Qonitah
Qonitah

kemanakah cinta ini kupersembahkan?

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Kemanakah Cinta Ini Kupersembahkan?

pilar-12Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus

Kupas Tuntas al-Mahabbah (Rasa Cinta)

Saudariku fillah, pada edisi ini insya Allah kita akan kembali mempelajari macam-macam ibadah, khususnya ibadah-ibadah yang kaum muslimin banyak terjatuh dalam kesyirikan padanya.

Al-Mahabbah (rasa cinta)

Ketahuilah, wahai saudariku fillah, sesungguhnya rukun ibadah ada tiga: al-mahabbah (rasa cinta), al-khauf (rasa takut), dan ar-raja’ (rasa harap). Insya Allah dua rukun berikutnya akan kita pelajari pada edisi mendatang.

Dari ketiga rukun ini, al-mahabbah adalah yang paling agung. Rasa cinta orang-orang yang beriman akan semakin besar dan berlipat ganda pada saat mereka dimasukkan ke surga. Adapun al-khauf (rasa takut) pada saat itu telah lenyap sama sekali, karena orang-orang yang masuk ke surga tidak akan pernah lagi merasakan takut dan sedih.

Macam-macam mahabbah

  1. Mahabbatul ‘ibadah, yaitu rasa cinta yang disertai dengan sikap merendahkan diri dan mengagungkan sesuatu yang dicintai, dengan pengagungan yang membawa kepada ketundukan, menjalankan seluruh perintahnya, dan menjauhi seluruh larangannya. Barang siapa memberikan mahabbah ini kepada Allah semata, dia benar-benar orang yang beriman. Inilah mahabbah yang merupakan rukun iman dan tauhid. Mahabbah ini akan menghasilkan keutamaan yang tiada terhitung jumlahnya. Akan tetapi, barang siapa memberikan mahabbah ini kepada selain Allah di samping memberikannya kepada Allah, dia telah terjatuh dalam kesyirikan.

Allah berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓاْ إِذۡ يَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعٗا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعَذَابِ ١٦٥

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar kecintaan mereka kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata dan bahwa Allah sangatlah berat siksa-Nya.” (al-Baqarah: 165)

Di antara makna yang disebutkan oleh para ulama tafsir tentang ayat tersebut ialah bahwa orang-orang musyrik itu mencintai Allah dengan kecintaan yang besar sebagaimana mereka mencintai sembahan-sembahan mereka dengan kecintaan yang besar pula. Inilah yang disebut syirik mahabbah, yaitu menyamakan kecintaan kepada makhluk dengan kecintaan kepada Allah. Penyamaan kecintaan seperti inilah yang menyebabkan mereka masuk ke neraka, sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya,

تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٩٧ إِذۡ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٨

“Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata, ketika kami menyamakan kalian dengan Rabb semesta alam.” (asy-Syu’ara’: 97—98)

Telah kita ketahui bersama bahwa mereka tidaklah menyamakan Allah dengan sembahan-sembahan mereka dalam hal mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, dst. Lantas, dalam hal apa mereka menyamakan sembahan mereka dengan Rabb semesta alam? Jawabnya, dalam hal kecintaan.

Saudariku fillah, ini keadaan orang-orang yang mencintai Allah seperti mencintai berhala/makhluk. Lantas, bagaimana kiranya apabila makhluk justru lebih dicintainya daripada Allah? Asy-Syaikh al-‘Utsaimin mengatakan, “Ini lebih jelek dan lebih besar. Ini terjadi pada banyak sekali orang yang menyatakan diri beragama Islam. Mereka lebih mencintai para wali (atau yang mereka anggap wali), melebihi kecintaan mereka kepada Allah. Buktinya, seandainya diminta untuk bersumpah dengan nama Allah, mereka dengan mudah mengucapkan sumpah, entah dalam urusan yang nyata atau dusta. Adapun bersumpah atas nama wali, mereka tidak akan berani kecuali pada urusan yang benar-benar nyata.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid)

Bagaimana pula keadaan orang-orang yang sedang mabuk asmara, yang mengucapkan kepada kekasih mereka, “Aku mencintaimu di atas segalanya”, juga ucapan mereka, “Diriku tercipta hanya untukmu”, atau ucapan, “Engkau satu-satunya pujaan hatiku”, dan kalimat-kalimat yang semakna dengannya? Orang yang mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu, entah di dalam hatinya masih tersisa kecintaan kepada Allah ataukah tidak.

