Qonitah
Qonitah

keistimewaaan wanita

10 tahun yang lalu
baca 13 menit
Keistimewaaan Wanita

tadabur-alquran-15Al-Ustadz Hamzah Rifa’i La Firlaz

 

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka dari itu, wanita yang salihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memeliharanya. Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur, kemudian pukullah mereka. Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (anNisa’: 34)

Terdengar sedikit membahana suara dari balik meja, “Saya nikahkan Anda, Hamzah bin Rifai, dengan Ananda Maryam bintu Raharjo, dengan maskawin seperangkat hijab syar’i yang dibayar tunai.”

Dengan badan hingga hati yang sedikit bergetar serta lidah yang hampir kelu, mau tidak mau sang mempelai pria pun segera menjawab, “Saya terima nikahnya Maryam bintu Raharjo untuk diri saya dengan maskawin seperangkat hijab syar’i yang dibayar tunai.”

Demikian sekadar ilustrasi prosesi akad nikah untuk menyatukan dua hati yang berbeda menjadi satu bagian kehidupan yang tidak terpisahkan.

Mestinya, kehidupan rumah tangga adalah kehidupan bertabur cinta, sikap rela berkorban, tenggang rasa, dan saling mengerti antara dua hati yang saling mengasihi. Senyum tiada pernah luput terpancar dari belahan bibir pasangan yang selalu dirindukan. Gelak tawa pun menghiasi saat sedih datang menghampiri. Indah! Saling memotivasi dan menanamkan cita-cita yang tinggi untuk bersama memetik cinta ilahi….

“Sayang, maafkan ana atas kejadian kemarin sore, ya! Benar lo, kemarin itu tidak terbayang bahwa ucapan ana menyinggung perasaanmu. Tapi janji, insya Allah ana tidak akan mengulanginya. Maaf, ya! (senyum).”

Emmhh…. Ah, tidak apa-apa kok. Kemarin ana sedih saja. Tidak biasanya ‘kan suamiku berkata seperti itu. Tapi sudah tidak sedih lagi kok. Tidak apa-apa, sudah ana maafkan (senyum).” Lagi-lagi, ilustrasi percakapan sepasang kekasih yang saling mencintai karena Allah.

Senyum suami kepada istri ataupun senyum istri kepada suami tidak sama nilainya dengan senyum kepada kawan atau sahabat. Tidak sama pula nilainya di sisi Allah canda dan tawa di antara keduanya dengan guyon bersama rekan kerja. Ada nilai cinta dan keridhaan Allah yang lebih pada setiap senyum dan tawa yang terkembang dari keduanya. Istimewa, bukan? Itu hanya bisa Anda dapatkan dari pasangan yang hidup bersama Anda bernaungkan cinta, dengan berpegang pada tali ijab qabul pernikahan.

Namun, tidak selamanya lautan yang diseberangi itu tenang. Sesaat ombak datang, pergi, lalu esok muncul kembali. Angin tidak selamanya silir menyejukkan wajah yang diterpanya. Bahkan, pada saat-saat tertentu, angin datang serasa menampar-nampar wajah karena begitu kencangnya. Apalagi, persediaan logistik tidak selalu memenuhi gudang, bahkan tidak jarang menipis. Itu pun belum juga memenuhi selera.

Ah, tidak seperti yang dibayangkan ketika sauh bahtera mulai diangkat. Lambaian tangan, senyum, dan ucapan selamat mengiringi seakan-akan bahtera akan mulus berjalan.

Ya, bahtera itu adalah rumah tangga kita. Sepasang suami istri laksana nakhoda dan awak kapal, bahu-membahu demi selamatnya bahtera itu sampai ke gerbang pintu surga yang dijanjikan-Nya.

Penjelasan Mufradat Ayat

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita).

Ar-Rijal adalah bentuk jamak taksir bagi kata rajul. Adapun arrajul adalah laki-laki yang telah balig dari jenis manusia. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, ar-rajul bisa juga digunakan untuk laki-laki yang belum balig. Disebutkan dalam sebuah hadits, “ Berikanlah harta warisan kepada masing-masing yang berhak. Adapun yang tersisa dari warisan diperuntukkan bagi laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si mayit.” (HR. alBukhari dan Muslim) Makna hadits ini, tidak dipersyaratkan bahwa rajul harus sudah balig.

