Qonitah
Qonitah

kontroversi bid’ah hasanah

10 tahun yang lalu
baca 14 menit
Kontroversi Bid’ah Hasanah

titian-sunnah-6Al-Ustadz Abu Hafsh Umar Sarlam

Pembicaraan seputar bid’ah selalu menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat kita. Semenjak dahulu selalu terjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam dalam hal menyikapinya. Sebagai mukmin, kita dituntut untuk bersikap objektif, meninggalkan fanatisme golongan dan hawa nafsu, serta tunduk pada dalil-dalil. Tidak hanya itu, kita juga mesti mendudukkan dalil sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu generasi para sahabat.

Sebelum membahas masalah bid’ah hasanah ini, terlebih dahulu kita melihat definisi bid’ah.

Secara bahasa (etimologi), bid’ah adalah segala sesuatu yang baru yang belum ada contohnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an,

بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)

Artinya, Allah menciptakan langit dan bumi yang tidak ada contohnya sebelum itu. Jadi, segala hal yang baru dalam urusan dunia, seperti mobil, pesawat, komputer, handphone, dan kemajuan teknologi lainnya, termasuk bid’ah secara bahasa.

Secara istilah (terminologi), bid’ah adalah thariqah (metode) beragama yang diada-adakan menyerupai syariat dan ditempuh dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Bid’ah secara istilah inilah yang terlarang dan dihukumi sebagai kesesatan.

Definisi ini memuat beberapa hal yang mesti kita cermati.

  1. Bid’ah adalah metode beragama.

Jadi, metode dalam urusan dunia tidak termasuk bid’ah yang terlarang. Pada asalnya, kemajuan dunia itu mubah (boleh), tetapi jika digunakan sebagai perantara menuju ketaatan, bernilai ketaatan; jika menjadi perantara menuju perbuatan dosa, hukumnya haram.

  1. Bid’ah diada-adakan menyerupai syariat dan ditempuh dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan alasan inilah bid’ah dihukumi haram dan sesat. Sebab, syariat Islam telah sempurna. Tidak ada seorang pun yang diizinkan mengubah, menambah, ataupun mengurangi syariat ini. Sementara itu, bid’ah diada-adakan dalam bentuk menyerupai syariat yang sudah ada, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab beliau, al-Umm,

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa menganggap baik (suatu perkara yang diada-adakan) berarti telah membuat syariat.”

Maksudnya, orang yang menganggap baik ibadah yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam (perkara bid’ah) berarti telah membuat syariat baru.

Allah telah mencela orang-orang musyrik yang mengada-adakan syariat yang tidak diizinkan oleh Allah. Allah berfirman,

أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ

“Apakah mereka itu mempunyai sekutu-sekutu yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (asy-Syura: 21)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga memperingatkan kita dari segala bid’ah,

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah c)

Ibnu Rajab v berkata, “Setiap orang yang mengada-adakan suatu perkara dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada asal (perintahnya) dalam agama, berarti perkara tersebut adalah kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya, sama saja apakah perkara tersebut dalam masalah akidah, amalan, atau ucapan, baik yang tampak maupun yang batin.

Adapun ucapan sebagian salaf yang menganggap baik bid’ah tertentu, yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara syariat. Di antaranya adalah ucapan ‘Umar ketika beliau mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjamaah di masjid. Ketika melihat kaum muslimin shalat demikian (berjamaah di belakang satu imam), beliau berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 359)

Pembaca Qonitah yang dirahmati Allah, demikianlah dalil-dalil terlarangnya bid’ah dan penjelasan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada satu hadits pun yang menunjukkan bahwa Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam membolehkan bid’ah hasanah (bid’ah yang “baik”). Akan tetapi, setelah berlalu sekian generasi, datanglah sekelompok manusia yang mulai menambah-nambahi syariat ini dengan berbagai bid’ah. Dengan mengikuti hawa nafsu, mereka pun berusaha melegitimasi perbuatan mereka dengan dalil-dalil. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa dalih yang dipakai oleh orang-orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, dan penjelasan yang benar tentang dalil mereka.

