Qonitah
Qonitah

memahami keutamaan ayat kursi

10 tahun yang lalu
baca 12 menit
Memahami Keutamaan Ayat Kursi

tadabur-alquran-3Oleh : Al-Ustadz Fauzi bin Isnain

Memahami Keutamaan Ayat Kursi

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan sebuah pertanyaan kepada Ubai bin Ka’ab tentang satu ayat dalam al-Qur’an.

Ubai adalah sahabat Anshar dari Bani Najjar, biasa dipanggil Abul Mundzir atau Abu Thufail. Ia digelari Sesepuh Ahli Qiraah dan merupakan salah satu sekretaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat kemuliaan menulis Kalam Ilahi. Suatu ketika, ia tidak bisa menahan derai air mata haru, menangis tersedu-sedu, saat dikabari bahwa namanya disebut oleh Allah dari atas langit ketujuh. Kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah menyuruh beliau untuk menalqinkan surat al-Bayyinah kepada Ubai. Subhanallah, betapa bahagianya Ubai radhiyallahu ‘anhu dengan keutamaan ini.

Masa hidup yang penuh berkah ia jalani hingga masa kekhalifahan al-Faruq ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu . Di samping sebagai sayyid (pemuka) dalam hal qiraah, Ubai—yang tidak pernah absen dalam kancah pertempuran bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam Perang Badr Kubra, Perang Uhud, maupun peperangan lainnya—ternyata juga masyhur dengan keluasan ilmu dan kedalaman fikih. Pada zaman itu ia masuk dalam jajaran ahli fatwa dan penasihat khalifah dalam urusan-urusan pelik. Tidak mengherankan jika konon Khalifah ‘Umar menyandangkan gelar Sayyidul Muslimin kepadanya.

Saudariku muslimah, tahukah Anda pertanyaan apa gerangan yang dilontarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang cendekia ini? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang ayat yang paling utama dalam al-Qur’an.

Diceritakan sendiri oleh Ubai, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 1885), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abul Mundzir, tahukah engkau ayat yang teragung dan termulia dari al-Qur’an yang kau hafal?”

Ubai tidak bersikap gegabah saat menerima pertanyaan terkait dengan agama Allah ini. Demikianlah semua sahabat. Mereka selalu menanggapi pertanyaan-pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengembalikan ilmunya kepada Allah dan Nabi-Nya, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang menjawab pertanyaan itu.

Ubai menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Allah Maha Mengetahui segala-galanya. Adapun Nabi-Nya, tiadalah yang terucap dari lisan beliau selain kebenaran yang diwahyukan dari sisi Allah Yang Mahatahu.

Lain dari biasanya, ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab pertanyaan yang beliau lontarkan itu. Kali ini, soal tersebut diajukan kepada Ubai tanpa henti. Akhirnya, Ubai pun tidak bisa mengelak. Mau tak mau soal itu harus ia jawab.

Dengan ilmu yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, Ubai menjawab dengan mantap, “Ayat itu adalah Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum.” Ubai lalu membaca Ayat Kursi,

ﮋ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ   ﮧ   ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ     ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ   ﯠﯡ ﯢ ﯣ ﯤ   ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ   ﯯ   ﯰﯱ ﯲ ﯳ           ﯴ ﯵﯶ ﯷ     ﯸ     ﯹﯺ   ﯻ ﯼ   ﯽ ﯾ ﮊ

            “Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)

Mahasuci Allah! Ayat ini sungguh sangat agung! Benar-benar bidikan yang tepat mengenai sasaran, jawaban Ubai meraih angka 100. Tidak pelak, sahabat Anshar ini mendapat sanjungan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil menepuk dada Ubai yang bidang, Nabi n berkata, “Demi Allah, berbahagialah, wahai Abul Mundzir, dengan ilmu yang dimudahkan untukmu.”

Saudariku, Ayat Kursi bukan ayat yang asing bagi Anda. Sudah kerap Anda mendengar dan membacanya. Meski demikian, ada sisi lain yang perlu ditingkatkan dalam pribadi kita. Ya, yang saya maksudkan adalah mengilmui ayat ini dan memperdalam pemahaman terhadapnya.

