Qonitah
Qonitah

mengagungkan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wassalam

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Mengagungkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

titian-sunnah-7Al-Ustadz Abu Amr Alfian

Mengidolakan figur tertentu merupakan fenomena yang jamak terjadi karena memang demikianlah kecenderungan tabiat manusia. Apabila seseorang sudah ngefans berat kepada tokoh idolanya, dia ingin meniru semua gerak-gerik sang idola. Bahkan, model rambut dan menu favorit pun harus sama dengan tokoh pujaan.

Bagaimana halnya dengan seorang mukmin? Seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir akan senantiasa terbimbing dengan cahaya wahyu yang diturunkan oleh Allah    kepada umat manusia. Dalam al-Qur’anul Karim, Allah telah menunjukkan figur yang pantas menjadi suri teladan bagi kaum mukminin. Allah berfirman,

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap (bertemu dengan) Allah dan Hari Akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai suri teladan. Dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah , ayat di atas merupakan dasar terbesar untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam hal perkataan, perbuatan, maupun kondisi-kondisi beliau. Namun, tidak semua orang mau meneladani beliau. Yang mau menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai figur panutan hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah, beriman kepada Hari Akhir, dan banyak mengingat Allah, sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas.

Demikianlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam adalah tokoh terbesar bagi kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan mereka untuk menghormati dan mengagungkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٥٧

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi) pun memuliakannya, membelanya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (alQur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’raf: 157)

Pada ayat di atas, Allah menerangkan sifat-sifat orang yang beruntung, yaitu beriman kepada Rasulullah n, mengagungkan dan membela beliau, serta mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.

Bagaimana cara kita mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah dengan cara menyembah beliau, berdoa dengan memanggil-manggil nama beliau, atau meyakini bahwa beliau bisa memberikan kebaikan atau menghindarkan kita dari kejelekan? Tidak, perbuatan tersebut merupakan pengultusan dan penyembahan kepada Nabi, bukan pengagungan yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ

Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian (maka janganlah kalian menyembahku), yang diwahyukan kepadaku bahwasanya sembahan kalian itu adalah Allah yang Esa’.” (al-Kahfi: 110)

Dijelaskan oleh para ulama bahwa mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam itu meliputi pengagungan dengan hati, dengan lisan, dan dengan anggota badan.

Pengagungan dengan hati diwujudkan dengan cara meyakini bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh diyakini lebih dari itu. Beliau adalah hamba Allah—yang paling sempurna ibadahnya kepada Allah—sekaligus Rasul-Nya yang paling utama. Termasuk pengagungan dengan hati adalah mengedepankan kecintaan terhadap beliau di atas kecintaan terhadap semua manusia, bahkan di atas kecintaan terhadap diri sendiri.

Pengagungan dengan lisan ialah dengan cara memuji dan menyebut-nyebut kebaikan beliau dengan pujian yang proporsional, sesuai dengan kedudukan beliau sebagai hamba dan rasul—tidak berlebihan hingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan sebagai hamba Allah, tidak pula terlalu sedikit hingga kurang menghargai kedudukan beliau sebagai rasul yang paling mulia. Di antara bentuk pengagungan dengan lisan adalah bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun pengagungan dengan amal anggota badan adalah dengan cara:

  • Mengamalkan agama beliau, meneladani sunnah-sunnah beliau, melaksanakan segala perintah beliau, dan menjauhi segala larangan beliau.
  • Berhukum kepada sunnah beliau dalam segala urusan, baik yang besar maupun yang kecil, yang global maupun yang rinci, serta ridha terhadap hukum tersebut dengan sepenuh hati tanpa ganjalan sedikit
  • Berupaya menampakkan dan menolong agama beliau, menyampaikan risalah beliau kepada umat manusia, dan mengajak mereka untuk berpegang pada sunnah beliau, mengambil petunjuk beliau, dan meniti jejak beliau.
  • Membela pribadi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan sunnah-sunnah beliau serta membela para pembawa bendera sunnah dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama yang menempuh jalan mereka.