قَوَّٰمُونَ

Qawwamuna adalah bentuk jamak bagi kata qawwam. Adapun qawwam adalah bentuk mubalaghah (klimaks) dari qaim (penegak). Dengan demikian, qawwamuna dalam ayat ini bisa diartikan sebagai pemimpin bagi kaum wanita dalam kondisi apa pun. Termasuk di dalamnya adalah kepemimpinan, kekuasaan, atau kewenangan memutuskan suatu perkara.

AnNisa’ adalah bentuk jamak bagi niswah atau mar’ah. Artinya adalah kaum wanita secara umum.

بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ

… karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada sebagian (pria) atas sebagian yang lain (wanita).

Di antara kelebihan yang diberikan Allah kepada kaum pria adalah kekuatan fisik dan batin. Oleh karena itu, akan Anda dapati bahwa secara umum, laki-laki memiliki kekuatan fisik yang melebihi kekuatan fisik kaum perempuan. Adapun contoh kekuatan batin pria adalah kekuatan sikap, kesabaran, kecerdasan, keberanian, dan lain-lain. Tentu saja kelebihan yang dimaksud adalah kelebihan secara global. Tidak termasuk dalam bahasan ini segala bentuk kelebihan yang hanya dimiliki sebagian wanita atas pria.

وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

… dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Yang menafkahi kaum wanita adalah kaum pria. Kaum pria bekerja mencari nafkah untuk diberikan kepada istri-istrinya meskipun istrinya wanita kaya dan memiliki harta sendiri. Ayah mencarikan nafkah dan memberikannya kepada keluarga yang ditanggungnya. Pantaslah kaum pria menjadi pemimpin kaum wanita karena kelebihan yang mereka miliki dalam hal fisik, akal, pemikiran, dan nafkah yang mereka usahakan.

فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ

“Maka dari itu, wanita yang salihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memeliharanya.”

Wanita salihah bukanlah wanita yang fasidah (rusak). Makna salihah adalah wanita yang memenuhi hak Allah dan hak suaminya. Wanita yang qanitah adalah yang istiqamah di atas sifat yang salihah. Adapun makna hafizhatun lil ghaibi adalah wanita yang menjaga dirinya dan harta suaminya ketika sang suami tidak berada di sisinya.

وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur, kemudian pukullah mereka. Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

An-Nusyuz adalah pembangkangan istri kepada suami. Istri tidak menunaikan hak-hak suami, atau menunaikannya tetapi dengan penuh rasa benci, bosan, atau dengan cara yang tidak menyenangkan.

Untuk mengatasinya, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga tahapan yang bisa ditempuh. Ketiga tahapan tersebut diawali dengan pemberian nasihat, disusul dengan hajr, kemudian pemukulan. Sebenarnya, masih ada tahapan yang keempat, dan itu merupakan jalan yang terakhir, yaitu talak.

Makna dan Faedah Ayat

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-ayat al-Qur’an dari sisi-Nya yang Mahatinggi di atas langit sana. Ayat-ayat tersebut turun ke muka bumi, terdengar oleh telinga, dibaca oleh lisan, dan menghunjam dalam dada manusia. Sebagian ayat diturunkan dengan lafadz yang terperinci, dan sebagian lagi dengan lafadz yang global lalu dijelaskan secara terperinci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Ayat yang bersama kita saat ini merupakan salah satu bekal dalam menempuh kehidupan berumah tangga. Di dalamnya terkandung pesan dan wejangan yang sakral. Tidak ada seorang pun yang pantas meremehkannya. Singkat lafadznya, tetapi sangat dalam maknanya. Bahkan, Allah menutupnya dengan menyebut nama-Nya yang indah lagi tinggi, “Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

Pria adalah Pemimpin bagi Wanita

Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita.” Demikian arti penggalan pertama ayat ini. Terkandung di dalamnya penunjukan dan penegasan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita.

Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Hakim, Dzat yang Mahabijaksana. Dengan keadilan-Nya, Allah yang Mahatinggi telah membagi manusia menjadi dua jenis yang berbeda: laki-laki dan perempuan. Salah satu dari keduanya diberi-Nya kelebihan atas yang lain. Indah sekali ketika keduanya saling mengisi dan saling menenteramkan. Allah menjadikan keduanya bisa berpasangan sehingga masing-masing membawa hati pasangan yang dicintainya. Sungguh Mahaadil Engkau, ya Allah.

