Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: جَاءَتْنِى مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمْرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِى شَأْنُهَا، فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkisah, “Datang kepadaku seorang wanita miskin bersama kedua anak perempuannya. Kuberi dia tiga butir kurma, lalu diberikannya kepada kedua anaknya, masing-masing sebutir kurma. Sebutir kurma lagi diangkatnya ke mulutnya untuk dimakan, tetapi kedua anak tersebut memintanya. Dia pun membagi kurma yang hendak dia makan itu menjadi dua (lalu memberikannya kepada kedua anaknya). Kejadian itu membuatku takjub, lalu kuceritakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Bersabdalah beliau, ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan surga untuknya dengan sebab perbuatan baiknya itu, atau Allah membebaskannya dari api neraka dengan sebab perbuatannya’.” (HR. Muslim no. 2630)
Pembaca yang dimuliakan Allah, hadits ini mengandung beberapa faedah:
Dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ التَّمْرَةِ
“Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan separuh butir kurma.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah subhanahu wa ta’ala akan menerima amal saleh sekecil apa pun asal disertai niat yang ikhlas. Sebaliknya, Allah tidak akan menerima amalan sebesar apa pun jika tidak dilandasi keikhlasan.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
اِتَّقُوا اللهَ وَاْعدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian.” (HR. al-Bukhari no. 2586 dan Muslim no. 1623)
Orang tua wajib berbuat adil dalam masalah pemberian (hibah) dan hadiah. Keadilan akan menghilangkan kedengkian dan permusuhan di antara anak-anak.
Perlu diperhatikan, berbuat adil kepada anak ini berbeda antara hibah/hadiah dan kebutuhan hidup. Dalam masalah hibah, orang tua harus adil—jika satu anak diberi, yang lain pun harus diberi.
Dalam masalah warisan, bagian anak perempuan adalah setengah bagian anak laki-laki, berdasarkan ayat,
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
“Bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan.” (an-Nisa’: 11)
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, serta dikuatkan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Tidak diragukan bahwa tidak ada pembagian yang lebih adil daripada pembagian Allah subhanahu wa ta’ala.”
Beliau juga menegaskan, “Seandainya bagian mereka disamaratakan, tentu ini merupakan kezaliman karena hak perempuan ditambah dan hak laki-laki dikurangi.”
Adapun pemberian untuk memenuhi kebutuhan hidup, disesuaikan dengan kadar kebutuhan. Misalnya, si anak perempuan miskin, sedangkan si anak laki-laki kaya. Dalam keadaan seperti ini, orang tua wajib menafkahi anak perempuan yang miskin. Akan tetapi, dia tidak wajib memberi si anak laki-laki harta yang senilai dengan harta yang diberikan kepada anak perempuan tersebut.
Contoh lain, kebutuhan sandang anak laki-laki sebatas baju, celana, dan kaus seharga 200 ribu rupiah, misalnya. Kebutuhan anak perempuan lebih besar karena dia membutuhkan anting-anting seharga 500 ribu rupiah. Berbuat adil dalam masalah ini adalah membelikan pakaian senilai 200 ribu rupiah untuk si anak laki-laki, dan membelikan anting-anting senilai 500 ribu rupiah untuk si anak perempuan, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Contoh yang lain lagi, seorang anak laki-laki sudah butuh menikah. Biaya yang diperlukan adalah 5 juta rupiah. Adapun anak yang lain belum membutuhkan pernikahan. Berbuat adil dalam masalah ini adalah memberikan uang 5 juta rupiah kepada anak yang ingin menikah, dan tidak memberikan uang sejumlah itu kepada anak yang lain yang belum butuh menikah.
Bolehkah melebihkan pemberian kepada salah satu anak karena dia lebih taat kepada orang tua daripada anak yang lain? Jawabannya, tidak boleh. Sebab, anak yang taat kepada orang tua mendapatkan pahala yang jauh lebih besar daripada pemberian orang tuanya. Selain itu, kita tidak tahu, anak yang sekarang taat bisa jadi esok hari berubah menjadi anak durhaka, demikian pula sebaliknya.
Apabila salah seorang anak membantu orang tua berdagang atau bertani, bolehkah orang tua memberinya bagian yang lebih banyak daripada anak yang lain? Ada perincian dalam masalah ini. Jika si anak membantu orang tua dalam rangka mencari pahala di sisi Allah, orang tua tidak memberikan sesuatu yang lebih kepadanya. Namun, jika ia membantu bekerja karena menginginkan imbalan dari orang tua, orang tua memberikan sesuatu yang lebih untuknya sebagai upah. Pemberian ini pun harus disamakan dengan upah pekerja pada umumnya.
