Qonitah
Qonitah

kemaslah pesta pernikahanmu dalam bingkai syariat

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Kemaslah Pesta Pernikahanmu dalam Bingkai Syariat

bahteraku-7Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma

Akad nikah telah terlaksana. Dua insan berlawanan jenis itu kini telah bertemu dalam ikatan resmi yang halal. Pada hari-hari pengantin yang membahagiakan itu, Islam menuntunkan agar pernikahan tersebut diumumkan. Tujuannya, menepis prasangka dan keraguan dalam benak masyarakat tentang legalitas pasangan baru itu. Pengumuman tersebut akan menjadi sempurna dengan tiga hal: walimah, tabuhan duff (rebana), dan nyanyian yang dibolehkan. Ketiga hal ini lazim digelar menjadi satu dalam acara pesta perkawinan (walimatul ‘urs).

Walimah

Walimah artinya perjamuan. Perjamuan yang diadakan dalam acara pernikahan disebut walimatul ‘urs. Walimatul ‘urs bisa diadakan oleh suami, bisa oleh para wali istri, bisa juga oleh kedua-duanya.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melihat pada diri ‘Abdurrahman bin ‘Auf bekas warna kuning (dari minyak wangi yang biasa dipakai oleh pengantin kala itu, -pent.). Beliau bertanya, “Apa ini?”

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat satu nawat[1],” jawab ‘Abdurrahman.

Beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (Muttafaqun ‘alaih)

Perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ini menunjukkan bahwa walimah adalah perkara yang disyariatkan. Beliau n juga mengadakan walimah saat menikah dengan istri-istri beliau.

Makanan apakah yang sebaiknya disuguhkan dalam walimah? Islam tidak menentukan jenis makanan tertentu. Hal itu kembali kepada kemampuan pihak penyelenggara. Dalam hadits di atas, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam n menyuruh sahabat beliau mengadakan walimah walau dengan seekor kambing. Dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari, “Mengadakan walimah walaupun dengan seekor kambing, yakni bagi yang memiliki kelapangan.”

Orang yang diluaskan rezekinya boleh mengadakan walimah dengan seekor kambing atau lebih. Adapun bagi yang tidak mampu, boleh mengadakan walimah dengan sesuatu yang lebih rendah daripada kambing. Sungguh, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah mengadakan walimah tanpa daging dan roti.

Anas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan pernikahan beliau dengan Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika sampai di suatu jalan, Ummu Sulaim mempersiapkan Shafiyyah untuk dihadapkan dan diserahkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pada waktu malam. Keesokannya, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjadi pengantin. Beliau bersabda, ‘Barang siapa memiliki sesuatu, hendaknya ia membawanya’.” (Dalam riwayat lain, “Barang siapa memiliki perbekalan, hendaknya ia membawanya kepada kami.”)

Kemudian, dibentangkanlah tikar. Datanglah seseorang membawa aqith (susu yang sudah dikeringkan), yang lain membawa kurma, dan yang lain membawa samin. Mereka mencampur makanan tersebut (lalu menyantap hidangan tersebut, dan minum dari kolam-kolam di sekitar mereka yang terisi air hujan).”

Demikianlah walimah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dengan Ibunda Shafiyyah, begitu sederhana. Dari kisah ini juga diambil faedah disunnahkan bagi orang-orang yang memiliki kelebihan dan keluasan rezeki ikut serta membantu menyiapkan walimah. (Lihat Adabuz Zifaf karya asy-Syaikh al-Albani)

Kewajiban Memenuhi Undangan Walimatul ‘Urs

Memenuhi undangan walimatul ‘urs hukumnya wajib jika terpenuhi syarat-syaratnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke walimah, hendaknya dia menghadirinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Barang siapa tidak mau memenuhi undangan, dia telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau bersabda, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang di sana hanya orang-orang kaya yang diundang, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Barang siapa tidak memenuhi undangan, dia telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.”

Hadits ini juga menjadi dalil dilarangnya mengkhususkan undangan untuk orang-orang kaya.

Memenuhi Undangan bagi Orang yang Berpuasa

Orang yang sedang berpuasa tetap wajib menghadiri undangan, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, “Apabila salah seorang dari kalian diundang, hendaknya dia memenuhinya. Apabila sedang berpuasa, hendaknya dia mendoakannya, dan apabila tidak berpuasa, hendaknya dia makan.” Maksudnya, mendoakan ampunan dan berkah bagi orang yang mengundang.

Dalam hadits Jabir ‘alaihissalam, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan pilihan, “Jika dia menghendaki, hendaknya dia makan, dan jika dia menghendaki, hendaknya dia meninggalkannya.”

