Qonitah
Qonitah

memetik faedah dari kisah ummu sulaim

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Memetik Faedah dari Kisah Ummu Sulaim

silsilah-hadits-5Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman
Pembaca yang mulia, pada rubrik “Silsilah Hadits” kali ini, kami akan membawakan sebuah hadits panjang yang di dalamnya terdapat kisah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha —salah seorang sahabat wanita dari kaum Anshar—yang telah banyak berjasa terhadap Islam dan kaum muslimin. Marilah kita simak kisahnya. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk mengambil pelajaran dari kisah ini.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita:

Malik, bapaknya, berkata kepada ibunya, Ummu Sulaim, “Sesungguhnya orang ini (yakni Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, -pen.) mengharamkan khamr.”

Malik pun pergi ke negeri Syam dan meninggal di sana. Ummu Sulaim pun menjadi janda. Datanglah Abu Thalhah meminangnya. Tatkala dilamar, Ummu Sulaim mengatakan, “Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak semestinya lamarannya ditolak. Akan tetapi, engkau masih kafir, sedangkan aku wanita muslimah. Aku tidak boleh menikah denganmu.”

“Kalau kamu mau,” kata Abu Thalhah, “aku akan memenuhi keinginanmu!”

Ummu Sulaim menjawab, “Apa yang ada di benakmu tentang keinginanku?”

“Aku akan memberimu emas dan perak.”

“Bukan emas dan perak yang kuinginkan darimu. Yang kuinginkan darimu adalah Islam. Jika engkau mau masuk Islam, itulah maharku. Aku tidak meminta kepadamu selain itu.”

Abu Thalhah bertanya, “Siapa yang bisa mengajariku masuk Islam?”

“Yang akan mengajarimu adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,” sahut Ummu Sulaim.

Pergilah Abu Thalhah mencari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika itu, Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Tatkala melihat kedatangan Abu Thalhah, Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Cahaya Islam terlihat di antara kedua mata Abu Thalhah.”

Abu Thalhah pun bercerita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tentang ucapan Ummu Sulaim. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun segera menikahkan Ummu Sulaim sesuai dengan persyaratannya (yaitu setelah Abu Thalhah masuk Islam).

Tsabit, salah satu periwayat kisah ini, mengatakan, “Belum pernah kami mendengar ada mahar yang lebih besar daripada mahar ini, yaitu Ummu Sulaim rela Islam sebagai maharnya.”

Menikahlah Abu Thalhah dengan Ummu Sulaim. Ummu Sulaim memiliki mata yang sangat indah. Rumah tangga itu pun berjalan sampai lahirlah seorang anak. Abu Thalhah sangat mencintai anak tersebut.

Pada suatu hari anak tersebut sakit keras. Abu Thalhah merasa cemas karena sakit yang diderita anaknya. Akan tetapi, dia tetap beraktivitas seperti biasanya, yaitu shalat subuh. Dia mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam untuk shalat berjamaah dan terus bersama Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam sampai tengah hari. Setelah itu, dia pulang ke rumah, tidur sejenak, dan makan siang. Ketika datang waktu shalat zuhur, dia pun bersiap-siap untuk mendatangi shalat zuhur.

Pada hari kematian anaknya, Abu Thalhah tidak pulang sampai akhir shalat isya. Dia pergi ke tempat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam (ke masjid). Malam hari itu, putra kesayangan Abu Thalhah meninggal. Berkatalah Ummu Sulaim kepada keluarganya, “Jangan ada seorang pun yang memberitahukan kematian anak ini kepada Abu Thalhah sampai saya sendiri yang memberitahukannya.”

Ummu Sulaim mengurus anak tersebut dan menyelimutinya, kemudian menempatkannya di sebuah ruangan di dalam rumahnya. Pada saat itu, datanglah Abu Thalhah dari tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersama beberapa orang yang tinggal di masjid.

Abu Thalhah bertanya, “Bagaimana keadaan putraku?”

“Wahai Abu Thalhah,” jawab Ummu Sulaim, “belum pernah dia setenang ini semenjak sakit. Aku berharap dia sudah istirahat.”

Ummu Sulaim mempersiapkan makan malam dan menghidangkannya kepada para sahabat suaminya. Mereka makan malam bersama, lalu para tamu itu keluar. Abu Thalhah pun beristirahat di ranjangnya.

Ummu Sulaim berhias dengan sangat indah, melebihi kebiasaan berhiasnya sebelum itu. Setelah itu, dihampirinya sang suami di ranjangnya. Pada malam itu, demi menghirup bau wangi dari Ummu Sulaim, Abu Thalhah pun mendatangi istrinya. Setelah suaminya tenang, pada akhir malam Ummu Sulaim menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Kata Ummu Sulaim, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan barang kepada kaum yang lain, lalu mereka meminta kembali barang pinjaman tersebut. Apakah kaum yang dipinjami berhak untuk tidak mengembalikan barang itu?”