Mengawali kajian ini, mari kita bertanya, “Mengapa ayat ini digelari sebagai ayat yang paling agung, paling utama, paling luhur, dan paling mulia?” Jawabnya, karena ayat ini dari awal hingga akhir menyebutkan nama-nama Allah yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang sempurna.

Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , penyebutan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya telah memenuhi lembaran-lembaran al-Qur’an, dari awal hingga akhirnya, jauh lebih banyak daripada penyebutan kenikmatan surgawi, baik berupa makanan, minuman, maupun bidadari-bidadarinya. Hal ini menunjukkan bahwa ayat yang terkait dengan penetapan nama dan sifat Allah lebih tinggi kedudukannya daripada ayat tentang penetapan adanya hari kebangkitan.

Perhatikanlah, ayat ini diawali dengan kalimat tauhid. (ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ). Kata Nabi n, kalimat ini adalah pokok iman yang tertinggi. Semua pilar keimanan beserta cabang-cabangnya bermuara pada kalimat ini. Kalimat ini bermakna bahwa sungguh hanya Allah-lah sesembahan yang benar. Tidak ada hak bagi selain Allah untuk disembah. Allah tidak boleh disekutukan dalam hal ibadah dan segala bentuk persembahan. Sebab, Allah tidak mempunyai sekutu dalam hal mencipta dan mengadakan semua makhluk-Nya. Seluruh makhluk ciptaan Allah wajib beribadah hanya kepada penciptanya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada siapa pun dan benda apa pun dari ciptaan-ciptaan Allah ini yang boleh diibadahi bersama-Nya.

Kalimat ini disebut kalimat al-ikhlas, kalimat pemurnian ibadah untuk Allah semata dan penafian ibadah dari selain Allah. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah adalah hikmah penciptaan jin dan manusia. Untuk tujuan inilah Allah mengirim para rasul kepada setiap umat dan menurunkan kitab-kitab bersama mereka. Allah berfirman,

ﮋ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ   ﭽ ﭾ ﮊ

“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah oleh kalian segala sesembahan selain Allah’.” (an-Nahl: 36)

ﮋ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ   ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ   ﮎ ﮏ ﮐ ﮊ

“Dahulu manusia adalah umat yang bersatu (di atas ibadah yang murni untuk Allah. Kemudian, mereka berselisih sehingga di antara mereka ada yang berbuat syirik kepada Allah). Maka dari itu, Allah mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira (bagi orang-orang yang menauhidkan dan menaati Allah) dan peringatan (bagi orang yang berbuat syirik dan bermaksiat kepada-Nya). Allah juga menurunkan bersama mereka al-Kitab dengan benar sehingga mereka bisa memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara manusia.” (al-Baqarah: 213)

Setelah kalimat al-ikhlas ini, disebutkan sembilan kalimat yang masing-masing mengandung makna yang begitu gamblang menerangkan kemuliaan dan kesempurnaan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Mari kita terus mengkajinya….

Kalimat kedua adalah (ﮧ ﮨ ﮩ). Dalam kalimat ini disebutkan dua nama Allah, yaitu (ﮨ ) dan (ﮩ). Allah menyebutkan nama (ﮨ ) secara tersendiri di dua tempat dalam al-Qur’an: ayat 65 surat Ghafir dan ayat 58 surat al-Furqan. Nama ini disebutkan beriringan dengan nama (ﮩ) pada tiga ayat dalam al-Qur’an, yaitu pada Ayat Kursi ini, pada ayat 2 surat Ali ‘Imran, dan pada ayat 111 surat Thaha.

Apa makna (ﮨ)? Nama ini berarti Yang Mahahidup. Allah memiliki sifat hidup. Sifat hidup-Nya mencapai puncak kesempurnaan, tidak seperti sifat hidup pada manusia, jin, malaikat, dan hewan yang serba kurang dan penuh dengan cacat serta cela. Hidup mereka diawali dengan ketiadaan dan diakhiri dengan ajal; dihinggapi sakit, ketidaktahuan, kelupaan, ketidakmampuan, kelelahan, rasa kantuk, tidur, dan seterusnya.