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri (pria dan wanita), agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir. (arRum: 21)

Bukan tanpa sebab Allah subhanahu wa ta’ala memisahkan manusia menjadi dua jenis yang berbeda. Masing-masing memiliki kelebihan atas lawan jenisnya. Secara khusus, kaum prialah yang dipilih oleh Allah menjadi pemimpin atas kaum wanita. Sebab, kaum pria memiliki kelebihan, baik dalam hal fisik maupun mental. Kaum pria memiliki kekuatan dari segi raga, kebebasan, daya pikir, kesabaran, dan jiwa. Dengan kelebihan itu, pria mampu memikul beban yang disandangnya, yaitu menjadi pemimpin.

Tidak hanya itu, Allah subhanahu wa ta’ala masih menambah penjelasan dalam ayat ini. “Dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Ya, dengan tanggung jawab yang dipikulnya beserta kecintaan dan kasih sayang yang melekat dalam kalbunya, seorang pria akan berusaha keras menafkahi keluarga yang dirindukannya. Di sanalah hati seorang pria berlabuh, tenteram terselimuti kasih dan sayang.

Ciri-ciri Istri Salihah

“Dunia adalah perhiasan, dan perhiasan dunia yang terbaik adalah istri salihah.(HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu)

Hadits di atas semakna dengan penggalan ayat yang artinya “Maka dari itu, wanita yang salihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memeliharanya”.

Dengan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ini, semakin lengkaplah makna wanita salihah dalam ayat di atas. Abu Hurairah menuturkan, “Suatu saat, sebuah pertanyaan diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, ‘Seperti apakah istri yang baik itu?’ Beliau menjawab, Istri yang baik adalah yang menyenangkan suami ketika dipandang, menaatinya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya terkait dengan dirinya atau harta benda, dengan sesuatu yang dibenci suami’.” (HR. anNasa’i no. 3131, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih anNasa’i)

Asy-Syaikh al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan, “Wanita mukminah akan memotivasi suaminya untuk meningkatkan imannya dan menjaga agamanya. Misalnya, ia ingatkan suaminya untuk menunaikan shalat, puasa, dan bermacam-macam ibadah lainnya. Di samping itu, ia mencegah suaminya dari perzinaan dan segala hal yang haram.” (Tuhfatul Ahwadzi 8/390)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Alu Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna wanita salihah dalam surat an-Nisa’ ayat 34 adalah wanita yang taat kepada Allah. Adapun makna wanita yang memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada adalah istri yang taat kepada suaminya. Jadi, tanpa kehadiran suami pun istri tetap bisa menjaga diri dan hartanya. Itu semua karena penjagaan Allah dan taufik-Nya kepadanya, bukan semata-mata karena kemampuan pribadi si istri dalam menjaga. Sebab, jiwa seseorang itu cenderung mengajak kepada keburukan. Akan tetapi, ketika seseorang bertawakal kepada Allah, Allah akan memberinya kecukupan, baik dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (Tafsir asSa’di)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Istri salihah menjadi sahabat hidup suaminya yang saleh dalam mengarungi tahun-tahun yang panjang. Dialah perhiasan yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, Dunia adalah perhiasan, dan perhiasan dunia yang terbaik adalah wanita salihah. ‘Ketika kaupandang, ia membuatmu bahagia. Ketika kauperintah, ia menaatimu. Ketika engkau tiada di sisinya, ia berjuang keras menjaga diri dan harta yang bersamanya.’

Dia pula wanita yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sabdanya ketika sebagian Muhajirin bertanya, ‘Harta apa yang harus kami bawa?’ Beliau menjawab, ‘Lisan yang senantiasa berzikir, hati yang senantiasa bersyukur, dan istri salihah yang akan membantu menjaga keimanan kalian.’

Di dalam jiwa suami yang salih dan istri yang salihah terpatri rasa kasih dan sayang, sebagai anugerah dari Allah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Kitabullah. Oleh karena itulah, rasa sakit nan perih datang menghampiri ketika mereka ‘berpisah’, seakan-akan melebihi rasa sakit ketika ajal menjemput. Hati serasa tersayat, pedih, melebihi kepedihan ketika kehilangan harta benda atau kepergian dari negeri tercinta. Lebih-lebih ketika rasa cinta telah kuat melekat dalam sanubari keduanya. Atau karena kehadiran buah hati di tengah mereka, entah bagaimana nasibnya apabila keduanya harus ‘berpisah’.” (Majmu’ al-Fatawa 35/299)

Nusyuz Seorang Istri

“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur, kemudian pukullah mereka. Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Nusyuz adalah pembangkangan istri kepada suaminya dalam bentuk tidak mengindahkan hak-hak suami, atau menunaikan hak-hak suami tetapi dengan kebencian, bermalas-malasan, dan kebosanan. Dia tidak menunaikannya sebaik mungkin, tidak pula menjaganya. (Tafsir an-Nisa’, asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin)

Nusyuz adalah penyakit berbahaya yang harus segera diobati. Obatnya telah diresepkan oleh Allah dalam tiga tahapan yang harus ditempuh.

