Qonitah
Qonitah

khitan bagi wanita, bagaimana hukumnya?

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Khitan Bagi Wanita, Bagaimana Hukumnya?

hukum-khitan-wanita-3Al-Ustadzah Ummu Muhammad

Permasalahan khitan bagi wanita hingga saat ini menjadi polemik/perdebatan, baik di kalangan medis maupun masyarakat pada umumnya. Ada yang pro (setuju), ada pula yang kontra (menentang), terutama setelah keluarnya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Oleh karena itu, kami merasa terpanggil untuk menjelaskan khitan ini dari tinjauan syariat, dengan mengharapkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Pengertian Khitan

Khitan (الخِتَانُ) adalah masdar (bentuk kata benda) dari fiil خَتَنَ yang artinya memotong. Kata الخَتْنُ artinya memotong bagian tertentu dari anggota tubuh yang tertentu pula. Jadi, kata الخِتَانُ merupakan istilah bagi perbuatan pengkhitan, dan dapat diartikan sebagai tempat memotong dari pria dan wanita. (Lihat Fathul Bari 10/340 karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani)

Dalil-dalil Disyariatkannya Khitan

1. Dalil dari al-Qur’an al-Karim

  • Surat al-Baqarah ayat 124

ﮋ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮊ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya.”

Khitan adalah salah satu kalimat yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai ujian bagi Nabi Ibrahim ‘alahissalam. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Ibrahim diuji dengan sepuluh hal bersuci: lima di kepala dan lima di badan. Yang di kepala adalah memotong kumis, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, bersiwak, dan membelah rambut kepala. Adapun yang di badan adalah memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, dan membasuh tempat keluarnya kotoran dan kencing dengan air (istinja).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/170)

  • Surat an-Nahl ayat 123

ﮋ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮊ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama (ajaran) Ibrahim, seorang yang hanif’.”

Ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau untuk mengikuti agama (ajaran) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,. Salah satu ajaran beliau ‘alaihissalam adalah khitan, dan beliaulah manusia pertama yang melakukannya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً بِالْقَدُوْمِ

”Nabi Ibrahim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun menggunakan kapak. (HR. alBukhari 6/388 dan 11/88, Muslim no. 2370, dan Ahmad 2/322, 417, 435)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim, “Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun. Khitan terus-menerus dilakukan oleh para rasul setelah beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka. AlMasih Isa ‘alaihissalam juga berkhitan.

2. Dalil dari asSunnah alMuthahharah

  • Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلْخِتَانُ، وَالْاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ

Ada lima hal yang termasuk fitrah: berkhitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut rambut ketiak. (HR. alBukhari 10/343, Muslim no. 257, atTirmidzi 2756, anNasai 8/181, 1/14, dan Ibnu Majah no. 292. Ini adalah lafadz al-Imam Muslim)

  • Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila dua khitan telah bertemu, diwajibkan mandi. (HR. atTirmidzi 1/180—181, asy-Syafi’i 1/36, Ibnu Majah 1/211, dan Ahmad 6/161, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 80, 1/121)

Hadits ini secara jelas menunjukkan adanya dua khitan, yaitu pada pria dan pada wanita.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Apabila seorang pria telah duduk di antara empat cabang tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh khitan istrinya, wajib mandi. (HR. alBukhari 1/291 dan Muslim no. 343)

Di dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan adanya dua tempat khitan, yaitu pada pria dan pada wanita. Hal ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.

  • Dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha—beliau biasa mengkhitan para wanita di Madinah—bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

“Jangan dihabiskan karena hal itu lebih menguntungkan wanita dan lebih disenangi oleh suami. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 5271, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih alJami’ ashShaghir no. 498)

  • Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ummu ‘Athiyyah,

إَذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ

“Apabila engkau mengkhitan (para wanita), potonglah sedikit, jangan dihabiskan. Sebab, hal itu lebih membaguskan wajah dan lebih menyenangkan suami. (HR. ath-Thabarani, Abu Dawud, al-Hakim, dan alBaihaqi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih alJami’ ash-Shaghir no. 509)

  • Dari ‘Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Saya telah masuk Islam.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya,

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ثُمَّ اخْتَتِنْ

“Cukurlah darimu rambut kekafiran, kemudian berkhitanlah. (HR. Abu Dawud dalam Shahih Abu Dawud no. 382, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih alJami’ ash-Shaghir no. 1251 dan Irwaul Ghalil no. 75)

  • Diriwayatkan oleh al-Imam az-Zuhri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْلَمَ فَلْيَخْتَتِنْ وَإِنْ كَانَ كَبِيْرًا

“Barang siapa masuk Islam, hendaklah dia berkhitan meskipun telah dewasa.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Meskipun mursal, hadits ini layak dijadikan dalil (sandaran) hukum.” (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud hlm. 148)

Hukum Khitan Bagi Wanita

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan bagi wanita. Ada yang berpendapat wajib dan ada yang berpendapat sunnah. Namun, dengan melihat dalil-dalil yang ada atau dari keumuman dalil, penulis lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa khitan hukumnya wajib, baik bagi pria maupun wanita. Ini adalah pendapat:

  1. Al-Imam Ahmad rahimahullah

Setelah membawakan hadits-hadits tentang khitan, seperti hadits,

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Beliau rahimahullah berkata, “Hadits ini menjadi dalil bahwa dahulu para wanita juga dikhitan.”

