Qonitah
Qonitah

mandi dalam bimbingan syariat (bagian ke-1)

10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Mandi dalam Bimbingan Syariat (Bagian Ke-1)

fikih-ibadah-12Al-Ustadz Utsman

Mandi dalam Bimbingan Syariat (Bagian Ke-1)

Pada beberapa edisi sebelumnya sudah dibahas mengenai wudhu—berikut pembatal-pembatalnya—dan masalah mengusap khuf dan kaus kaki sebagai pengganti membasuh kaki. Ini semua terkait dengan mengangkat/menghilangkan hadats kecil. Adapun hadats besar, bisa diangkat dengan mandi.[1]

Hal-hal yang Mengharuskan Mandi

 

  1. Keluarnya air mani, baik dari laki-laki maupun perempuan, baik dalam keadaan sadar maupun tidur.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits,

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

“Kewajiban menggunakan air (mandi) itu tidak lain karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim)

Demikian juga hadits ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya apakah perempuan harus mandi jika mimpi basah, beliau menjawab, “Ya, jika dia melihat air (mani).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama memahami dari hadits ini bahwa keluarnya air mani, baik dari lelaki maupun perempuan, yang diiringi syahwat, baik karena mimpi basah, berhubungan badan, onani/masturbasi[2], maupun karena membayangkan, melihat, atau mendengar sesuatu yang membangkitkan syahwatnya sampai keluar mani[3], mengharuskan mandi.

Jika mani keluar tanpa diiringi syahwat, misalnya karena sakit atau karena hawa dingin yang luar biasa, apakah juga mengharuskan mandi? Asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa keluarnya mani walaupun tanpa diiringi syahwat tetap mengharuskan mandi berdasarkan keumuman hadits di atas.[4]

Selain itu, sebagaimana keluarnya kencing atau kotoran manusia dengan sebab apa pun membatalkan wudhu, seperti itu pulalah keluarnya mani, dengan sebab apa pun mengharuskan mandi.

Faedah

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan ciri-ciri mani, yang ringkasnya sebagai berikut.[5]

Mani lelaki berwarna putih, kental, berbau seperti bau adonan tepung, keluar dengan terpancar (bisa beberapa kali), dan setelah keluar mengakibatkan futur (lemas, lesu). Ini jika si lelaki dalam keadaan sehat. Jika dia sakit, mungkin berubah satu di antara sekian sifatnya. Di antara sekian banyak sifat ini, yang menjadi ciri utama ada tiga: (1) keluar dengan syahwat dan mengakibatkan badan lesu, (2) berbau khas, dan (3) keluar dengan terpancar. Tidak disyaratkan ketiganya harus ada, bahkan satu sifat saja sudah cukup. Jika ketiga-tiganya tidak ada, kemungkinan besar itu bukan mani.

Mani perempuan berwarna kuning (dan kadang bisa memutih), agak encer. Ada dua ciri khasnya—satu saja sudah cukup: (1) baunya seperti bau mani lelaki dan (2) keluarnya menimbulkan rasa nikmat dan mengakibatkan tubuh lesu.

Masalah

  1. Setelah berhubungan badan dengan suaminya, seorang perempuan mandi besar. Selesai dia mandi, keluar dari kemaluannya sperma suaminya. Apa yang harus dia lakukan? Pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu dia tidak wajib mengulangi mandi, tetapi harus wudhu jika hendak shalat.
  2. Setelah berhubungan badan, seorang lelaki mandi. Selesai dia mandi, keluar sperma dari kemaluannya. Berdasarkan keumuman hadits di atas, dia harus mengulang mandi walaupun sperma yang keluar terakhir tidak terpancar/tersemprot.
  3. Jika seseorang bangun tidur dan mendapatkan basah di pakaiannya, ada tiga kemungkinan:
  • Dia yakin bahwa yang membasahi pakaiannya adalah mani, maka dalam hal ini dia harus mandi, baik ketika tidur mengalami ihtilam[6] maupun tidak.
  • Dia yakin bahwa yang membasahi pakaiannya bukan mani, maka tidak wajib mandi, tetapi harus mencuci pakaiannya karena berarti yang membasahi adalah kencing atau madzi atau sejenisnya.
  • Dia tidak bisa memastikan atau menduga apakah yang membasahi pakaiannya itu mani atau bukan. Jika demikian, kalau ada sesuatu yang mungkin dijadikan patokan, diikuti. Artinya, jika dia mengalami ihtilam, ini pertanda bahwa yang membasahi adalah mani. Jika dia tidak mengalami ihtilam tetapi sebelum tidur membayangkan hubungan badan, ini pertanda bahwa yang membasahi adalah