1. Syubhat pertama, mereka berdalil dengan hadits Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa membuat sunnah yang baik dalam Islam, dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barang siapa membuat sunnah yang jelek dalam Islam, dia menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2675)

Jawaban untuk syubhat pertama:

  • Hadits ini bukan dalil bolehnya melakukan bid’ah hasanah seperti yang mereka sangka. Asbabul wurud (sebab munculnya) hadits ini telah disebutkan dalam hadits Jarir itu sendiri. Dikisahkan bahwa sekelompok orang badui menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan karena mereka sangat miskin. Beliau pun menganjurkan para sahabat untuk bersedekah. Akan tetapi, para sahabat berlambat-lambat hingga terlihatlah perubahan pada wajah beliau (karena marah).

Lalu datanglah seorang Anshar membawa sekantong uang perak. Datang pula yang lainnya dengan sedekahnya. Akhirnya, para sahabat yang lain datang silih berganti untuk bersedekah. Terlihatlah kebahagiaan pada wajah beliau, lantas beliau bersabda demikian. (HR. Muslim)

Jadi, makna hadits di atas adalah barang siapa menghidupkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti sedekah dan lainnya, dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya. Hadits ini tidak membolehkan seorang pun untuk mengada-adakan tata cara ibadah yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah karena larangan akan hal ini sangat nyata dalam hadits-hadits lainnya. Di antaranya sabda beliau,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini (Islam) suatu perkara yang bukan bagian darinya, perkara tersebut tertolak. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah j)

  • Terkait dengan lafadz مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً (barang siapa membuat sunnah yang baik dalam Islam), kita tidak bisa menyatakan sesuatu sebagai sunnah yang baik atau sunnah yang jelek kecuali berdasarkan syariat. Sebab, kebaikan dan kejelekan ditetapkan dengan standar syariat, bukan dengan hawa nafsu.

2. Syubhat kedua, mereka berdalil dengan ucapan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”—yakni shalat tarawih secara berjamaah.

Jawaban untuk syubhat kedua:

  • Shalat tarawih berjamaah bukanlah bid’ah secara syariat. Sebaliknya, perbuatan ini pernah dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam selama beberapa malam, kemudian beliau meninggalkannya karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas manusia.

‘Aisyah mengisahkan bahwa pada suatu malam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengerjakan shalat (tarawih) di masjid. Para sahabat pun ikut shalat bersama beliau. Pada malam berikutnya, beliau shalat pula, dan yang shalat bersama beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, mereka berkumpul, tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak keluar menemui mereka. Keesokannya, beliau bersabda, “Sungguh, aku telah melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kalian kecuali karena aku khawatir (shalat tarawih) ini akan diwajibkan atas kalian.” (HR. al-Bukhari no. 1129)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa beliau tidak melanjutkan shalat tarawih berjamaah karena khawatir akan turun wahyu yang mewajibkan shalat tarawih. Oleh karena itu, setelah beliau wafat dan tidak ada lagi kekhawatiran tersebut (karena wahyu telah terhenti), ‘Umar pun menghidupkan kembali sunnah Rasulullah ini. Jadi, ucapan ‘Umar, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” bermakna bid’ah secara bahasa.

  • Perbuatan ‘Umar ini disaksikan dan diketahui oleh para sahabat sehingga shalat tarawih berjamaah itu termasuk ijma para sahabat. Ijma para sahabat adalah bagian dari dalil yang harus kita ikuti.

 

3. Syubhat ketiga adalah ucapan Ibnu Mas’ud z, “Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan segala sesuatu yang dipandang jelek oleh kaum muslimin adalah jelek di sisi Allah.”

