Mencari wajah Allah semata adalah tujuan dalam segala amalan yang berpijak pada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Termasuk di dalamnya adalah masalah muamalah sesama kaum mukminin, dan secara khusus di sini adalah muamalah (pergaulan) muslimah.
Seluruh kebaikan akan didapatkan ketika seorang muslimah senantiasa berupaya mempelajari dan memahami agamanya dengan benar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
“Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak, dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (al-Baqarah: 269)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ia akan dipahamkan dalam urusan agama ini.”
Sungguh, sebagaimana seseorang wajib mempelajari ilmu yang terkait dengan tata cara peribadahan, seperti thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan selainnya, wajib pula baginya mempelajari ilmu yang terkait dengan akhlak karimah (akhlak mulia) ketika akan mengamalkannya. Dengan demikian, diharapkan seorang muslimah berada pada prinsip yang benar, yaitu berilmu sebelum bertutur dan berperilaku.
Kemuliaan Fitrah Tinggal di Rumah
“Penjara, menghilangkan kebebasan, tindakan kezaliman, melanggar hak asasi manusia….” Demikian kicauan orang-orang jahil atau ungkapan musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir tentang fitrah tinggalnya kaum wanita di rumah-rumah mereka.
Sejatinya, fitrah ini merupakan syariat mulia dari Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ
“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah subhanahu wa ta’ala, dan sebaik-baik petunjuk adalah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Di antara tugas para wanita adalah mengurusi rumah tangga, memberikan pelayanan dan pendidikan kepada anak-anaknya, dan menunaikan hak-hak suaminya. Selain itu, wanita dituntut untuk melakukan aktivitas yang terkait dengan hak-hak dirinya dalam hal-hal kebaikan, seperti membekali diri dengan ilmu dan kebaikan yang lain. Mampukah hal ini dijalani oleh wanita yang senantiasa beraktivitas di luar rumahnya? Hanya wanita yang masih terjaga fitrahnya yang akan mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Boleh Wanita Keluar dari Rumah karena Suatu Keperluan
Ketika wanita memiliki suatu keperluan yang mengharuskannya keluar dari rumah, diperbolehkan baginya keluar dari rumah sekadar untuk memenuhi kebutuhannya itu. Ada adab-adab yang harus diperhatikan pada saat ia keluar dari rumah, di antaranya:
Hal ini tidak membedakan antara keluar yang sudah berjarak safar dan yang tidak sampai pada jarak safar. Sangat disayangkan, sebagian wanita yang telah memakai hijab syar’i tidak mengenakan hijab sempurna karena menganggap keluarnya dari rumah belum sampai pada jarak safar.
Ketika seorang wanita keluar dari rumah pada kategori safar, wajib baginya disertai mahram, apakah keluarnya itu dalam rangka berziarah (berkunjung) kepada karib kerabatnya ataupun dalam rangka mencari ilmu, menghadiri kajian di majelis dan halaqah ilmu, dan semisalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak diperbolehkan seorang wanita melakukan safar kecuali harus bersama mahramnya.” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Adab Seorang Wanita Saat Berbicara
Yang kami maksudkan dalam bahasan ini adalah ketika ia berbicara kepada laki-laki yang bukan mahramnya, ketika ada suatu keperluan. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan para wanita (meskipun yang disebutkan dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi), sebagaimana di dalam firman-Nya,
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢
“Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kalian bertakwa. Maka dari itu, janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
Demikian juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسَۡٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri–istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (al-Ahzab: 53)
Ayat di atas menunjukkan bolehnya pria berbicara kepada wanita dan sebaliknya, dengan syarat aman dari berbagai fitnah (godaan, –red.) dan dengan menjaga adab-adab berbicara sebagaimana ditunjukkan pada ayat tersebut. Selain itu, pembicaraan tersebut hendaklah sekadar kebutuhan dan seringkas mungkin selama maksud pembicaraan sudah tercapai, dengan tetap menjaga diri dan menjauhi fitnah. Adalah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai kerusakan.