Namun, jika tidak ada yang bisa dijadikan patokan, kembali ke hukum asal tentang sucinya seseorang sehingga dia tidak harus mandi, tetapi perlu mencuci pakaiannya. Kalaupun dia hendak mandi sebagai bentuk kehati-hatian, tidak menjadi soal. Wallahu a’lam.

 

  1. Bertemunya dua khitan.

Yang dimaksud adalah terjadinya hubungan badan antara lelaki dan perempuan sampai masuknya kemaluan lelaki ke kemaluan perempuan.

Di antara dalilnya adalah hadits (artinya), “Jika seorang lelaki telah duduk di antara empat cabang tubuh perempuan[7] kemudian bersungguh-sungguh, telah wajib baginya mandi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan, “… walaupun tidak mengeluarkan mani.”

Yang dimaksud dengan ungkapan “telah duduk di antara empat cabang tubuh perempuan kemudian bersungguh-sungguh” ialah terjadinya hubungan badan antara lelaki dan perempuan sampai masuknya kemaluan lelaki ke kemaluan perempuan.

Jadi, walau tidak sampai keluar mani, terjadinya hubungan badan mengharuskan mandi. Yang seperti ini pernah dialami oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim).

Catatan

  • Hukum di atas berlaku baik dalam keadaan rela maupun terpaksa. Misalnya, seorang perempuan diperkosa, dia tetap wajib mandi.[8] Termasuk pula dalam hal ini adalah seorang perempuan yang digauli di bagian dubur.[9]
  • Jika yang terjadi hanya sentuhan antara kemaluan lelaki dan tempat khitan perempuan, dan kemaluan lelaki tidak masuk sedikit pun ke kemaluan perempuan, para ulama sepakat bahwa dalam keadaan ini keduanya tidak wajib mandi.[10] Di antara yang memperkuat makna ini adalah lafadz “kemudian bersungguh-sungguh” dari hadits di atas.
  • Sekadar masuknya pucuk kemaluan lelaki ke kemaluan perempuan sudah mengharuskan mandi. Jadi, tidak dipersyaratkan masuknya seluruh kemaluan lelaki.

Masalah

Apakah pemakaian kondom dan semisalnya mengubah hukum di atas? Pendapat yang kuat dalam hal ini bahwa keduanya wajib mandi, baik kondom/pelapisnya tebal maupun tipis.[11]

 

  1. Berhentinya darah haid atau nifas.

Di antara dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Dia (haid) itu kotor, maka jauhilah (jangan gauli) para perempuan pada masa haid, dan jangan dekati mereka sampai mereka suci. Jika mereka sudah bersuci (mandi), datangilah (gaulilah) mereka di tempat yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada kalian’.” (al-Baqarah: 222)

As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini ada dalil wajibnya seorang perempuan yang haid untuk mandi, dan berhentinya darah haid merupakan syarat sahnya mandi.”

Di antara dalilnya pula adalah hadits yang mengisahkan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam kepada perempuan yang mengalami istihadhah. Dalam hadits tersebut, di antara yang beliau sampaikan adalah, “… jika sudah berakhir masa haidmu, mandilah dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari)

Nifas dalam hal ini sama hukumnya dengan haid. Dalam sebagian hadits, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memakai ungkapan “nifas” dengan makna haid.