Menurut mereka, segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin sekarang, seperti perayaan Maulid, Isra’ Mi’raj, dan sebagainya, adalah baik juga di sisi Allah. Untuk membantah syubhat ini, ada baiknya kami sebutkan kelengkapan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ وَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْهُ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hamba dan mendapati hati Muhammad sebagai sebaik-baik hati para hamba, maka Dia pun memilih beliau untuk diri-Nya dan mengutus beliau untuk mengemban risalah-Nya. Kemudian, Dia melihat ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan mendapati hati para sahabat beliau sebagai sebaik-baik hati para hamba. Dia pun menjadikan mereka sebagai para pembantu Nabi-Nya; mereka berperang membela agama-Nya. Maka dari itu, segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan segala sesuatu yang dipandang jelek oleh kaum muslimin adalah jelek pula di sisi Allah.” (HR. Ahmad)

Jawaban untuk syubhat ketiga adalah:

  • Hadits di atas bukanlah dalil adanya bid’ah hasanah karena yang dimaksud dengan al-muslimun dalam hadits tersebut adalah para sahabat. Alif lam pada lafadz al-muslimun adalah alif lam lil ‘ahdi (sehingga maknanya “para sahabat saja”), bukan alif lam lil istighraqi (sehingga maknanya “semua muslimin”) karena konteks ucapan Ibnu Mas’ud adalah memuji para sahabat. Jadi, ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bermakna bahwa segala sesuatu yang dipandang baik oleh para sahabat adalah baik di sisi Allah. Ungkapan ini menunjukkan berlakunya ijma’ para sahabat, bahwa apa yang mereka sepakati sebagai kebaikan adalah baik di sisi Allah.
  • Di samping itu, mustahil Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menganjurkan amalan bid’ah. Beliau adalah sahabat yang paling membenci kebid’ahan, sebagaimana ucapan beliau, “Ikutilah (sunnah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah karena sungguh kalian telah dicukupi. Setiap bid’ah itu sesat.” (Riwayat Malik dalam al-Muwaththa’)

4. Syubhat keempat, mereka berdalil bahwa para sahabat mengumpulkan tulisan al-Qur’an dalam satu mushaf, demikian juga pembukuan hadits-hadits (yang diawali pada masa tabi’in), padahal hal itu tidak pernah ada pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Jawabannya sebagai berikut.

  1. Penulisan al-Qur’an bukanlah perbuatan bid’ah karena ada perintahnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda,

لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

“Janganlah kalian menulis dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menulis selain al-Qur’an, hendaknya dia menghapusnya.” (HR. Muslim)

Pada mulanya, memang tidak boleh ditulis selain al-Qur’an. Akan tetapi, selang beberapa waktu, beliau pun memerintahkan penulisan hadits, sebagaimana sabda beliau,

اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ

“Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.” (HR. al-Bukhari)

  • Pengumpulan tulisan al-Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh para sahabat itu bukanlah perbuatan bid’ah, melainkan termasuk bab mashlahah mursalah[1] yang keabsahannya dikuatkan oleh kaidah, “Suatu hal yang menyebabkan sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, hal tersebut menjadi wajib juga.”

Pada zaman Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, banyak penghafal al-Qur’an yang wafat di berbagai pertempuran. Beliau khawatir al-Qur’an akan hilang dari dada-dada kaum muslimin. Oleh karena itu, beliau pun memerintahkan penulisan al-Qur’an.

Pada zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu ada banyak cara penulisan mushaf al-Qur’an, maka beliau khawatir akan terjadi perpecahan karenanya. Oleh karena itu, beliau pun memerintahkan pengumpulan penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf dan memerintahkan agar mushaf yang lainnya dibakar. Hal ini beliau lakukan demi menghindari perpecahan umat.

  • Pembukuan hadits-hadits sekalipun tidak ada di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bukan bid’ah karena termasuk bab penjagaan dan penyebaran ilmu agama. Hal ini juga merupakan mashlahah mursalah[2]. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah mewasiatkan penjagaan dan penyebaran ilmu. Beliau bersabda, “Hendaknya yang hadir menyampaikan ilmu kepada yang tidak hadir.” ( al-Bukhari)

Beliau juga bersabda, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat.” (HR. al-Bukhari)

Coba bayangkan, seandainya tidak ada pembukuan al-Qur’an dan hadits, niscaya banyak ilmu agama yang lenyap dan tidak tersebar di tengah-tengah umat.