Apabila kecintaan tersebut membawanya kepada kepatuhan dan ketundukan terhadap orang yang dicintai sehingga dia memenuhi segala yang dimintanya dan menjauhi segala yang dibencinya, ini adalah mahabbah ibadah. Adapun jika tidak sampai demikian, masuk dalam kategori mahabbah thabi’iyyah yang menghalanginya dari ketaatan kepada Allah. Hukumnya adalah maksiat sebagaimana akan datang perinciannya.

Jadi, mahabbah ibadah ini ada empat macam, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin, “Pertama, mencintai Allah melebihi kecintaan kepada segala-galanya. Inilah tauhid. Kedua, mencintai selain Allah sebagaimana mencintai Allah. Inilah kesyirikan. Ketiga, mencintai selain Allah melebihi kecintaan kepada Allah. Ini lebih berat daripada yang sebelumnya. Keempat, mencintai selain Allah dalam kondisi tidak ada dalam hatinya kecintaan kepada Allah sedikit pun. Ini petaka yang paling besar.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid)

  1. Al-Mahabbah fillah (cinta karena Allah), yaitu rasa cinta terhadap sesuatu yang muncul pada diri seseorang disebabkan kecintaannya kepada Allah atau karena sesuatu itu dicintai oleh Allah.

Sesuatu tersebut bisa berupa manusia, seperti para nabi dan rasul, wali-wali Allah, orang-orang saleh, syuhada, dan sebagainya; bisa berupa amalan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, berbakti pada kedua orang tua, menuntut ilmu, membaca al-Quran, dll.; bisa berupa tempat, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, dll.; atau berupa waktu, seperti sepertiga malam yang akhir, setelah selesai shalat, waktu berbuka puasa, dll.

Segala jenis kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan dari kecintaan seseorang kepada Allah. Oleh karenanya, jenis mahabbah yang kedua ini mengikut mahabbah yang pertama. Artinya, mahabbah ini bernilai ibadah yang sangat agung bukan karena semata-mata kecintaan seseorang kepada sesuatu tersebut, melainkan karena kecintaan tersebut merupakan tuntutan kecintaan kepada Allah. Seandainya seseorang mencintai Rasulullah semata-mata karena beliau seorang lelaki yang gagah perkasa, bukan karena beliau adalah utusan Allah, niscaya itu tidak termasuk ibadah. Demikian pula kecintaan seseorang kepada Masjidil Haram semata-mata karena keindahan bangunannya, itu bukan ibadah, dan masuk dalam kategori mahabbah thabi’iyyah yang mubah.

Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan mahabbah fillah ini.

Rasulullah bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Salah seorang dari kalian belum beriman hingga diriku lebih dia cintai daripada anaknya, bapaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. al-Imam Muslim dari hadits Anas bin Malik)

Ibnul Qayyim berkata, “Seluruh kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanyalah diperbolehkan mengikut kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Misalnya, kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah merupakan bagian dari kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Umat beliau mencintai beliau karena kecintaan Allah kepada beliau. Mereka mengagungkan dan memuliakan beliau karena pemuliaan Allah kepada beliau. Itu merupakan mahabbah lillah yang merupakan konsekuensi kecintaan kepada Allah.” (Jala’ul Afham fi Fadhlish Shalati ‘ala Muhammad Khairil Anam)

  1. al-Mahabbah ath-Thabi’iyyah (kecintaan alami), yaitu kecintaan seseorang kepada sesuatu, yang merupakan sifat bawaan manusia. Di antara mahabbah yang masuk dalam kategori ini sebagai berikut.
  2. Rasa kasih sayang, seperti kecintaan orang tua kepada anak-anaknya, belas kasih kepada orang yang lemah, rasa iba terhadap orang sakit, anak yatim, orang miskin, dst.
  3. Rasa hormat, seperti penghormatan anak kepada kedua orang tuanya, santri kepada gurunya, anak muda kepada yang lebih tua, dan yang semisalnya.
  4. Selera, seperti kesukaan seseorang pada makanan, minuman, pakaian, pernikahan, rumah, kendaraan, harta benda, pekerjaan, pertemanan, permainan, dst.

Pada dasarnya ini semua merupakan kecintaan yang mubah. Allah berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ ١٤

“Dijadikan indah pada (selera) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)

Namun, apabila kecintaan ini mendorong kecintaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, teranggap sebagai ibadah dan masuk dalam kategori mahabbah fillah. Sebaliknya, apabila kecintaan ini mengalahkan kecintaan kepada Allah, menghalangi dari ketaatan kepada-Nya, dan menjadi sarana melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah, teranggap sebagai kemaksiatan.

Allah berfirman,

قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٤

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian, serta harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24)

Wallahu a’lam bish shawab.