Qonitah
Qonitah

mendidik anak dengan ketegasan

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Mendidik Anak dengan Ketegasan

buah-kasih-15Al-Ustadzah Ummu Umar Asma

Saat kita bertanya kepada pasangan pengantin baru tentang apa yang mereka inginkan, tidak sedikit yang menjawab ingin segera punya momongan. Dari jawaban ini kita bisa melihat betapa besar keinginan seseorang terhadap kehadiran anak dalam kehidupannya.

Berbagai persiapan pun dilakukan, lebih-lebih saat diketahui bahwa harapan itu tidak lama lagi akan menjadi kenyataan. Saat istri diketahui telah mengandung calon buah hati mereka, calon ayah dan calon ibu pun semakin bahagia. Walau tidak sedikit calon ibu yang mengalami kepayahan selama masa kehamilannya, hatinya tetap saja berbunga-bunga menantikan kelahiran sang buah hati.

Keceriaan keluarga kecil ini semakin bertambah saat terdengar suara tangis si jabang bayi. Hari demi hari, kesabaran dan kasih sayang ayah ibu senantiasa mendampingi pertumbuhan si kecil.

Demikian gambaran umum kehidupan seseorang sejak menginginkan hadirnya anak sampai saat Allah menganugerahkan nikmat itu kepadanya. Namun, saat si kecil tumbuh semakin besar, saat mereka harus melalui tahapan-tahapan perkembangan fisik dan akal, tidak jarang orang tua mulai menampakkan perubahan sikap.

Anak, Makhluk yang Lemah

Mulai usia dua tahun, biasanya anak bergerak semakin aktif dan memiliki semakin banyak keinginan dan permintaan. Hal ini terkadang membuat orang tua kewalahan menghadapi mereka. Kesabaran pun mulai menipis. Di sisi lain, emosi semakin meningkat. Akibatnya, terkadang muncul kata-kata atau tindakan orang tua yang tidak sepantasnya ditujukan kepada anak-anak. Mengapa? Karena akal mereka belum sempurna.

Allah berfirman, menyifatkan anak-anak sebagai makhluk yang lemah,

فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ

 

            “Dan apabila yang berutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya), atau orang yang tidak mampu mengimlakan (apa yang hendak ditulis itu), hendaknya walinya yang mengimlakan dengan adil.” (al-Baqarah: 282)

Ayat di atas terkait dengan syariat menuliskan muamalah utang-piutang di antara kaum muslimin. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa yang dimaksud orang yang lemah (keadaannya) adalah anak kecil atau orang gila.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman,

إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا ٩٨

“… kecuali orang-orang yang lemah dari kalangan pria, wanita, dan anak-anak, yang tidak mampu berusaha dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (an-Nisa’: 98)

Dalam ayat ini Allah juga menggolongkan anak-anak sebagai makhluk yang lemah. Oleh karena itu, Allah belum membebani mereka untuk melaksanakan syariat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini melalui sabda beliau,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ

Diangkat pena dari tiga golongan manusia (amalan mereka tidak dicatat, -pen.): dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.(HR. Abu Dawud dan selain beliau, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 2207)

Menyikapi Anak-anak

Nah, Pembaca Qonitah, setelah membaca nash-nash di atas, kita tahu bahwa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Fisik mereka masih lemah, akal mereka pun belum sempurna.

Mereka sedang belajar menjalani kehidupan ini. Tentu kita setuju bahwa dalam tahap belajar, kegagalan adalah hal yang wajar. Termasuk dalam belajar bersikap. Anak-anak sedang belajar bersikap yang benar. Oleh karena itulah, mereka sangat membutuhkan perlindungan dan bimbingan orang tua.

Jadi, yang mestinya kita berikan—dan inilah yang mereka butuhkan—adalah bimbingan dengan penuh kasih sayang, bukan sikap kaku dan keras. Jangan sampai kegagalan anak dipandang sebagai kesalahan sehingga dengan mudah orang tua menghukum anak, baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan. Sikap seperti ini justru akan menyakiti anak. Lebih jauh lagi, anak akan belajar bersikap kaku dan keras pula. Semoga Allah melindungi kita dari keadaan demikian.