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang berpuasa sunnah. Hendaknya dia menimbang-nimbang antara maslahat dan mafsadat yang ada. Jika timbul mafsadat karena dia tidak makan—misalnya, tamu-tamu yang lain merasa tidak enak, atau tuan rumah memusuhinya—berbuka lebih utama baginya. Jika tidak ada mafsadat apa pun, yang lebih utama adalah tetap berpuasa. Adapun jika puasanya adalah puasa wajib, dia harus tetap berpuasa. Sebab, menghadiri undangan bukan uzur syar’i yang membolehkan dibatalkannya puasa wajib.

Syarat-syarat Undangan Wajib Dipenuhi

Kewajiban memenuhi undangan tidak berlaku pada semua keadaan. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi sehingga undangan tersebut wajib dipenuhi. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyebutkan enam syarat, kami nukilkan secara ringkas sebagai berikut.

  1. Hendaknya di tempat undangan tersebut tidak terdapat kemungkaran. Jika di situ ada kemungkaran, dipertimbangkan: jika tidak mampu mengubahnya, dia tidak boleh hadir; jika mampu, dia wajib hadir.
  2. Pihak pengundang beragama Islam. Jika undangan berasal dari nonmuslim, tidak wajib dipenuhi.
  3. Pihak pengundang bukan ahli bid’ah yang kebid’ahannya memasukkannya dalam golongan orang-orang fasik atau kafir. Jika dia adalah orang yang demikian, undangannya tidak dipenuhi.
  4. Harta yang digunakan untuk walimah bukan harta yang haram.
  5. Walimah tersebut adalah walimah yang pertama. Jika si pengundang mengulang walimah—untuk kedua atau ketiga kalinya, tidak wajib dipenuhi.
  6. Tidak ada bahaya/kesulitan yang didapati oleh orang yang diundang. Jika ada bahaya/kesulitan yang didapatinya, kewajiban tersebut gugur.

Tabuhan Rebana (Duff) dan Nyanyian Mubah

Anak-anak perempuan kecil dibolehkan menabuh rebana dan bernyanyi di kalangan wanita untuk menyiarkan pernikahan dan menggembirakan sang mempelai. Namun, harus diperhatikan, alat yang dibolehkan hanya rebana, tanpa ditambahi bunyi-bunyi gemerincing, apalagi alat-alat musik yang lain. Nyanyian yang dilantunkan pun hanya syair-syair yang mubah, bukan nyanyian buruk yang menggambarkan kemolekan wanita, perbuatan keji, atau berisi kata-kata asmara dan ucapan-ucapan kotor yang membangkitkan syahwat. Yang melantunkannya hanya anak-anak perempuan kecil yang memang masih suka bermain-main, bukan biduanita yang memang berprofesi sebagai penyanyi.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الصَّوْتُ بِالدُّفِّ

“Pemisah antara perkara yang halal (pernikahan) dan yang haram (zina) adalah suara tabuhan rebana.” (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi—dia berkata, “Hadits hasan.”)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita menikah dengan seorang pria Anshar. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam  bersabda, “Wahai ‘Aisyah, tidakkah kalian memiliki nyanyian? Orang-orang Anshar sangat senang dengan nyanyian.” (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mengutus bersamanya (mempelai wanita) seorang anak perempuan yang akan menabuh rebana dan bernyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Melantunkan apa?” Beliau menjawab,

أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّكُمْ

وَلَوْلَا الذَّهَبُ الْأَحْمَرُ مَا حَلَّتْ بَوَادِيكُمْ

وَلَوْلَا الْحِنْطَةُ السَّمْرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيكُمْ

Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian. Berilah salam penghormatan kepada kami, kami pun memberikan salam penghormatan kepada kalian.

Kalaulah bukan karena emas merah, tidak akan gurun-gurun kalian ditempati.

Kalaulah bukan karena gandum coklat, tidak akan gemuk gadis-gadis kalian.

Hal-hal yang Dilakukan oleh Orang yang Diundang

  1. Disunnahkan mendoakan mempelai dengan doa yang disyariatkan, seperti:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Semoga Allah memberikan barakah untukmu dan memberkahi atasmu, dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan ad-Darimi)

  1. Tidak mengajak orang lain yang tidak diundang untuk ikut hadir, kecuali jika diyakini bahwa si pengundang akan ridha.
  2. Jika dia memiliki uzur yang kuat, atau perjalanan yang harus ditempuh jauh dan dia merasa kesulitan, boleh tidak hadir.
  3. Kembali atau pulang jika melihat kemungkaran.

Demikian pembahasan tentang pesta pernikahan syar’i yang dapat kami ketengahkan pada edisi kali ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meringankan hati kita untuk meninggalkan segala macam prosesi yang tidak sesuai dengan syariat-Nya, dan memudahkan langkah kita untuk menapaki jalan-Nya. Amin.

Wallahu a’lam bish shawab.

[1] Senilai 5 dirham. (-pent.)