“Tidak,” jawab Abu Thalhah.

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah meminjamimu anak, kemudian Dia mengambilnya kembali. Oleh karena itu, bersabarlah dan harapkanlah pahala dari Allah,” kata Ummu Sulaim.

Abu Thalhah agak marah karenanya. Katanya, “Engkau biarkan aku (tidak memberitahuku tentang berita kematian anakku) sampai setelah terjadi apa yang terjadi, barulah engkau memberitahukan kepadaku perihal putraku?!”

Abu Thalhah mengucapkan, إِنَّا لِلهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ dan memuji Allah subhanahu wa ta’ala. Keesokannya, dia mandi lalu pergi ke masjid Rasulullah dan shalat subuh bersama beliau. Setelah itu, dia ceritakan kepada beliau kejadian semalam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun mendoakannya, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam yang telah kalian lewati.”

Beberapa waktu kemudian, Ummu Sulaim hamil karena hubungan mereka pada malam itu. Adalah kebiasaan Ummu Sulaim safar bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam keluar dari Madinah, Ummu Sulaim pun ikut keluar, dan apabila Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam masuk ke Madinah, Ummu Sulaim pun ikut masuk ke sana.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berpesan kepada Abu Thalhah, “Kalau Ummu Sulaim telah melahirkan, bawalah bayi yang dilahirkannya kepadaku.”

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam safar, Ummu Sulaim ikut bersama beliau. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah, apabila pulang dari safar dan tiba di Madinah, beliau tidak langsung masuk ke Madinah. Akan tetapi, beliau singgah dulu di suatu tempat di dekat Madinah.

Tatkala rombongan telah mendekati Madinah (di persinggahan), timbullah rasa sakit tanda akan melahirkan. Abu Thalhah harus menjaga Ummu Sulaim sehingga tidak bisa menemani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memasuki Madinah. Rasulullah pun kemudian berangkat ke Madinah.

Abu Thalhah berdoa, “Wahai Rabbku, sesungguhnya Engkau Mahatahu bahwa aku suka selalu menyertai Rasulullah. Apabila beliau keluar, aku ikut keluar, dan apabila beliau masuk, aku ikut masuk. Engkau juga Mahatahu bahwa sekarang aku terhalang sehingga tidak bisa menyertai beliau.”

Mendengar doa Abu Thalhah tersebut, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, aku tidak merasakan berat dengan apa yang kualami ini.”

Akhirnya, keduanya pun berangkat untuk menyertai Rasulullah. Rasa sakit baru terasa lagi setelah mereka tiba di Madinah.

Ummu Sulaim pun melahirkan di Madinah.

“Wahai Anas, bayi ini jangan diberi makan sesuatu pun sebelum kaubawa ke tempat Rasulullah,” perintah Ummu Sulaim kepada putranya, Anas bin Malik. Ummu Sulaim menyertakan buah kurma bersama Anas.

Kata Anas, “Bayi itu menangis pada malam hari. Saya tidak dapat tidur pada malam itu karena mengawasi bayi tersebut. Keesokannya, saya bawa bayi itu ke hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika itu, beliau sedang memberi tanda pada unta atau kambing (tanda bahwa hewan tersebut hewan zakat).”

Tatkala Rasulullah melihat bayi itu, beliau berkata kepada Anas, “Apakah Bintu Milhan (Ummu Sulaim) sudah melahirkan?”

“Ya,” jawab Anas.

“Tunggu sebentar,” perintah Rasulullah. Beliau meletakkan apa yang ada di tangan beliau lalu menggendong bayi tersebut. “Apakah engkau membawa sesuatu?” tanya beliau.

“Ya, buah kurma.”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengunyah beberapa butir kurma sampai lembut. Setelah itu, beliau mengambil kurma yang sudah bercampur dengan air liur beliau dari mulut beliau, lalu menyuapkannya ke mulut si bayi. Rasulullah mentahnik si bayi. Bayi itu pun menyambutnya dengan mengisap rasa manis buah kurma dan air liur Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam. Dengan demikian, makanan pertama yang masuk ke lambungnya adalah air liur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Lihatlah, betapa senangnya orang-orang Anshar terhadap buah kurma.”

“Wahai Rasulullah, namailah bayi ini,” pinta Anas. Rasulullah mengusap wajah bayi itu dan memberinya nama Abdullah. Setelah Abdullah dewasa, tidak ada pemuda Anshar yang mengunggulinya. Dari Abdullah ini lahirlah keturunan yang banyak. Abdullah meninggal di peperangan yang terjadi di Persia.