Wajibnya mandi bagi perempuan jika darah haid atau nifasnya sudah berhenti merupakan kesepakatan para ulama.[12]

 

Faedah

Dalam keadaan tertentu yang mungkin sangat jarang terjadi, jika seorang perempuan melahirkan dan tidak mengeluarkan darah sedikit pun, mayoritas ulama berpendapat bahwa dia tidak wajib mandi, tidak batal puasanya, dan boleh digauli oleh suaminya.

 

  1. Meninggalnya seseorang.

Jika seseorang meninggal, orang yang masih hidup wajib memandikannya berdasarkan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits ketika ada seseorang meninggal karena terlempar dari untanya, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk memandikannya dengan air dan sidr (HR. al-Bukhari dan Muslim). Para ulama telah menukil adanya ijma’ tentang wajibnya memandikan jenazah muslim.[13]

Dikecualikan darinya adalah orang yang meninggal dalam jihad melawan kaum kafir. Dia dikuburkan dengan pakaian yang dikenakannya ketika terbunuh tanpa dimandikan, sebagaimana datang beberapa hadits dalam masalah ini.[14]

 

  1. Mandi Jumat.

Seorang muslim yang sudah balig dan hendak melakukan shalat Jumat wajib mandi sebelum berangkat ke masjid.[15] Hal ini berdasarkan hadits (artinya), “Jika salah seorang dari kalian mendatangi (shalat) Jumat, hendaklah dia mandi!” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, “Mandi Jumat wajib atas setiap orang yang sudah balig.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain pula, “Hak (wajib) bagi setiap muslim mandi pada satu dari tujuh hari (dalam sepekan), dengan membasuh kepala dan tubuhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Perempuan yang hendak shalat Jumat disyariatkan pula untuk mandi Jumat.

Faedah

  1. Para ulama sepakat[16] bahwa jika seseorang shalat Jumat tanpa mandi terlebih dahulu, shalatnya tetap sah.
  2. Mandi Jumat disyariatkan untuk shalat Jumat, bukan sekadar karena tibanya hari Jumat.

Masalah

Jika berkumpul pada seseorang dua sebab atau lebih yang mengharuskan mandi,[17] apakah cukup satu kali mandi untuk semuanya (selama sudah diniatkan), atau setiap sebab mengharuskan mandi tersendiri?

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama bahwa cukup satu kali mandi untuk semuanya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits (artinya), “Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi junub kemudian berangkat ke masjid (pada waktu pertama), seakan-akan dia berkurban dengan unta ….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa mandi junub pada hari Jumat mencukupi untuk keduanya (junub dan Jumat).

Hal ini sebagaimana jika berkumpul pada seseorang beberapa sebab yang mengharuskan wudhu, cukup satu kali wudhu.

Asy-Syaikh Abdurrahman al-‘Adani menyebutkan bahwa tidak ada dalil yang shahih bagi yang mengharuskan berbilangnya mandi karena berbilangnya sebab yang mengharuskan mandi. (Syarh Muntaqa al-Akhbar)[18]

Wallahu a’lam.

[1] Mandi dalam istilah syariat bukanlah mandi yang biasa kita lakukan sehari-hari, melainkan memiliki aturan tersendiri.

[2] Onani dan masturbasi haram hukumnya, tetapi jika terjadi dan berakibat keluarnya mani, orang yang melakukannya wajib mandi.

[3] Jika yang keluar hanya madzi, bukan mani, tidak perlu mandi, tetapi cukup berwudhu sebagaimana sudah lewat pada pembahasan mengenai pembatal wudhu.

[4] Asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’i memilih pendapat ini sebagaimana dalam penjelasan beliau terhadap kitab al-Muntaqa lil Majd dan kitab Manhajus Salikin lis Sa’di. Pendapat lain menyebutkan, mani yang keluar tanpa syahwat tidak mengharuskan mandi, berdalilkan hadits yang artinya “Jika engkau ‘memancarkan’ air, mandilah, dan jika airnya tidak ‘memancar’, tidak perlu mandi.” Hadits ini sepintas sanadnya hasan, tetapi ternyata hadits ‘Ali bin Abi Thalib dengan lafadz ini syadz/ganjil karena bertentangan dengan lafadz yang ada dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian penjelasan guru kami, asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’i.

