Qonitah
Qonitah

khitan

10 tahun yang lalu
baca 6 menit
Khitan

buah-kasih-14Al-Ustadzah Ummu Umar Asma

Pembaca Qonitah, semoga Allah merahmati Anda. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Oleh karena itu, kita dapati di dalam ajarannya hal-hal yang sesuai dengan penciptaan manusia. Sebagai contoh, sebutlah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tentang sunanul fithrah.

‘Aisyah  meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. قَالَ زَكَرِيَّاءُ: قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

Ada sepuluh amalan yang termasuk fitrah: memotong kumis, membiarkan (tumbuh) jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung ketika berwudhu, memotong kuku, menyela-nyela jari saat berwudhu, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan batu.” Zakariyya (salah satu periwayat hadits ini) berkata, “Mushab (salah satu periwayat hadits ini pula) berkata, ‘Saya lupa perkara yang kesepuluh. Namun, menurut saya itu adalah berkumur saat wudhu’.” (HR. Muslim no. 384)

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

الْفِطْرَةُخَمْسٌ: الْخِتَانُ وَاْلِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ

“Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam hadits tersebut beliau menyebutkan khitan pada urutan pertama amalan fitrah.

Pembaca, amalan-amalan tersebut dimasukkan dalam amalan fitrah karena fitrah adalah al-Hanifiyyah, agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Amalan-amalan itulah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana hal ini disebutkan oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau, Tuhfatul Maudud.

 

Hukum Khitan

Ulama berselisih pendapat mengenai hukum khitan, apakah wajib atau sunnah. Beberapa ulama menjelaskan bahwa hukumnya wajib. Di antaranya adalah asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

Dalam Tamamul Minnah hlm. 69, beliau menyebutkan, “Adapun hukum khitan, yang rajih (kuat) menurut kami adalah wajib. Ini adalah mazhab jumhur, seperti Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini pula yang yang dipilih oleh Ibnul Qayyim. Beliau membawakan lima belas dalil mengenai hal itu. Tiap-tiap dalil tidak kokoh apabila berdiri sendiri. Namun, tidak diragukan bahwa keseluruhannya menguatkan hal itu. Hanya saja, bukan di sini tempat yang tepat untuk menyebutkan semuanya. Maka dari itu, cukup saya bawakan dua di antaranya.

  • Firman Allah subhanahu wa ta’ala ,

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ

“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (wahai Muhammad), ‘Ikutilah millah (agama) Ibrahim yang lurus’.” (an-Nahl: 123)

Khitan termasuk ajaran agama beliau , sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang disebutkan dalam kitab ini. Ayat ini adalah hujah (argumen) yang paling baik, seperti dikatakan oleh al-Baihaqi dan dinukil oleh al-Hafizh (10/281).

  • Khitan termasuk syiar yang paling tampak dalam membedakan antara muslim dan Nasrani. Sampai-sampai, kaum muslimin hampir menganggap orang yang tidak berkhitan bukan termasuk golongan mereka.”

Hukum wajib khitan ini berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebab, perempuan sama dengan laki-laki dalam hukum syariat, kecuali jika ada dalil yang membedakannya.

Selain itu, dalam hadits disebutkan bahwa perempuan juga dikhitan. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila seorang pria duduk di empat cabang anggota badan wanita dan khitannya telah menyentuh khitan si wanita, telah wajib mandi.” (HR. Muslim no. 526)

 

Waktu Khitan

Khitan diwajibkan saat anak mencapai usia balig. Dalam Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa menurut beliau, wali si anak wajib mengkhitan anaknya sebelum si anak mencapai usia balig. Tujuannya, si anak memasuki usia balig dalam keadaan sudah berkhitan. Sebab, tidak sempurna pelaksanaan kewajiban lainnya kecuali setelah si anak dikhitan. Hal ini sesuai pula dengan atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari no. 5825. Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata,

سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مِثْلُ مَنْ أَنْتَ حِينَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: أَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُونٌ. قَالَ: وَكَانُوا لَا يَخْتِنُونَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ

Ibnu Abbas ditanya, Seusia siapa Anda ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat? Beliau menjawab, Saat itu aku sudah dikhitan. Mereka (para sahabat) tidak mengkhitan seorang lelaki sampai saat dia bisa memahami sesuatu (mendekati usia balig).

Oleh karena itu, orang tua semestinya memerhatikan hal ini. Jangan sampai mereka mengkhitan anak saat si anak telah melewati usia balig. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan agar anak-anak diajari shalat pada usia tujuh tahun dan dipukul apabila enggan mengerjakannya pada usia sepuluh tahun. Lalu, bagaimana bisa dalam masalah mengkhitan anak, orang tua malah melakukannya setelah anak melewati usia balig?!

Adapun mengkhitan bayi pada hari ketujuh kelahirannya, hal ini boleh. Dalam hadits disebutkan bahwa khitan juga termasuk sunnah pada hari ketujuh kelahiran bayi.

 

Bagian Tubuh yang Dipotong

Al-Imam an-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim (3/148), menyebutkan bahwa pada laki-laki, yang wajib dipotong adalah seluruh kulit yang menutupi kepala zakar sampai terbuka seluruhnya. Adapun pada perempuan, yang wajib dipotong ialah kulit terluar dari bagian kemaluan yang paling atas (klitoris).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,

إَذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ

            Apabila engkau mengkhitan wanita, potonglah sedikit, jangan memotong semuanya. Sebab, yang demikian itu lebih menceriakan wajah dan lebih disenangi suami.” (Dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 722)

Hikmah Pensyariatan

Tidak ada syariat Islam yang sia-sia. Semuanya pasti ditetapkan oleh Allah dengan hikmah di dalamnya. Seorang muslim wajib meyakini hal ini. Terkadang, karena keterbatasan kemampuan akalnya, manusia tidak bisa menemukan hikmah tersebut. Meski demikian, dia wajib tetap melaksanakan syariat, baik dia mengetahui hikmahnya maupun tidak.

Demikian pula halnya syariat khitan. Di antara hikmah pensyariatan khitan adalah:

  1. Khitan merupakan syiar yang membedakan antara muslim dan Nasrani sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di atas. Bahkan, khitan adalah salah satu ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang lurus.
  2. Dalam khitan terkandung pembersihan dan penyucian dari sisa air kencing yang tidak sempurna keluar.
  3. Khitan membawa keindahan dan kebagusan penciptaan. Khitan juga menstabilkan syahwat.

Pembaca Qonitah, demikianlah uraian yang bisa kami sampaikan mengenai khitan. Dari pembahasan ini, kita semakin tahu dan semakin yakin bahwa Islam memang agama yang sempurna dan terbaik bagi manusia untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Setiap syariatnya tidak lepas dari kebaikan bagi pemeluknya.

Semoga pembahasan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Wallahu alam bish shawab.

Sumber Tulisan:
Khitan