Ringkasnya, mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam adalah dengan mengagungkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ahlus Sunnahlah yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi, mengutamakan, dan mengagungkannya. Mereka berpegang teguh pada wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka dari itu, (dalam situasi tersebut) wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43)

Wasiat di atas sangatlah agung. Dalam wasiat tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berpesan agar kita berpegang teguh pada as-Sunnah dan meninggalkan semua bid’ah, yaitu setiap keyakinan atau amalan baru dalam agama, yang tidak memiliki landasan dari ajaran/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di atas wasiat itulah Ahlus Sunnah berjalan. Mereka senantiasa mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengedepankannya di atas ucapan atau pendapat siapa pun.

Contoh Pengagungan Terhadap Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam

Apabila melihat fakta sejarah, kita akan mendapati berbagai sikap indah dan menakjubkan yang ditunjukkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Semua itu menunjukkan bahwa mereka sangat mengutamakan as-Sunnah—dengan berpegang teguh padanya dan mengamalkannya—di atas pendapat siapa pun. Mereka juga siap mengoreksi keyakinan dan amal mereka dengan Sunnah Nabi. Itulah puncak pengagungan terhadap Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, khalifah pertama, mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan satu amalan pun yang pernah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan pasti aku juga mengamalkannya. Sungguh, aku takut binasa jika berani meninggalkan satu saja dari sunnah Nabi.” (Riwayat al-Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bertakwalah kepada Allah, istiqamahlah, berittiba’lah, dan jangan berbuat bid’ah.” (Riwayat ad-Darimi 1/53)

Qaz’ah bin Yahya rahimahullah bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, “Saya akan berziarah ke Gunung Thur.” Ibnu ‘Umar menjawab, “Tinggalkan Gunung Thur dan jangan menziarahinya!” Beliau berdalil dengan hadits, “Janganlah engkau melakukan perjalanan serius[1] untuk ibadah/ziarah kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf­-nya 4/65, sedangkan hadits yang disebutkan oleh Ibnu ‘Umar diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397)[2]

Al-Imam az-Zuhri rahimahullah berkata, “Berpegang teguh pada as-Sunnah adalah keselamatan.” (Riwayat ad-Darimi I/45)

Pada suatu hari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah ditanya tentang suatu masalah, maka beliau menjawab, “Dalam masalah ini telah diriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”—maksudnya, beliau menjawab sesuai dengan hadits. Si penanya pun berkata, “Wahai Imam, apakah Anda berpendapat sesuai dengan hadits tersebut?” Mendengar pertanyaan ini, tubuh al-Imam asy-Syafi’i bergetar hebat, lalu beliau berkata, “Hai kamu, bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah n, tetapi aku tidak berpegang padanya?! Sungguh, aku sangat menjunjung tinggi sunnah tersebut.” (Hilyatul Auliya` 9/106, Shifatush Shafwah hlm. 438)

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa telah jelas baginya sunnah Rasulullah n, tidak halal baginya meninggalkan hadits tersebut karena pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqqi’in 2I/282)

Termasuk mengagungkan sunnah Nabi adalah bersemangat mempelajari dan mengajarkannya kepada umat. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang paling berbahagia dengan sabda Nabi n,

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا

           “Semoga Allah menjadikan indah wajah orang yang mendengar sabdaku, kemudian dia memahami dan menghafalnya, lalu menyampaikannya (kepada orang lain).” (HR. at-Tirmidzi no. 2658)

[1] Yakni dengan keyakinan bahwa ibadah di tempat itu lebih utama di banding tempat lainnya.

[2] Dalam kisah dan hadits ini terdapat renungan bagi orang-orang yang suka menziarahi makam wali atau berziarah ke tempat-tempat keramat, yang sering diistilahkan dengan “safari religi.” Ketahuilah, perbuatan tersebut bertentangan dengan sabda Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam . Beliau n hanya mengizinkan “safari religi” ke tiga masjid saja, sedangkan ke tempat selainnya tidak diperbolehkan. Di samping itu, fakta membuktikan terjadinya banyak praktik kesyirikan pada ziarah-ziarah tersebut. Wallahul musta’an.