5. Syubhat kelima, kisah Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkisah, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika bangkit dari rukuk, beliau membaca سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, lalu ada seseorang yang membaca doa ini,

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Selesai shalat, beliau bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Aku melihat tiga puluh sekian malaikat yang berebut, siapa di antara mereka yang terlebih dahulu menulisnya’.” (HR. al-Bukhari)

Mereka mengatakan, “Sahabat tersebut melakukan amalan baru yang belum pernah mereka terima dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, yaitu menambah zikir. Kalau setiap bid’ah adalah sesat, tentu Nabi melarang sahabat tersebut.” Mereka juga menyebutkan kisah-kisah serupa yang menurut mereka merupakan “inovasi” para sahabat dalam melakukan bid’ah hasanah, kemudian dibenarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Akhirnya, mereka pun menyimpulkan bahwa para sahabat juga melakukan bid’ah hasanah. Benarkah demikian?

Jawaban syubhat kelima adalah:

  • Kisah sahabat yang membaca doa i’tidal itu adalah taqrir (legitimasi, pembenaran) langsung dari Rasulullah. Taqrir Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam terhadap perbuatan sahabat adalah syariat bagi generasi setelah mereka. Berbeda dengan “inovasi” atau bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, apakah mereka mendapatkan legitimasi langsung dari Rasulullah? Jawabnya, tidak. Banyak dalil yang justru menunjukkan larangan membuat ibadah-ibadah yang tidak ada contohnya.
  • Para sahabat berbeda dengan kita. Mereka hidup pada zaman turunnya wahyu sehingga beberapa amalan mereka mendapatkan legitimasi dari Allah dan Rasul-Nya. Berbeda halnya dengan kita yang hidup jauh dari masa kenabian. Kita hanya diperintah untuk mengikuti mereka dan tidak dibenarkan melakukan bid’ah karena membuat syariat adalah kewenangan Allah dan Rasul-Nya saja.
  • Sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, para sahabat senantiasa mengingkari orang-orang yang melakukan kebid’ahan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengingkari sekelompok orang yang berzikir menggunakan kerikil di masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikit pun. Celaka, wahai umat Muhammad, betapa cepat kebinasaan yang kalian lakukan. Baju-baju Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam belum usang dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, atau kalian mau menjadi pembuka pintu kesesatan?”

Mereka mengatakan, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami hanya menginginkan kebaikan.”

Beliau menjawab, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tetapi tidak bisa meraihnya.” (HR. ad-Darimi, dinyatakan shahih oleh al-Albani)

Pembaca Qanitah yang dirahmati oleh Allah, demikianlah pengingkaran Ibnu Mas’ud z terhadap kaum yang menghitung zikir mereka dengan kerikil. Kalau boleh ber-“inovasi” dalam beragama, pastilah Ibnu Mas’ud tidak mengingkari perbuatan berzikir dengan kerikil.

Para sahabat lain juga senantiasa mengingkari kebid’ahan setelah wafatnya Rasulullah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengingkari orang-orang yang berkeyakinan bid’ah Qadariyah di Bashrah. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengingkari kebid’ahan orang-orang Syiah, pengikut Abdullah bin Saba’, yang ghuluw terhadap beliau. Selain itu, beliau juga memerangi kelompok bid’ah Khawarij. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memukul Shabigh lantaran suka bertanya-tanya tentang ayat mutasyabih. Sahabat-sahabat yang lain pun mengingkari kebid’ahan, tetapi tidak bisa disebutkan disini. Pengingkaran para sahabat ini menunjukkan bahwa mereka tidak menyetujui kebid’ahan, apalagi melegitimasinya dengan menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.

Semestinya setiap muslim mencontoh para sahabat dalam hal mengingkari kebid’ahan dan mencukupkan diri dalam beragama dengan ajaran yang pernah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Hal ini demi menjaga kemurnian ajaran Islam dari tambahan-tambahan yang dilakukan oleh orang yang belakangan. Semoga Allah membimbing kita semua kepada perkara yang Dia cintai dan Dia ridhaiNya. Amin. Wallahu a’lamu bish shawab.

[1] Sesuatu yang didiamkan oleh syariat, tidak diperintahkan secara spesifik (tegas) dan tidak pula dilarang, akan tetapi masuk dalam keumuman perintah syariat.

[2] Ibid.