, keimanan kepada ketiga nama di atas akan menimbulkan ketenangan hidup.

Ketika Allah l berjanji dalam banyak ayat-Nya bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, seorang mukmin akan selalu merasa terjaga dan terbimbing oleh-Nya. Bagaimana pula jika hal itu ditambah dengan iman kepada sekian banyak asmaul husna yang semuanya mengandung makna-makna yang sangat menakjubkan dan luar biasa? Terlebih lagi jika keimanan ini dirangkai dengan iman yang benar tentang takdir Allah. Tentu, tidak akan tersisa dalam hidupnya kesedihan yang berlarut-larut akibat berbagai musibah dan kesulitan hidup yang dialami. Beban ekonomi, bisnis, masalah jodoh dan rumah tangga, serta sekian banyak masalah duniawi lainnya akan tampak ringan jika dilihat dari kaca mata takdir Allah dan hikmah-Nya.

Jika orang yang mengaku beriman masih merasa ragu terhadap apa yang dia imani, berarti imannya masih jauh dari sempurna. Untuk menepis keraguan dan menimbulkan keyakinan yang mantap, diperlukan ilmu yang benar terhadap apa yang diimani. Kenyataan menunjukkan, ketika iman seseorang lemah dan tidak dilandasi oleh ilmu, dia akan mudah terpengaruh oleh ajakan-ajakan yang menyimpang, baik berupa hawa nafsu (syahwat) maupun kerancuan berpikir (syubhat). Terlebih kaum wanita, yang disifati oleh Rasulullah n sebagai makhluk yang kurang akal dan kurang agama. Mereka harus lebih berhati-hati menjaga iman. Mereka harus membekali diri dengan ilmu agama yang cukup. Hadits shahih yang memberitakan bahwa kebanyakan pengikut Dajjal—si Pembohong Besar yang akan keluar pada akhir zaman—adalah kaum wanita[4], menjadi salah satu bukti akan hal ini.

Islam telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu dan keutamaan mencari ilmu[5], termasuk perhatian kepada kaum wanita secara khusus. Diberitakan dalam hadits bahwa sebagian wanita sahabat meminta kepada Nabi n agar menyediakan satu hari khusus untuk mengajari mereka. Beliau pun menyanggupi permintaan tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Selain itu, dalam berbagai kesempatan khotbah, beliau memberikan porsi khusus nasihat bagi kaum wanita. Salah satunya adalah peristiwa Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Ketika itu, berkumpul lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Sebuah perkumpulan terbesar umat manusia pada zaman itu. Beliau menyampaikan pesan-pesan agung yang terkait dengan kaum wanita.

Ilmu apakah yang perlu dipelajari oleh seorang muslim, terkhusus kaum wanita (muslimah)?

Jawabnya, ilmu yang dibutuhkan untuk beramal dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang terkait dengan akidah atau keyakinan harus diprioritaskan dan dipelajari dengan baik. Sebab, penyebaran akidah yang murni adalah inti dakwah para nabi dan rasul. Selain itu, perwujudan makna dua kalimat syahadat adalah kunci masuk surga kelak pada hari kiamat.

Prioritas berikutnya adalah mempelajari ibadah-ibadah yang wajib dikerjakan, terutama shalat. Seseorang harus mempelajari syarat, rukun, dan kewajiban shalat, dsb., termasuk hal-hal yang berkaitan erat dengan sahnya shalat, seperti masalah bersuci, hukum-hukum seputar haid, nifas, dan sebagainya. Adapun ibadah yang belum akan dilakukan, dia belum wajib mempelajarinya. Misalnya, orang yang belum mampu berhaji belum wajib mempelajari manasik haji. Contoh lain adalah masalah kerumahtanggaan. Orang yang belum ingin berkeluarga belum wajib mempelajari tuntunan seputar rumah tangga. Demikianlah, setiap ibadah yang hendak dilakukan harus dilandasi oleh ilmu yang benar.