Tahapan pertama, menasihatinya.

Tahapan kedua, menghajrnya.

Tahapan ketiga, memukulnya.

Sebenarnya, masih ada tahapan yang keempat, yaitu menceraikannya. Anehnya, sebagian orang langsung menerapkan tahapan yang keempat tanpa mengindahkan tiga tahapan sebelumnya.

Wahai suami, jalinlah komunikasi yang baik dengan istri. Jangan malas mengingatkannya. Nasihatilah dia dengan wejangan yang akan melunakkan hatinya. Anda bisa mengingatkannya akan hak-hak suami beserta ganjaran yang pasti diraihnya dengan amalan istimewa tersebut. Sampaikan kepadanya ancaman Allah bagi istri yang membangkang kepada suami. Bisikkan kepadanya kalimat-kalimat yang indah, “Sayang, aku mencintaimu karena Allah. Jika engkau bisa memperbaiki diri dengan kembali menunaikan kewajibanmu, tentu akan berlipat rasa cinta dan sayangku kepadamu. Aku akan berusaha membalas kebaikanmu, melebihi yang kaulakukan kepadaku, insya Allah.” Jika ia bisa menerimanya, itulah yang diharapkan. Namun, apabila ia masih membangkang, tempuhlah tahapan kedua.

Istri tidak mau mengindahkan nasihat Anda? Hajr, itulah tahapan selanjutnya yang layak Anda tempuh. Jangan tidur seranjang dengannya. Bahkan, tidak mengapa Anda tidur tidak sekamar dengan dirinya. Mudah-mudahan hal itu bisa menyesakkan dadanya. Mudah-mudahan pula hal itu menjadi pelajaran berharga sehingga ia kembali seperti sediakala bersama Anda, menaati Anda. Namun, apabila ia masih membangkang juga, tempuhlah tahapan ketiga.

Setelah hajr tidak juga berpengaruh, tidak bisa mengingatkannya untuk menjaga iman dan takwa dengan cara menaati suaminya, Allah mengizinkan suami melakukan tahapan ketiga. Tahapan ketiga adalah memukulnya. Ini salah satu faedah kepemimpinan pria atas wanita sebagaimana disebutkan di awal ayat ini.

Memukul istri? Bagaimana caranya? Caranya telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Pukullah ia dengan pukulan yang tidak menyakiti.” (HR. Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik, bukan untuk menyakiti atau menyiksanya. Oleh karena itu, suami harus benar-benar berhati-hati ketika memukulnya. Jangan memukul bagian wajah karena hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Jika istri telah kembali menaati Allah dan menaati suami, ingatlah bahwa Allah berfirman (artinya), “Jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” Tinggalkan lembaran lama; buka lembaran baru. Sayangi dia sebagaimana dia telah berusaha menyayangi Anda.

Pandanglah kehidupan ini jauh ke depan dengan pandangan orang yang bertakwa. Masih ada kehidupan setelah kematian. Semoga Allah menyelamatkan Anda beserta istri Anda dari siksa api neraka, kemudian kalian berdua hidup berdampingan di surga yang abadi. Indah, penuh kedamaian yang tidak ternilai. Akhir kisah yang memaksa air mata menetes karena haru dan bahagia….

“Sayang, aku sangat mencintaimu karena Allah. Bersabarlah menempuh hidup yang tidak lama lagi ‘kan berakhir. Aku ingin menjadi kekasih hidupmu di kehidupan ini, dan nanti bersanding berdua di atas dipan surga. Sayang, jangan tinggalkan aku karena nusyuzmu. Namun, tinggalkanlah nusyuz demi kebersamaan kita berdua, di bawah cinta ilahi. Sayang, tersenyumlah untukku. Gapailah tanganku. Mari kita berdua sujud kepada Allah. Semoga Allah selalu menyayangimu.”

Wallahu a’lam bish shawab.

(Disarikan dari Tafsir asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dengan perubahan)

Sumber Tulisan:
Keistimewaaan Wanita