Doa adalah amalan yang paling mulia di sisi Allah l.
Al-Imam al-Khaththabi t menyatakan bahwa hakikat doa ialah menampakkan rasa butuh kepada Allah l, tidak bersandar pada daya ataupun kekuatan diri sendiri. Inilah ketinggian ‘ubudiyah (penghambaan diri) sekaligus kehinaan diri sebagai manusia. Di dalam doa tersirat makna pujian kepada Allah k dan penisbahan sifat Mahadermawan dan Maha Pemurah kepada-Nya.1
Nabi n bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa itu ibadah.” 2
Doa, baik terkabul maupun tidak, adalah ibadah. Sebab, orang yang berdoa berarti menampakkan ketidakberdayaannya sebagai seorang hamba, betapa butuhnya dia kepada Allah l, dan pengakuannya—walaupun tidak terucap—bahwa Allah l Mahakuasa untuk mengabulkan doanya. Allah Maha Pemurah dan Maha Memberi, tidak kikir sehingga menyimpan semuanya untuk diri-Nya sendiri.3
Setelah menyampaikan hadits di atas, Rasulullah n membacakan firman Allah l,
ﮋ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﮊ
“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” (Ghafir: 60)
Ayat yang mulia ini menegaskan bahwa doa adalah ibadah, karena Allah l memerintah para hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya. Bahkan, ibadah itu tidak disyariatkan melainkan untuk menunjukkan ketundukan kepada Allah dan rasa butuh kepada-Nya.
Oleh sebab itulah, Allah l menutup ayat ini dengan firman-Nya,
ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ
“Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku….”
Menyombongkan diri dalam ayat ini adalah ungkapan tentang tidak adanya sikap merasa rendah, tunduk, dan butuh kepada Allah. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak mau berdoa adalah manusia yang sombong kepada Allah l, tidak mau tunduk, dan tidak pula merasa butuh kepada-Nya.
Tidakkah Anda memerhatikan, Allah l memulai kitab-Nya yang mulia (al-Qur’anul Karim) dengan doa, dan menutupnya dengan doa pula.
Al-Fatihah adalah surat pertama yang terdapat di dalam mushaf al-Qur’an. Surat ini berisi doa paling utama dan tujuan yang paling sempurna. Di dalamnya ada permohonan hidayah menuju ash-shirathal mustakim dan meminta pertolongan dalam menjalankan ibadah serta menaati Allah l.
Adapun surat terakhir, yaitu an-Nas, yang menutup lembaran-lembaran al-Qur’anul Karim, juga mengandung permintaan kepada Allah l, yaitu memohon perlindungan dari kejahatan bisikan dan godaan setan yang senantiasa berbisik di dada manusia.
Kenyataan ini menunjukkan kepada kita betapa agungnya kedudukan doa. Bahkan, doa adalah ruh dan inti ibadah.
Doa adalah tanda kehinaan, ketundukan, dan kerendahan seorang manusia di hadapan Rabb tempat dia meminta.
Apabila kita mengenal Allah dengan sempurna, semakin eratlah hubungan kita dengan Allah dan semakin besarlah semangat berdoa kepada Allah. Kerendahan diri di hadapan Allah dan rasa butuh kita kepada Allah semakin besar pula.
Itulah kedudukan yang telah diraih oleh para nabi dan rasul Allah r. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang paling jelas menampakkan rasa butuh kepada Allah dalam setiap keadaan, baik susah maupun senang.
Allah l berfirman menerangkan sebagian sifat mereka,
ﮋ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﮊ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada kami.” (al-Anbiya’: 90)
Wallahul Muwaffiq.
1 Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah (2/678).
2 HR. at-Tirmidzi (3247) dari an-Nu’man bin Basyir a.
3 Tuhfatul Ahwadzi, dengan sedikit perubahan.