2. Amal Saleh

Amal saleh menjadi bukti bahwa ilmu yang dimiliki seseorang adalah ilmu yang bermanfaat. Iman yang tertancap di dalam kalbu diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Ilmu, pengetahuan, dan hafalan yang dimiliki tidak sekadar dibangga-banggakan. Jika hal inilah yang terjadi, dia masuk dalam ancaman Allah dalam firman-Nya,

ﮋ ﮋ  ﮌ   ﮍ  ﮊ

“Saling berlomba menjadi yang paling banyak telah melalaikan kalian.” (at-Takatsur: 1)

Ibnul Qayyim t mengingatkan bahwa saling berbangga dan menyombongkan ilmu yang dimiliki lebih jelek daripada saling berbangga dengan harta dan kedudukan. Sebab, ilmu yang seharusnya dia peruntukkan untuk menggapai ridha Allah justru dia pakai untuk kepentingan dunia.[6]

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan iman dan amal saleh secara bersamaan karena keduanya memang berkaitan sangat erat.

Suatu amal dikatakan saleh jika terkumpul padanya dua syarat: ikhlas mengharap wajah Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi n. Inilah intisari dari dua kalimat syahadat. Jika salah satu dari kedua syarat ini hilang, suatu amal tidak akan disebut amal saleh walaupun jumlahnya banyak.

Sebagai penutup, mari kita renungkan satu-satunya doa yang wajib dibaca oleh setiap muslim dalam setiap rakaat shalat. Allah, Dzat yang paling tahu kebaikan bagi para hamba-Nya, mewajibkan doa ini untuk dibaca pada setiap rakaat karena setiap hamba sangat membutuhkannya. Doa ini berkaitan erat dengan kebahagiaan dunia dan akhirat seseorang. Ya, doa ini telah kita hafal bersama. Doa ini adalah tiga ayat terakhir dalam surat al-Fatihah. Dengannya, kita meminta agar diberi hidayah dalam meniti ash-shirathal mustaqim, baik jalan lurus di dunia maupun shirath yang terbentang di atas Jahannam yang kelak kita semua akan menitinya.

Hidayah meniti ash-shirathal mustaqim ialah dengan kita mengikuti jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan dengan menjauhi dua golongan: al-maghdhubi ‘alaihim dan adh-dhallin. Disebutkan dalam hadits shahih[7] bahwa al-maghdhubi ‘alaihim adalah kaum Yahudi dan siapa pun yang sejalan dengan mereka, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya. Adh-dhallin adalah kaum Nasrani dan siapa saja yang sejalan dengan mereka, yaitu orang yang memiliki semangat beramal tanpa dilandasi oleh ilmu.[8] Adapun golongan yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, adalah yang mengumpulkan dua sebab kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu iman dan amal saleh. Allahu a’lam. (bersambung di edisi 2…)



[1] HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Asy-Syaikh al-Albani menyebutkannya dalam ash-Shahihah 2648.

[2] Ucapan al-Imam asy-Syafi’i t ini masyhur dari beliau, sebagaimana yang dinukil oleh para ulama, seperti Syaikhul Islam dalam al-Istiqamah, Ibnul Qayyim dalam banyak kitab beliau—di antaranya Ighatsatul Lahafan dan Miftah Daris Sa’adah, dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.

Adapun yang dinukil oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Tsalatsatul Ushul dengan makna, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas makhluk-Nya selain surat ini, niscaya surat ini telah mencukupi mereka”, kami tidak mendapatkan adanya ulama sebelum beliau yang menukil ucapan al-Imam asy-Syafi’i t dengan makna seperti ini. Allahu a’lam.

[3] Allah l menggunakan tiga taukid (penegasan) sekaligus untuk memastikan bahwa kerugian akan dialami oleh semua orang, kecuali orang yang memiliki empat sifat di atas. Ketiga taukid itu ialah sumpah (wal ‘ahsr), kata inna (sesungguhnya), dan huruf lam pada ucapan la fi khusr. Penjabaran masalah ini ada dalam ilmu ma’ani, cabang dari ilmu balaghah.

[4] HR. Ahmad dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani t menyebutkannya dalam ash-Shahihah no. 3081.

[5] Disebutkan secara panjang lebar dalam Miftah Daris Sa’adah.

[6] Lihat ‘Uddatush Shabirin.

[7] HR. at-Tirmidizi dan lainnya; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil t.

[8] Tidak ada perbedaan di kalangan ahli tafsir tentang makna ini, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir-nya.