Mungkin ada yang berpendapat, kalau anak tidak disikapi dengan keras, dia akan tumbuh menjadi anak manja. Pendapat ini tidak benar. Kita tetap bisa bersikap tegas walau dengan kata-kata yang halus dan sikap yang tenang. Tegas berarti konsisten, baik dalam memberikan perintah maupun larangan.

Orang tua memang perlu bersikap tegas dalam mendidik anak. Hal ini, sekali lagi, tetap bisa dilakukan dengan kata-kata yang lembut dan penuh hikmah. Tidak perlu orang tua memberikan ancaman kepada anak yang membuat mereka ketakutan.

Sifat manja bisa muncul pada diri anak ketika orang tua sering tidak konsisten. Misalnya, orang tua melarang anak dari sesuatu. Namun, saat anak merengek karena menginginkannya, hati orang tua luluh. Larangan tersebut seakan-akan tidak pernah terucap dari lisannya. Apabila hal ini sering terjadi tanpa penjelasan orang tua mengenai alasan “dibatalkannya” larangan tersebut, anak akan belajar bahwa dengan rengekan, semua keinginannya bisa terpenuhi.

Kebalikannya adalah orang tua yang menyikapi rengekan anak dengan kaku dan keras. Ketika anak mulai merengek, orang tua ini langsung menampakkan ketegangan di wajahnya. Apabila anak melanjutkan aksinya, ia pun tidak mau kalah. Kata-kata, bahkan tindakan keras, mulai ia lancarkan kepada buah hatinya. Ia tidak mau tahu kemauan dan kondisi anak. Ia pun tidak peduli terhadap akibat sikap kerasnya pada diri buah hatinya.

Adapun orang tua yang bersikap pertengahan, ia tetap konsisten dengan aturan yang dibuat. Namun, ia juga memerhatikan kondisi anak-anak. Dengan cara yang lembut, ia bimbing anak-anak untuk mematuhi peraturan.

Saat anak tampak ingin melanggarnya, orang tua ini melihat alasan anak. Apabila tindakan atau keinginan anak hanya dilatarbelakangi sikap manja, orang tua ini tidak menghiraukannya. Ia tetap membimbing anak untuk taat, tetapi tanpa emosi sehingga bisa menggunakan kata-kata yang bijak. Jika alasan anak dapat dibenarkan, ia pun bersikap lunak. Bisa saja orang tua “melonggarkan” aturan, asalkan tetap menjelaskan alasannya. Dengan demikian, anak tidak menilai bahwa orang tuanya tidak konsisten.

Teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sikap tegas dalam balutan kasih sayang ini kita dapati dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebutlah kisah cucu beliau yang memakan kurma sedekah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan,

أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كِخْ كِخْ؛ لِيَطْرَحَهَا، ثُمَّ قَالَ: أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebutir kurma sedekah lalu memasukkannya ke mulutnya. Melihat hal itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, ‘Kikh, kikh!’, supaya al-Hasan memuntahkannya. Kemudian, beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau tahu bahwa kita (ahli bait Nabi, -ed.) tidak boleh makan harta sedekah?’.” (HR. al-Bukhari no. 1396 dan Muslim no. 1778)

Lihatlah, Pembaca, semoga Allah memberi kita petunjuk, beliau tidak marah kepada al-Hasan. Beliau tidak mencela dan memakinya, padahal yang diperbuat al-Hasan adalah pelanggaran terhadap syariat. Beliau mengingatkannya dengan kata-kata yang bijaksana. Akan tetapi, beliau tidak lantas membiarkan perbuatan sang cucu dengan alasan al-Hasan masih kecil, misalnya. Beliau tetap melarangnya dengan tegas, tetapi dengan sikap yang lembut.

Banyak sekali kisah beliau bersama anak-anak, baik anak-anak dari keluarga beliau sendiri maupun anak-anak para sahabat. Semuanya menunjukkan bahwa beliau menyikapi anak-anak sesuai dengan keadaan mereka, makhluk lemah yang masih butuh bimbingan dan kasih sayang ini.

Insya Allah, penulis bawakan kisah-kisah tersebut di edisi mendatang. Harapan penulis, kita bisa mengambil teladan dari beliau dalam mendidik buah kasih kita yang merupakan anugerah sekaligus amanat dari Allah. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang tua yang saleh dan salihah. Amin.