Sebagai misal, terkait dengan kebutuhan wanita berbicara kepada pria yang bukan mahram, adalah seorang wanita bertanya tentang agamanya dan hal-hal yang ia butuhkan. Semua itu harus memenuhi syarat aman dari fitnah. Di antara riwayat yang menjadi pijakan di dalam masalah ini adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Ummu Sulaim pernah mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu terhadap (menerangkan) al-haq (kebenaran). Apakah seorang wanita wajib mandi jika ia bermimpi basah (ihtilam)?” Nabi menjawab, “Benar, jika wanita tersebut melihat ada air mani (yang keluar).”
Demikian juga riwayat al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang pria yang kikir. Ia tidak memberi saya makan, tidak pula mencukupi kebutuhan anak-anak saya, kecuali apa yang saya ambil darinya tanpa diketahuinya.” Nabi n bersabda, “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan mencukupi anak-anakmu dengan cara yang makruf.”
Masih banyak riwayat lain yang terkait dengan masalah tersebut.
Jauhi Hal-hal yang Menjadikan Wanita Mayoritas Penghuni Neraka
Saudariku, para pembaca, rahimakumullah….
Sifat suka melaknat dan kufur (ingkar) terhadap keutamaan dan kebaikan suami adalah dua hal yang disebutkan oleh Nabi n sebagai sebab para wanita menjadi mayoritas penghuni api neraka, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.
Tidak hanya menyebutkan penyakit, tetapi Nabi n juga menunjukkan jalan keluarnya. Jalan keluar ini disebutkan dalam riwayat yang sama, dalam sabda beliau sebelumnya, “Wahai para wanita, hendaklah kalian memperbanyak sedekah dan beristighfar (meminta ampunan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Demikian di antara jalan keluar yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Hal ini mengisyaratkan bahwa di dalam pergaulannya, hendaknya seorang muslimah senantiasa menjaga lisan dari berbagai laknat dan celaan dan menjaga diri dari sikap tidak menganggap kebaikan yang dilakukan oleh suami, jika ia telah bersuami. Selain itu, hendaklah ia banyak bersedekah dan memperbanyak istighfar, memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia hendaknya memiliki sifat dermawan dan banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di Antara Akhlak-akhlak Mulia dan Akhlak-akhlak tercela di Dalam Pergaulan
Selain hal yang disebutkan di atas, masih banyak akhlak mulia yang hendaknya disandang oleh wanita di dalam pergaulan, baik yang terkait dengan lisannya maupun dengan perilakunya. Di antaranya adalah menjaga suaranya, tidak banyak mengeluh, tidak banyak bersumpah, tidak mengatakan kepada manusia selain kebaikan, menahan ucapan, dan menjauhkan diri dari perdebatan, terkhusus terhadap al-haq; dan menjauhkan diri dari penyakit-penyakit lisan, seperti ucapan kesyirikan, kekufuran, dan kebid’ahan; ghibah, namimah; berkata dusta, menyebarkan rahasia, meratap ketika tertimpa musibah, dan akhlak tercela lainnya.
Jalinlah Selalu Hubungan Kekerabatan
Kerabat yang wajib diutamakan untuk diperlakukan dengan baik adalah kerabat terdekat, yaitu kedua orang tua. Bermuamalah dengan kedua orang tua dibahas dalam bab birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Ringkasnya, wanita yang berkedudukan sebagai anak wajib memiliki adab-adab yang baik sesuai dengan bimbingan syariat agama yang mulia ini. Di antaranya adalah tidak diperkenankan mendahului orang tua dalam berbicara, tidak mengangkat suara di hadapan mereka, tidak membalas kedua orang tua ketika diberi nasihat dengan keras, senantiasa mendoakan ampunan bagi kedua orang tua, dan adab-adab mulia lainnya.
Adab ini tetap berlaku sekalipun orang tua kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
Al-Imam Ibnu Katsir v mengatakan, “Yang dimaksud adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang kalian untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama, seperti kepada para wanita dan orang-orang lemah dari kalangan mereka.أَنْ تَبَرُّوهُمْ maksudnya kalian berbuat kebaikan kepada mereka, وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ maksudnya kalian berbuat adil kepada mereka.”
Adapun batasan di dalam masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat berikutnya,
إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٩
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 9)
Termasuk karib kerabat adalah kedua orang tua dan karib kerabat lainnya. Menyambung silaturahmi adalah perkara yang disyariatkan dan memiliki keutamaan yang sangat besar sebagaimana telah dibahas pada edisi lalu. Wallahu ta’ala a’lam.