Kisah ini adalah gabungan beberapa riwayat, yaitu riwayat ath-Thayalisi (no. 2056) dan konteks ini diambil darinya; riwayat al-Baihaqi (4/65—56), Ibnu Hibban (725), Ahmad (3/105—106, 181, 196, 287, 290). Kisah ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta al-Imam an-Nasa’i. Untuk keterangan lebih rinci, silakan lihat Ahkamul Janaiz karya asy-Syaikh al-Albani, hlm. 35—38.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, kisah di atas mengandung banyak pelajaran bagi kita. Di antara pelajaran yang bisa dijadikan teladan oleh kaum wanita adalah keteguhan Ummu Sulaim berpegang pada agama. Lihatlah, tidak serta-merta beliau menerima lamaran Abu Thalhah, padahal Abu Thalhah adalah pria yang punya nama dan harta. Abu Thalhah pun menawarkan emas dan perak sebagai maharnya. Namun, Ummu Sulaim menolak semua itu dan mempersyaratkan satu hal saja, yaitu Abu Thalhah masuk Islam.

Bandingkanlah dengan masa ini. Godaan dunia mencabik-cabik keimanan seseorang. Tidak sedikit kaum muslimin yang murtad karena harta, terutama kaum wanita yang lemah dan mudah tergoda oleh perhiasan dunia yang gemerlap. Banyak wanita yang menjual agamanya demi mendapatkan dunia yang fana. Mereka mengumbar aurat demi mengejar karier, atau berpindah agama untuk mengikuti agama suami.

Bagaimana mereka kelak ketika dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah subhanahu wa ta’ala? Tatkala di alam kubur, mereka ditanya oleh malaikat, “Apa agamamu?” Kalau tidak dapat menjawab dengan benar, saat itulah mereka mulai mendapatkan siksaan. Dari siksa kubur sampai terjadinya hari kebangkitan, dan diikuti oleh siksa neraka yang kekal abadi.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, banyak orang mencela wanita yang materialis. Mereka menyebutnya sebagai “cewek matre”. Namun, fenomena yang ada justru menunjukkan hal ini sering terjadi.

Pelajaran kedua dari kisah ini adalah kesetiaan istri kepada suami. Tatkala seorang wanita telah menjadi istri, dia wajib menaati suaminya dalam hal yang ma’ruf, melayaninya, dan menghiburnya tatkala sang suami mendapat musibah. Ummu Sulaim mempercantik diri untuk melayani suaminya, padahal dalam Islam, seorang wanita yang sedang berdukacita diperbolehkan tidak berdandan. Jika yang meninggal adalah salah seorang kerabatnya, masa berkabungnya adalah tiga hari. Namun, jika yang meninggal adalah suaminya, masa ihdad) (berkabung)nya 4 bulan 10 hari.

Karena kedalaman ilmunya, Ummu Sulaim menganggap bahwa menyenangkan suami lebih utama daripada dia berdukacita dan tidak mau berhias.

Adapun mayoritas wanita pada zaman ini tidak memedulikan keadaan suami. Suami tidak dilayani dengan semestinya. Istri tidak berhias untuknya atau keluar masuk rumah tanpa izinnya. Hidup bebas ala Barat sudah menjadi tradisi yang tidak asing lagi di tengah-tengah kaum muslimin.

Kebanyakan wanita masa ini tidak berhias di hadapan suami. Akan tetapi, ketika ke luar rumah mereka justru menampakkan kecantikannya. Ketika menghadiri resepsi, arisan, dan acara kumpul-kumpul lainnya, mereka berlomba-lomba memamerkan keindahan dan perhiasan. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan membuat kaum pria tergoda. Dampak negatif pun terjadi. Banyak berita tentang perselingkuhan antara pria dan wanita yang masing-masing sudah berkeluarga. Wallahul musta’an.

Pelajaran ketiga dari kisah ini adalah keteguhan dan kesabaran Ummu Sulaim ketika menghadapi musibah. Tatkala putranya meninggal, Ummu Sulaim tidak berkeluh kesah. Sebaliknya, beliau beriman terhadap takdir dan ridha kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Meski ditimpa musibah, beliau tetap menjalankan tugas rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Beliau mempersiapkan makan malam untuk suami dan para tamu suami. Sang suami, Abu Thalhah, menjamu tamunya dengan baik sehingga tamunya merasa senang dan tidak merasa membebani keluarga Abu Thalhah yang sedang ditimpa musibah.

Itu semua karena kepandaian Ummu Sulaim menyembunyikan dukacita yang sedang dialaminya. Seandainya Ummu Sulaim menceritakan kematian putranya kepada Abu Thalhah, keadaannya pun akan berubah. Bisa jadi, Abu Thalhah tidak mau makan malam, dan para tamu pun akan berpamitan karena merasa bahwa kedatangan mereka menambah beban keluarga yang sedang ditimpa musibah.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, mereka itulah para sahabat yang dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya mendakwahkan Islam. Sudah sepantasnya mereka, para sahabat, kita jadikan suri teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.`

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, tetapi sengaja tidak kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memotivasi saudaraku, khususnya kaum wanita, untuk selalu berusaha memperbaiki diri dan beramal saleh. Wallahu a’lam bish-shawab.