  1. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah

Di dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, beliau membawakan lima belas sisi pendalilan yang mewajibkan khitan ini. Beliau juga menyebutkan pasal tersendiri yang menyebutkan bahwa hukum khitan bersifat umum mencakup pria dan wanita. (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud hlm. 147—167)

  1. Ibnu Hajar al-Asqalani

Dalam Fathul Bari (10/339), beliau menukilkan perkataan Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membahas hadits, “Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, …”. Kata beliau, “Menurut saya, kelima fitrah yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai salah seorang Bani Adam. Jika demikian, bagaimana mungkin ia termasuk dari kaum muslimin?”

  1. Ulama zaman sekarang, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah

Asy-Syaikh al-Albani berkata dalam kitab beliau, Tamamul Minnah (hlm. 69), “Adapun hukum khitan, yang rajih (kuat) menurut kami adalah wajib. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, seperti al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi pendalilan yang mendukung pendapat ini. Ketika berdiri sendiri, setiap sisi tidak kokoh (dukungannya atas pendapat ini). Akan tetapi, secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Namun, bukan di sini tempat untuk membawakan semuanya. Kami cukup menyebutkan dua sisi saja, yaitu:

  1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,,, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah millah (ajaran) Ibrahim, seorang yang hanif (lurus)’.” (an-Nahl: 123)

Khitan adalah salah satu millah (ajaran) Ibrahim ‘alaihissalam, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah yang disebutkan di dalam kitab ini (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud). Ini adalah hujah terbaik, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dan dinukilkan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari (10/281).

  1. Khitan menjadi syiar Islam yang paling tampak, yang membedakan seorang muslim dengan Nasrani, hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu bukan golongan mereka.

Waktu Khitan

Baik bagi pria maupun wanita, waktu khitan mempunyai batasan minimal dan batasan maksimal. Batasan minimal (waktu mustahab/disunnahkan) khitan adalah hari ketujuh setelah kelahiran, berdasarkan beberapa hadits berikut.

  1. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husain dan mengkhitankan keduanya pada hari ketujuh setelah kelahiran mereka. (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir hlm. 185, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah )
  2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ada tujuh hal yang termasuk sunnah pada bayi pada hari ketujuh setelah kelahirannya: diberi nama, dikhitankan, … (al-Hadits). ” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath 1/334/562)

Adapun batasan maksimal (waktu wajib untuk khitan) adalah sebelum balig (tanda-tanda balig bisa dilihat pada edisi 2). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh orang tua/wali tidak mengkhitan anaknya sampai melebihi masa balig.” (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud karya Ibnul Qayyim hlm. 158—159)

Batasan yang Dipotong/Diambil Ketika Khitan

An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (1/543), “Yang wajib pada pria ketika dikhitan adalah dipotong seluruh kulit yang menutupi al-hasyafah (kepala zakar) sampai terbuka seluruh hasyafah tersebut.”

Adapun bagian yang dipotong pada wanita ketika khitan, ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

  1. Yang dipotong adalah bagian paling atas dari kulit yang terletak paling atas dari farj (vagina), di antara dua bibir vagina, di atas tempat masuknya zakar dan tempat keluarnya air seni. Bagian tersebut berbentuk seperti jengger ayam jantan, atau seperti huruf V terbalik. Dalam bahasa medis/kedokteran disebut prepuce (praeputium), yaitu kulit penutup klitoris/kelentit pada wanita[1].

Ini pendapat jumhur ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Imam an-Nawawi, al-Imam al-Mawardi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.

  1. Yang dipotong adalah bagian klitoris/kelentit apabila panjang atau menyembul keluar.

Namun, ini pendapat yang marjuh (tidak kuat) karena tidak didukung oleh ulama-ulama sebelumnya.

Di antara kedua pendapat ini, yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan demikian, khitan yang syar’i tidak bertentangan dengan peraturan menteri kesehatan tentang khitan wanita.

Hikmah dan Faedah Khitan

Khitan mempunyai banyak hikmah dan faedah, di antaranya:

  1. Khitan termasuk keindahan syariat Islam yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya untuk menyempurnakan mereka, baik secara lahir maupun batin.
  2. Khitan termasuk kesempurnaan lurusnya millah (ajaran) Nabi Ibrahim ‘alahissalam.
  3. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan khitan sebagai tanda bagi seseorang yang menyandarkan (berserah diri) kepada-Nya, dan kepada agama serta ajaran-Nya.
  4. Khitan membawa kesucian, kebersihan, keindahan, dan kebagusan penciptaan; serta menstabilkan syahwat.
  5. Khitan pada wanita yang sesuai dengan syariat akan membantu mempercepat rangsangan seksual pada wanita sehingga dia dapat mencapai puncak hubungan seksual.

Wallahu a‘lam.

[1] Yang wajib adalah memotong sedikit kulit teratas/tertinggi dari bagian tersebut, bukan sampai pangkalnya.