Qonitah
Qonitah

memupuk cinta kepada rasulullah

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Memupuk Cinta Kepada Rasulullah

titian-sunnah-3Oleh : Al-Ustadz Abu Amr Alfian

Diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nikmat yang sangat besar bagi umat manusia. Beliau adalah nabi akhir zaman, yang kedatangannya telah diberitakan oleh para nabi dan rasul sebelumnya kepada umatnya masing-masing. Allah l berfirman,

ﭽ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﭼ

“Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul (yakni Nabi Muhammad) dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab serta al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran: 164)

Beliau adalah nabi yang sangat penyayang kepada umat dan memiliki kepedulian yang sangat besar demi kebaikan umat. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat mulia Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam al-Qur’an,

ﭽ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﭼ
“Sungguh, telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Terasa berat oleh rasul tersebut penderitaan kalian. Dia (Rasul) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, sangat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Pada ayat lainnya, Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan sifat-sifat beliau yang sangat penyayang, bijak, dan lemah lembut,
ﭽ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (wahai Muhammad) bisa berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa ‘Atha bin as-Sa’ib bercerita, “Aku berjumpa dengan ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu. Aku katakan kepadanya, ‘Ceritakan kepada saya sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab Taurat.’
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh Taurat menyebutkan sifat beliau sebagaimana sebagian sifat beliau dalam al-Qur’an:
‘Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi berita gembira, dan pemberi peringatan , serta sebagai penjaga bagi kaum ummi (Arab). Engkau adalah hamba dan Rasul-Ku. Aku beri nama engkau al-Mutawakkil (yang bertawakal kepada-Nya), yang tidak keras, tidak pula berhati kasar, tidak bersuara keras di pasar (ketika berselisih), tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidaklah mewafatkannya hingga Dia luruskan agama kekufuran, (yaitu hingga) mereka mau mengatakan La ilaha illallah. Dengan kalimat tersebut Allah membuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, dan hati-hati yang tertutup.” (HR. al-Bukhari no. 2125)

Sungguh, kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi rahmat bagi alam semesta.
ﭽ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﭼ
“Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya’: 107)

Risalah yang beliau bawa adalah cahaya yang menerangi alam ini. Allah l berfirman,
ﭽ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﭼ
“Sungguh, telah datang dari Allah kepada kalian cahaya dan kitab yang jelas.” (al-Maidah: 15)

Cinta Rasul adalah Bagian Keimanan

Setiap hamba mukmin yang telah mengikrarkan syahadatain “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” pasti tertanam dalam sanubarinya kecintaan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seorang hamba telah mantap dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tersemailah benih cinta tersebut dalam kalbunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 45)

Kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian tak terpisahkan dari kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala . Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk prinsip-prinsip keimanan.” (Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Rajab, syarah hadits no. 14—15)

Wajib Mendahulukan Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas Segala-galanya
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi kecintaan terhadap segala sesuatu. Pada salah satu ayat-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala mengancam siapa pun yang lebih mencintai sesuatu daripada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman,
ﭽ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﭼ
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apabila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

Bahkan, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam harus melebihi cinta seseorang kepada dirinya sendiri! Suatu ketika, Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah `,
يَا رَسُولَ اللهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ، وَاللهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْآنَ يَا عُمَرُ
“Wahai Rasulullah, sungguh, Anda lebih saya cintai daripada segala sesuatu kecuali diri saya.” Rasulullah bersabda, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, (seharusnya) sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” ‘Umar pun segera menjawab, “Sungguh, sekarang, demi Allah, Anda benar-benar lebih saya cintai daripada diri saya sendiri!” Rasulullah bersabda, “Sekarang, wahai ‘Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. al-Bukhari no. 6632)

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (w. 795 H) mengatakan, “Maka dari itu, wajib mendahulukan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas (kecintaan) kepada diri sendiri, anak-anak, karib kerabat, keluarga, harta, tempat tinggal, dan hal-hal lain yang dicintai oleh manusia dengan puncak kecintaan.” (Fathul Bari karya beliau)

Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin tidak akan bisa menjadi mukmin yang sempurna imannya hingga benar-benar mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kecintaan kepada semua makhluk. Kecintaan kepada Rasul mengikuti kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (yakni Allah l).” (Jami’ul ‘Ulul wal Hikam, 2/396, syarah hadits ke-41)

Mengapa Harus Mencintai Rasul Melebihi Kecintaan kepada Diri Sendiri?
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (w. 852 H) menerangkan bahwa apabila seseorang mau memikirkan baik-baik jasa besar Rasulullah ` terhadap dirinya, sudah sepantasnya dia mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang pasti mencintai dirinya sendiri dan orang lain. Dia mencintai dirinya sendiri karena menginginkan dirinya terus eksis dan selamat dari berbagai gangguan. Inilah yang menjadi harapan (setiap orang). Dia juga mencintai orang lain—yang dia cintai—karena berharap bisa mencapai berbagai manfaat (dari orang tersebut), baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Apabila seseorang merenungkan manfaat yang didapatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah berjasa mengeluarkannya dari kegelapan kekufuran menuju cahaya iman, baik secara langsung maupun tidak, niscaya dia tahu bahwa Rasulullah adalah sebab kekekalan dirinya dalam kenikmatan yang tiada henti.

Dengan demikian, sadarlah dia bahwa jasa beliau ` itu (yakni membawa cahaya iman) adalah manfaat/jasa yang paling besar dibandingkan dengan berbagai manfaat lainnya. Oleh karena itu, sangat layak apabila beliau mendapat bagian kecintaan yang lebih besar daripada yang selain beliau. Sebab, manfaat yang menjadi alasan untuk mencintai beliau lebih besar daripada manfaat yang diperoleh dari selain beliau.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, syarah hadits no. 14—15)

Tanda dan Bukti Kecintaan

Hakikat cinta adalah kecocokan/kesesuaian. Ruwaim bin Ahmad al-Baghdadi (w. 303 H) ditanya tentang cinta, maka dia menjawab, “Menyesuaikan diri dengan (yang dicintai) pada semua kondisi.”

Kecintaan yang tulus dan murni berkonsekuensi seseorang senantiasa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan orang yang dicintainya, baik dalam hal perintah maupun larangan, baik dalam hal mencintai maupun membenci sesuatu.

Abu Ya’qub an-Nahrujuri rahimahullah berkata, “Setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah l tetapi tidak memenuhi perintah-perintah-Nya, pengakuannya adalah batil. Siapa pun yang mencintai Allah tetapi tidak takut kepada-Nya, dia tertipu.”

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Barang siapa mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak menjaga batasan-batasan-Nya, dia bukanlah orang yang jujur.”

Bukti cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan beliau, serta mengikuti beliau dalam urusan yang beliau cintai dan benci.

Tanda seseorang mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah ` di atas kecintaan kepada semua makhluk—termasuk dirinya sendiri—adalah tatkala dia dihadapkan antara menaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuruti ajakan yang muncul dari hal-hal lain yang juga ia cintai. Apabila dia lebih mengedepankan ketaatan kepada Rasul dan melaksanakan perintah-perintah beliau, itulah bukti kemurnian cintanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahwa dia lebih mengedepankan cintanya kepada Nabi di atas segala-galanya. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Rajab, syarah [penjelasan] hadits no. 15)

Karena cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian tak terpisahkan dari cinta kepada Allah, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan sikap mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bukti cinta kepada-Nya.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa beliau berkata, “Dahulu mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kami mencintai Allah.’ Allah l berkehendak menjadikan cinta mereka kepada-Nya ada buktinya, maka Dia menurunkan ayat-Nya,
ﭽ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭼ
“Katakanlah (kepada mereka, wahai Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Oleh karena itu, barang siapa mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mengindahkan perintah-perintah-Nya, seperti perintah bagi muslimah untuk berhijab, tidak ber-tabarruj, atau menaati suami, pengakuan cintanya tersebut perlu dikoreksi. Barang siapa mengaku cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak mau mengamalkan tuntunan-tuntunan beliau, perlu dikoreksi pula pengakuan cinta tersebut.

Marilah kita pupuk kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, cinta yang hakiki, berbuah pahala, pembawa kebahagiaan dan keselamatan.

Wallahu a’lam bish-shawab.