[5] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim.

[6] Ihtilam adalah hubungan badan yang dilihat seseorang ketika tidur.

Faedah: Terjadinya ihtilam tidaklah menunjukkan kekurangan agama pada seseorang karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tidak menegur/memperingatkan orang yang mengalaminya.

[7] Para ulama memiliki beberapa penafsiran tentang empat cabang tubuh perempuan, di antaranya ditafsirkan sebagai dua kaki dan dua tangan.

[8] Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama dan dikuatkan oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Adani hafizhahullah.

[9] Perbuatan ini haram, tetapi jika terjadi, tetap mengharuskan mandi. Silakan merujuk ke asy-Syarhul Mumti’.

[10] Telah dinukil adanya kesepakatan ulama dalam hal ini (Syarh Shahih Muslim lin Nawawi).

[11] An-Nawawi memilih pendapat ini, demikian pula guru kami, asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’i.

[12] Seperti dinukil oleh asy-Syaukani dalam ad-Darari.

[13] Bisa dirujuk ke Syarh al-Muhadzdzab dan ad-Darari.

[14] Asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’i menjelaskan bahwa jika peperangan itu melawan pemberontak yang masih muslim, tidak masuk dalam hukum ini. Demikian pula jika seseorang terluka dalam jihad melawan kaum kafir, lalu beberapa bulan kemudian baru meninggal, yang seperti ini tetap dimandikan. Silakan merujuk ke syarh (penjelasan) beliau terhadap kitab Manhajus Salikin.

[15] Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Albani, al-Wadi’i, dan Ibnul ‘Utsaimin rahimahumullah. Adapun Syaikhul Islam berpendapat wajibnya mandi Jumat bagi yang memiliki keringat/bau tubuh yang tidak sedap yang bisa mengganggu orang lain. (al-Ikhtiyarat)

[16] Sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Bar, al-Khaththabi, dan lainnya.

[17] Misalnya, seorang perempuan junub, dan sebelum dia mandi, datang haid. Apakah setelah suci dari haid dia perlu mandi dua kali (untuk junub dan untuk haid), atau cukup satu kali diniatkan untuk keduanya?

Contoh lain, seseorang junub pada hari Jumat dan hendak pergi shalat Jumat. Apakah dia perlu mandi dua kali (untuk junub dan untuk Jumat), atau cukup satu kali diniatkan untuk keduanya?

[18] Adapun hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lainnya dari ‘Abdullah bin Abi Qatadah bahwa beliau mengisahkan, “Pernah ayahku—Abu Qatadah zmasuk menemuiku ketika aku mandi pada hari Jumat. Beliau bertanya kepadaku, ‘Apakah untuk junub atau untuk Jumat?’ Aku jawab, ‘Untuk junub.’ Beliau menyahut, ‘Mandilah sekali lagi, karena aku mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Barang siapa mandi pada hari Jumat, dia akan terus dalam kesucian sampai Jumat berikutnya’.”, mungkin dijawab dengan beberapa jawaban:

  • Dari sisi keshahihan hadits, adz-Dzahabi v mengatakan bahwa hadits ini mungkar. Selain itu, dalam sanadnya ada perawi bernama Harun bin Muslim, yang Abu Hatim berkata tentangnya, “Padanya ada kelemahan.” Tidak ada seorang pun ulama yang mu’tabar (diperhitungkan) yang merekomendasikan rawi ini.
  • Anggaplah haditsnya shahih, maka dibawa pada keadaan orang yang berniat satu saja. Jelas dalam hadits di atas bahwa dia hanya berniat mandi junub.
  • Jelas dari konteks hadits tersebut bahwa perintah untuk mandi lagi merupakan pendapat pribadi Abu Qatadah z, bukan sesuatu yang bisa disimpulkan dari teks hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.