Apabila salah satu anak kafir, bolehkah orang tua tidak berbuat adil dalam masalah pemberian? Tentang masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat boleh dengan alasan bahwa di dalam al-Qur’an, Allah membedakan antara orang muslim dan orang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَنَجۡعَلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ كَٱلۡمُجۡرِمِينَ ٣٥
“Apakah patut Kami menjadikan orang-orang muslim itu sama dengan orang-orang kafir?” (al-Qalam: 35)
Sebagian ulama yang lain berpendapat tidak boleh karena mereka sama-sama anak, yang orang tua harus bersikap adil dalam masalah hibah terhadap mereka. Adapun ayat di atas bersifat umum tentang perbedaan antara orang muslim dan orang kafir.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat, “Dilihat kemaslahatannya. Jika pemberian untuk anak yang muslim saja—anak yang kafir tidak diberi—menyebabkan si kafir mendekat kepada Islam dan mau masuk Islam, yang diberi anak yang muslim saja. Namun, jika tidak ada kemaslahatannya, orang tua wajib memberi mereka secara adil.”
Silakan merujuk ke asy-Syarh al-Mumti’ (11/79—82).
Dalam hadits di atas, si ibu tidak jadi memakan kurmanya karena mengutamakan kedua anaknya. Kasih sayang ibu kepada anak adalah semata-mata pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
جَعَلَ اللهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ، فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا، وَأَنْزَلَ فِي الْأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا، فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ
“Allah membagi rahmat (kasih sayang) menjadi seratus bagian. Allah menyimpan 99 bagian di sisi-Nya dan menurunkan satu bagian ke muka bumi. Dengan sebab satu bagian tersebut makhluk saling berkasih sayang, sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya dari anaknya karena khawatir menginjak anaknya.” (HR. al-Bukhari no. 6000)
Sungguh, aneh tapi nyata, ada ibu tega membunuh anaknya. Terjadi pula banyak kasus aborsi akibat hamil di luar nikah—kemaksiatan menyebabkan kemaksiatan lain yang lebih besar. Demikianlah setan menggoda anak Adam agar menjadi bala tentara dan teman dekatnya di neraka Jahanam.
Saudariku, jaga diri dan aurat Anda. Jangan ikuti langkah-langkah setan yang menyesatkan.
Kesalahan dalam Menerapkan Kasih Sayang
Sebagian orang tua membiarkan anaknya terjerumus dalam perkara yang haram. Si anak tidak dicegah, tidak diingatkan, dan tidak dilatih menjauhi hal-hal yang haram. Mereka berdalih dengan “kasih sayang”. Kata mereka, “Jangan dilarang”, “Biarkan saja, dia masih kecil”, “Kasihan kalau dilarang”.
Perlu diketahui, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang anak yang masih kecil (belum balig) dari hal-hal yang haram agar kelak si anak terbiasa meninggalkan hal-hal yang haram. Dalam sebuah hadits diceritakan,
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كِخْ كِخْ، اِرْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
“Al-Hasan bin ‘Ali mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu memasukkannya ke mulutnya. Bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, ‘Kikh, kikh, buang kurma itu. Tidakkah kamu tahu bahwa kita (ahlul bait) tidak boleh makan (barang) sedekah?’.” (HR. al-Bukhari (3/257) dan Muslim no. 998)
Tindakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada sang cucu yang masih kecil ini merupakan bentuk kasih sayang beliau, dan inilah hakikat kasih sayang. Sebagaimana halnya kita menyayangi anak agar tidak terkena musibah di dunia, kita pun merasa sayang jika anak kita tertimpa musibah di akhirat.
Bentuk Kasih Sayang kepada Anak
Di antara bentuk kasih sayang kita kepada anak kita adalah melindunginya dari hal-hal yang merusak kesalehannya. Masa kanak-kanak adalah masa si anak belajar banyak dari lingkungan. Oleh karena itu, kita perlu memberinya perhatian khusus. Anak tidak boleh terlalu diberi kebebasan memilih teman. Sebab, teman dan lingkungan dapat memengaruhi karakter anak.
Orang dewasa saja banyak yang terpengaruh oleh teman bergaulnya, apalagi anak-anak yang belum bisa berpikir panjang dan belum mampu mengenali hal-hal yang bermudarat bagi dirinya.
Renungkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu sesuai dengan agama teman dekatnya, maka lihatlah dengan siapa kalian berteman.” (HR. at-Tirmidzi no. 2378, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani )
Bukankah Allah memerintah Rasul-Nya agar mencari lingkungan yang baik? Lihatlah firman Allah dalam surat al-Kahfi,
وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطٗا ٢٨
“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasan dunia ini. Jangan pula kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya, dan keadaannya melampaui batas.” (al-Kahfi: 28)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sosok yang terbimbing dan terlindungi dengan wahyu, masih diperintah untuk mencari teman yang baik, apalagi kita yang tidak memiliki jaminan tersebut, apalagi anak-anak yang masih lemah daya nalarnya.
