Menyamakan pria dan wanita dalam segala hal adalah sesuatu yang bertentangan dengan fitrah dan syariat. Islam senantiasa menyebutkan perbedaan di antara keduanya sesuai dengan standar syariat dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hanya Islam yang menempatkan wanita pada martabat yang terhormat dan memberikan perlindungan bagi wanita. Namun, kini wanita meminta agar disamaratakan dengan pria dan diberi hak yang sama dengan hak pria di segala bidang.
Di negara kita, wanita akan disebut sukses jika berkarier tinggi di suatu perusahaan dengan ratusan karyawan pria sebagai bawahannya, menjadi selebriti yang dielu-elukan di berbagai tempat, atau mampu menyaingi pria dalam banyak bidang.
Kini, perlindungan dan kemuliaan yang diberikan oleh Islam kepada kaum wanita tidak dapat diterima oleh segolongan perempuan yang menyebut diri mereka sebagai pejuang dan pembela hak-hak kaum perempuan, yaitu kalangan feminis. Feminisme sendiri terkait dengan perjuangan wanita kafir Barat dalam menuntut kebebasannya.
Isu feminisme ini hendak menghantam Islam. Islam dianggap tidak berpihak pada wanita dan membelenggu wanita dengan berbagai aturan. Secara implisit dapat kita tangkap bahwa konsep feminisme ini menggambarkan wanita seolah-olah sebagai kaum termarginalkan.
Sejatinya, jauh sebelum isu feminisme diembuskan, Islam telah memuliakan wanita. Persamaan hak antara pria dan wanita di sisi Allah, itulah persamaan hak yang patut dituntut dan dijadikan impian oleh setiap wanita. Sebaliknya, perbedaan antara pria dan wanita di sisi Allah, itulah perbedaan yang harus dipertahankan dan dijadikan prinsip oleh setiap wanita demi mendapatkan kemuliaannya.
Berikut perbedaan yang ditetapkan oleh syariat antara pria dan wanita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kalian ceraikan mereka….” (al–Ahzab: 49)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖۚ
“Apabila kalian menceraikan istri-istri (kalian), lalu mereka sampai pada (akhir) ‘iddah mereka, tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula).” (al-Baqarah: 231)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa istri Tsabit bin Qais radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
يَا رَسُولَ اللهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
“Wahai Rasulullah, perihal Tsabit bin Qais, sebenarnya saya tidak mencela agama ataupun akhlaknya. Akan tetapi, saya membenci kekufuran (mengkufuri suami) di dalam Islam.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu ingin mengembalikan kebunnya (yang ia jadikan maskawin untukmu)?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun berkata (kepada Tsabit), “Terimalah kebunnya dan ceraikan dia.” (HR. al-Bukhari)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (an-Nisa’: 11)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسَۡٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٣٢
“Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebagian kalian atas sebagian yang lain, (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa’: 32)
Dalam ayat ini Allah telah menegaskan bahwa Dia telah memberikan penjelasan seperti ini kepada makhluk-Nya—di antaranya melebihkan pria atas wanita dalam hal warisan—agar mereka tidak tersesat. Maka dari itu, barang siapa menyamakan keduanya, pasti dia tersesat.
Imam al-Qurthubi t berkata, “..Allah subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui kebaikan untuk mereka, untuk itu Allah menetapkan pembagian antar mereka yang berbeda karena Allah mengetahui kemaslahatannya”. (Tafsir al-Qurthubi, 5/164, melalui maktabah Syamilah)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ
“…maka nikahilah perempuan (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat.” (an-Nisa’: 3)
Dengan ketentuan syariat ini, tampaklah maslahat yang besar bagi pria dan wanita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian, baik laki-laki maupun perempuan.” (an-Nur: 32)
Nabi bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah pernikahan melainkan dengan (menghadirkan) wali dan dua saksi laki-laki yang adil.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kalian sukai dari para saksi (yang ada).” (al-Baqarah: 282)
Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr c, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Aku tidak melihat ada orang yang kurang akal dan agamanya selain kalian (para wanita).” Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, apa (tanda) kekurangan akal dan agama itu?” Beliau menjawab, “Adapun kekurangan akal, sesungguhnya persaksian dua orang wanita menyamai persaksian seorang pria. Itulah maksud kekurangan akal.”
أَوَ مَن يُنَشَّؤُاْ فِي ٱلۡحِلۡيَةِ وَهُوَ فِي ٱلۡخِصَامِ غَيۡرُ مُبِينٖ ١٨
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan, sedangkan dia tidak mampu memberikan alasan yang jelas dan tegas dalam pertengkaran?” (az–Zukhruf: 18)
Wanita sangat bergantung pada segala sesuatu yang dapat mempercantik dan menghiasi dirinya. Berbeda halnya dengan pria yang kejantanan dan kekuatannya tidak membutuhkan perhiasan.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali apabila disertai mahramnya.”