Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para nabi sebagai nikmat-Nya yang terbesar kepada umat manusia, khususnya kaum mukminin. Secara khusus, Allah subhanallahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rabbul ‘Izzah, Allah subhanallahu wa ta’ala, berfirman,
لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ١٦٤
“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada kaum mukminin ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran: 164)
Sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, bangsa Arab secara khusus dan umat manusia secara umum benar-benar dalam kesesatan, penyimpangan, dan kejahiliahan. Mereka menyembah batu-batu dan pohon-pohon, mengingkari Hari Berbangkit, membenarkan para dukun dan tukang sihir serta menjadikan mereka sebagai rujukan, dan melakukan berbagai penyimpangan lainnya di bidang sosial, politik, dan sebagainya. Kerusakan ini menimpa berbagai jenis agama dan peradaban yang ada. Baik yang jelas-jelas paganis (penyembah berhala) maupun yang menisbahkan diri kepada agama samawi—yang biasa disebut ahli kitab—tidak luput darinya.
Diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi umat manusia. Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam merupakan cahaya bagi mereka.
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ قَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمۡ كَثِيرٗا مِّمَّا كُنتُمۡ تُخۡفُونَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖۚ قَدۡ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٞ وَكِتَٰبٞ مُّبِينٞ ١٥ يَهۡدِي بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٦
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, yang menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Kitab (Taurat) yang kalian sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Ma’idah: 15—16)
Al-Imam al-Hafizh Abu Ja’far bin Jarir ath-Thabari rahimahullah , yang digelari Imamul Mufassirin (Imam Para Ahli Tafsir), menjelaskan dalam Tafsirnya, “Yang dimaksud dengan nur (cahaya) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Dengan beliaulah Allah menerangi kebenaran, memenangkan Islam, dan menghancurkan kesyirikan. Beliau adalah cahaya bagi siapa pun yang mau mengambil cahaya dari Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam. Dengan beliau pula Allah menjelaskan al-haq (kebenaran).” (Lihat Tafsir ath-Thabari 6/161)
Maka dari itu, kita diperintah oleh Allah subhanallahu wa ta’ala untuk mengikuti wahyu yang telah diturunkan-Nya tersebut. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓصٓ ١ كِتَٰبٌ أُنزِلَ إِلَيۡكَ فَلَا يَكُن فِي صَدۡرِكَ حَرَجٞ مِّنۡهُ لِتُنذِرَ بِهِۦ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ٢ ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“Alif lam mim shad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 1—3)
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam ada dua, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau tegaskan hal ini dalam sabda beliau,
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan yang semisalnya (yakni as-Sunnah) bersamanya.” (HR. Abu Dawud no. 4604)
Kita semua wajib mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dalam semua urusan. Termasuk ketika terjadi perselisihan, kita diperintah untuk mengembalikannya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah perselisihan tersebut kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika benar kalian beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Apabila mukmin dan mukminah diajak untuk kembali kepada hukum al-Qur’an dan as-Sunnah, sikap yang dia tunjukkan adalah kesiapan secara total.
إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥١
“Sesungguhnya jawaban kaum mukminin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nur: 51)
Apabila telah ada keputusan atau ketentuan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak sepantasnya mukmin dan mukminah memiliki pilihan lain. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
“Tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak (pula) bagi seorang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Al-Hafizh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Ayat ini umum, mencakup semua urusan. Apabila Allah dan Rasulullah telah menetapkan sesuatu, tidak ada seorang pun yang boleh menyalahi atau menentang keputusan tersebut. Tidak ada pula yang boleh memiliki pilihan dan pendapat lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya),
‘Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (yakni Nabi Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.’ (an-Nisa’: 65)
Dalam sebuah hadits disebutkan, ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mau mengikuti ajaran yang kubawa.’
Oleh karena itu, Allah memberikan peringatan keras kepada orang yang menyelisihinya. Allah berfirman, ‘Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.’ Ini seperti firman Allah subhanallahu wa ta’ala, ‘Maka hendaknya waspada orang-orang yang menentang perintahnya, bahwa mereka akan ditimpa fitnah dan akan ditimpa azab yang pedih.’ (an-Nur: 63).” Selesai ucapan Ibnu Katsir.
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat yang sangat agung dalam permasalahan ini. Dikisahkan oleh al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam shalat bersama kami. Usai shalat, beliau menghadap kami lalu menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh hati. Air mata kami pun bercucuran dan hati kami pun merasa takut karenanya.
Ada seseorang yang mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Lalu, apa yang Anda wasiatkan kepada kami?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemerintah) meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 46)
Al-Imam al-Lalika’i rahimahullah, ketika meriwayatkan hadits di atas dalam kitab beliau, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, menyebutkannya dalam bab “Penyebutan Hadits yang Diriwayatkan dari Nabi n tentang Dorongan untuk Berpegang pada al-Kitab dan as-Sunnah.”
Prinsip ini, yaitu senantiasa berpegang pada al-Kitab dan as-Sunnah dalam segala urusan, senantiasa ditekankan dan diwasiatkan oleh para ulama.
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah berkata, “Para ulama terdahulu mengatakan bahwa berpegang teguh pada as-Sunnah adalah keselamatan.” (Syarh Ushul I’tiqad, al-Lalika’i, no. 136)
Mengingat pentingnya prinsip ini, al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat pembahasan khusus dalam Shahih-nya, yaitu “Kitab al-I’tisham bil Kitab was Sunnah” (Berpegang Teguh pada al-Kitab dan as-Sunnah).
Prinsip agung ini menjadi jaminan keselamatan dan kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Sahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas c, mengatakan, “Allah telah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengikuti kandungannya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Kemudian, beliau membaca ayat ini,
قَالَ ٱهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيعَۢاۖ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ ١٢٣ وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤
“Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 123—124)