Hewan yang tidak berakal pun bisa memengaruhi karakter pemiliknya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
الْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ، وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَصْحَابِ الشَّاءِ
“Sifat membanggakan diri dan sombong itu ada pada penggembala unta, sedangkan ketenangan ada pada penggembala kambing.” (HR. Muslim 52 [91])
Unta memiliki karakter keras. Kalau berjalan, dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi seakan-akan dialah yang paling tinggi, paling besar, dan paling kuat. Adapun kambing berjalan dengan tenang dan menundukkan kepala, mudah diatur dan dikendalikan oleh pemiliknya. Makanannya pun lebih sederhana dan mudah didapat.
Karakter kedua jenis hewan ini memengaruhi akhlak pemiliknya, padahal keduanya hanyalah hewan yang tidak berakal. Ia tidak bisa mengajak, memengaruhi, dan memikat pemiliknya dengan gaya bahasa yang indah.
Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, sadarilah bahwa televisi adalah teman yang jahat bagi anak. Film kartun yang disuguhkan mengandung banyak muatan perusak akhlak, bahkan mengandung kesyirikan. Tayangan-tayangannya penuh khayalan, tidak mendidik sama sekali, dan justru menyebabkan anak cenderung malas belajar dan enggan berpikir.
Maraknya sinetron berlatar belakang cinta dan kehidupan yang glamor hanya akan membentuk pribadi yang minder dan materialis. Tidak mengherankan jika anak-anak mengadopsi model rambut, model pakaian, hingga perilaku dari televisi. Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita wajib menjaga anak kita dari perusak ini. Ingatlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kalian semua adalah pemimpin dan akan ditanya (oleh Allah) tentang apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang lelaki (suami) adalah pemimpin keluarganya, dan seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari (2/317) dan Muslim no. 1829)
Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa neraka.” (at-Tahrim: 6)
Hati-hati “Fitnah” Anak
Rabb kita telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian dari istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (at-Taghabun: 14)
Allah juga berfirman,
إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ
“Hanyalah harta-harta kalian dan anak-anak kalian sebagai bentuk ujian (fitnah).” (at-Taghabun: 15)
Anak dan istri bisa menjadi musuh jika mereka melalaikan orang tua atau suami dari amal saleh. Mujahid rahimahullah berkata, “Anak dan istri bisa menyebabkan seseorang memutuskan tali silaturahmi dan bermaksiat kepada Rabbnya. Karena cintanya kepada anak atau istri, seorang ayah atau suami hanya bisa menuruti keinginan mereka.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan sebab turunnya ayat ini. Ada sebagian orang yang telah masuk Islam di Mekah dan ingin hijrah ke Madinah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi, anak dan istri mereka tidak merelakan kepergian mereka. Akhirnya, mereka pun mengalah. Di kemudian hari, mereka sampai di Madinah dan melihat bahwa orang-orang yang telah lebih dahulu hijrah sudah pandai dalam masalah agama. Mereka pun ingin menghukum anak istri mereka, tetapi Allah menurunkan firman-Nya,
وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤
“Dan jika kalian memaafkan mereka (anak istri), berlapang dada, dan mengampuni mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taghabun: 14)[1]
Makna “fitnah” adalah ujian dan cobaan dari Allah agar Dia benar-benar mengetahui siapa yang menaati-Nya dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya.
Diceritakan dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sedang berkhotbah. Datanglah Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhu yang memakai gamis merah. Mereka berdua berjalan dan berkali-kali terjatuh. Melihat hal itu, beliau pun turun dari mimbar, mengambil kedua cucu beliau itu, lalu mendudukkan mereka di samping beliau. Beliau bersabda, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya, ‘Hanyalah harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah.’ Aku melihat kedua anak kecil ini berjalan dan berkali-kali terjatuh. Aku tidak tega karenanya sehingga kupotong khotbahku lalu kuangkat mereka berdua bersamaku.” (HR. at-Tirmidzi no. 3774, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah )
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab anak bisa menjadikan seseorang kikir dan penakut.”[2]
Itulah hakikat anak. Dengan adanya nikmat anak, kita dihadapkan pada dua pilihan: sabar dalam mendidiknya sehingga kita masuk surga, atau melalaikan tugas kita untuk mendidiknya dan terhanyut oleh “fitnah”nya sehingga kita celaka.
Berbahagialah, Saudariku yang dianugerahi anak. Raihlah surga dengan sebabnya, dengan cara bersabar ketika mengasuh, mendidik, dan membimbingnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barang siapa diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya, lalu ia berbuat baik kepada mereka, mereka akan menjadi penghalang untuknya dari api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)
Mendidik anak perempuan memang lebih membutuhkan kesabaran. Di sisi lain, Allah menyediakan pahala yang besar bagi orang tua yang sabar dalam mendidiknya. Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat at-Taghabun ayat 14—18.
[2] Lihat al-Adab al-Mufrad Bab 45.