Nama (ﮨ) pada Dzat Allah juga berkonsekuensi adanya sifat-sifat sempurna yang lain dan menafikan seluruh sifat kekurangan. Jika Allah Mahahidup, pasti Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berkuasa atas segala-galanya. Allah juga Maha Berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Tidak ada kekurangan sedikit pun pada ilmu Allah, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, dikatakan oleh sebagian ulama, seandainya penetapan nama dan sifat Allah tercukupi dengan dalil “konsekuensi logis”, cukuplah disebutkan nama (ﮨ) untuk menetapkan sifat-sifat Allah yang lain.

Apa arti (ﮩ)? Ini adalah salah satu nama Allah yang dalam al-Qur’an selalu diiringkan penyebutannya dengan nama (ﮨ). Nama ini menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Berdiri sendiri (tidak membutuhkan siapa pun). Sebaliknya, segala sesuatu selain Allah, baik penduduk bumi maupun penghuni langit, membutuhkan dan bergantung pada-Nya. Dialah yang mengatur urusan-urusan mereka seluruhnya tanpa kecuali.

Nama (ﮩ) mengumpulkan semua sifat yang terkait dengan perbuatan-Nya, seperti memberi rezeki, memberi hidayah, mengampuni dosa, memberi tobat, menyempitkan rezeki, menimpakan musibah, dan seterusnya. Adapun nama (ﮨ) mengumpulkan seluruh sifat yang terkait dengan Dzat Allah, seperti penglihatan-Nya, pendengaran-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan kehendak-Nya.

Nama (ﮩ) mengandung makna bahwa Allah tidak akan punah dan sirna. Allah tidak akan berkurang kesempurnaan-Nya. Allah senantiasa kekal, azali, dan abadi, tidak pernah lepas dari-Nya sifat-sifat kesempurnaan. Dia tidak mengalami kemunduran, reduksi, disfungsi, kerusakan, dan yang semakna dengannya, yang semua ini dialami oleh makhluk. Oleh sebab itu, Allah tidaklah mengantuk, tidak pula tidur.

Allah menyebutkan pada kalimat ketiga, (ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ)

Rasa kantuk dan tidur menafikan sifat kesempurnaan hidup. Keduanya adalah sifat kekurangan. Orang yang terserang kantuk akan berkurang kemampuan akalnya untuk mencerna. Akan berkurang pula indra perasa, pendengaran, dan penglihatannya. Ia tidak bisa berbicara dengan sempurna. Kekuatan tubuhnya pun menurun drastis. Begitu pula orang yang tidur. Keadaannya persis dengan orang yang mati. Benarlah sabda Nabi n bahwa tidur adalah saudara kematian.

Saudariku, mengimani kedua sifat ini akan membuahkan banyak faedah, di antaranya:

  1. Menumbuhkan kecintaan kepada Allah l, memperkuat pengagungan kepada-Nya, dan memperkokoh tauhid

Seorang hamba yang mengetahui bahwa Rabb yang disembahnya memiliki sifat hidup yang mutlak dan sempurna yang berkonsekuensi pada kesempurnaan seluruh sifat yang ada pada Dzat dan perbuatan-Nya, akan tumbuh dalam hatinya kelapangan, kelezatan, dan kebahagiaan hakiki yang sanggup menepis segala kegundahan, rasa galau, dan kepedihan yang sedang mengimpit hatinya. Sebagaimana halnya orang yang sedang sakit badan, jika mendengar berita yang menyenangkan, rasa sakitnya akan berkurang, demamnya pun mereda. Ia tersugesti untuk cepat sembuh dengan berita yang menggembirakan hatinya.

Memang benar, hidup yang sempurna akan menolak segala macam penyakit dan kepedihan. Demikian halnya kesempurnaan hidup yang diberikan oleh Allah kepada penduduk surga. Mereka tidak pernah murung, tidak pernah kecewa, tidak memiliki rasa dendam, iri hati, dan tersakiti; dan tidak mengalami penyakit, apa pun bentuknya.

Oleh karena itu, tepatlah jika orang yang sedang ditimpa kemalangan—yang menciutkan hatinya dan mengimpit jiwanya—bertawasul dengan menyebut dua nama ini, meminta kepada Allah agar meluaskan hatinya dan melapangkan jiwanya.

Nabi n mengajarkan doa tatkala seseorang ditimpa musibah,

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

“Wahai Dzat Yang Mahahidup, wahai Dzat Yang Maha berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan dari musibah.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Kalimut Thayyib 76/118)

Menyebut dua nama Allah ini sangat besar pengaruhnya dalam mengentaskan seseorang dari musibah yang tengah membenamnya. Hal itu jika orang tersebut mengetahui hakikat kedua nama ini—yang disebut sebagai nama Allah yang paling agung, yang jika seseorang berdoa lalu bertawasul dengan keduanya, Allah akan mengabulkannya, dan jika ia meminta sesuatu kepada Allah lalu bertawasul dengannya, niscaya Allah memberinya.

 

  1. Mempertebal tawakal yang sejujurnya kepada Allah

Allah berfirman pada ayat 58 surat al-Furqan,

ﮋ ﭦ   ﭧ ﭨ   ﭩ   ﭪ ﭫ ﮊ

“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahahidup, Yang tidak akan mati.”

Barang siapa beriman bahwa Rabb yang ia sembah itu senantiasa hidup dengan sifat hidup yang sempurna, tidak akan mati selama-lamanya, tidak pernah dihinggapi rasa kantuk dan tidur, tidak pernah lalai ataupun lupa; ia benar-benar akan bertawakal hanya kepada-Nya dalam semua urusan hidupnya. Kepada Allah-lah Dia mengadu, dan hanya kepada-Nya ia bersandar di setiap saat dan keadaan. Terputus sama sekali harapan-harapan yang digantungkan kepada selain Allah. Sebab, mereka semua adalah makhluk yang lemah, bisa mati, mengantuk, tidur, lalai, lupa, tidak berkuasa atas dirinya, baik terkait dengan urusan yang menguntungkan maupun yang merugikan, terlebih lagi atas orang lain.

Sungguh aneh bin ajaib jika ada hamba Allah yang bertawakal kepada yang semisal dirinya, yang mengantuk dan lupa, yang tidur dan mati. Mungkinkah ia akan menolong tatkala lalai, lupa, tidur, atau mati?

Wahai saudariku, ada hal agung yang kita harus bertawakal hanya kepada Allah atasnya, yaitu meminta hidayah dan kekokohan iman, serta minta diselamatkan dari penyimpangan.

Begitu pentingnya hidayah dan kekokohan iman, dan betapa ngerinya penyimpangan dan akibat buruknya di kemudian hari, hingga Nabi n bertawasul dengan rasa butuhnya kepada Allah dan dengan penyerahan diri yang sejujurnya kepada-Nya. Beliau juga bertawasul dengan ‘izzah (keperkasaannya)-Nya dan dengan nama (ﮨ) agar iman beliau dijaga. Dengan nama yang agung ini pula beliau berlindung dari kesesatan dan ketergelinciran. Beliau berdoa,

اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي، أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لَا يَمُوتُ، وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berpasrah diri, dengan-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku bertawakal. Kepada-Mu aku bertobat, dan karena-Mu lah aku bersengketa (dengan musuh). Ya Allah, aku sungguh-sungguh berlindung dengan izzah-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, jangan Engkau sesatkan aku. Ya Allah, Engkau adalah Yang Mahahidup, tiada pernah mati, sedangkan jin dan manusia semuanya akan mati. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

  1. Melahirkan rasa zuhud terhadap dunia dan tidak tertipu olehnya

Orang yang mengetahui bahwa Rabb-nya adalah (ﮨ ﮩ) akan menyadari bahwa sepanjang apa pun umur yang diberikan kepadanya dan seluas apa pun pintu rezeki dari segala penjuru yang dibukakan untuknya, ujung-ujungnya tetaplah kematian. Demikian pula sebaliknya, seorang mukmin yang sepanjang hidupnya diuji dengan kefakiran dan kesempitan hidup, pasti akan berakhir dengan tibanya ajal. Adapun hidup abadi yang dianugerahkan oleh Allah (ﮨ ﮩ) kepada para hamba-Nya yang beriman hanyalah akan terjadi di kampung akhirat, di surga-Nya yang penuh kenikmatan.

Dengan kesadaran ini, seorang muslim akan terdorong untuk menyiapkan diri menghadapi hari akhir. Dia akan berupaya meraih ridha Allah dalam kehidupan kekal dan kenikmatan abadi yang belum pernah dilihat, dirasakan, didengar, dan dikhayalkan oleh siapa pun, di surga yang seluas langit dan bumi. (Insya Allah bersambung)