Manusia adalah salah satu jenis makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang hidup bermasyarakat di muka bumi ini. Makhluk Allah subhanahu wa ta’ala amatlah banyak dan beragam. Ada yang tampak, ada yang tidak tampak; ada yang besar, ada yang kecil; ada yang bermanfaat, ada yang berbahaya; ada yang menjadi teman, ada yang menjadi musuh. Disukai atau tidak, semua ini diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai hikmah bagi makhluk-Nya.
Manusia memiliki musuh, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitarnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan mengalir dalam pembuluh darah anak Adam.” (HR. Muslim no. 2173)
Oleh karena itu, setiap hari manusia berada di medan peperangan, melawan musuh dalam dirinya. Hanya ada dua kemungkinan: menang atau kalah.
Ketika dia marah, pembuluh darahnya melebar sehingga setan pun leluasa menguasainya. Tatkala dia lalai dari dzikrullah, setan pun menguasainya, begitu pula sebaliknya.
Musuh manusia dari lingkungan sekitarnya lebih beragam. Musuh ini bisa berupa benda mati, hewan, kegelapan malam, bangsa jin[1], dsb. Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya n telah mengajarkan kepada hamba-Nya cara membentengi diri dan melawan musuh-musuh tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۖ
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushshilat: 36)
Salah satu cara membentengi diri adalah membaca surat al-Falaq dan an-Nas. Kedua surat ini dikenal dengan sebutan al-Mu’awwidzatain (dua pelindung) karena diamalkan untuk berlindung dan membentengi diri.
Keutamaan al-Falaq dan an-Nas
Di antara keutamaan-keutamaannya adalah sebagai berikut.
أَلَمْ تَرَ آيَاتٍ أُنْزِلَتْ هَذِهِ اللَّيْلَةَ، لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ : قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ و قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ
“Tidakkah kamu melihat ayat-ayat yang diturunkan pada malam ini? Tidak ada yang semisal dengannya sama sekali. Ayat-ayat tersebut adalah surat Qul a’udzu birabbil falaq dan Qul a’udzu birabbin nas.”
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam beristi’adzah dari penyakit ‘ain, baik dari bangsa jin maupun manusia.
Surat al-Falaq
Surat ini termasuk surat pendek yang selayaknya dihafal seperti surat al-Ikhlas yang telah kita bahas sebelumnya. Surat al-Falaq terdiri atas lima ayat.
Jenis dan sebab turunnya
Ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang jenisnya.
Pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang pertama.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa sebab turunnya surat ini adalah tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam disihir oleh Labid bin al-A’sham. Labid meletakkan ikatan sihir—terdiri atas sebelas ikatan yang tersusun dari gigi sisir dan rambut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam—di bawah sumur Bani Zuraiq. Tatkala ayat demi ayat dari al-Mu’awwidzatain yang seluruhnya berjumlah sebelas ayat dibacakan, terlepaslah sebelas ikatan sihir tersebut.
Al-Muwahhidi berkata, “Tidak didapati dalam kitab keterangan tentang shahihnya peristiwa ini sebagai sebab turunnya surat tersebut.”—walaupun hadits tersebut adalah hadits yang shahih.
Sebagian ahli tafsir juga berpendapat bahwa sebab turunnya surat tersebut adalah kesedihan kaum Quraisy karena tersebarnya berita bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam terkena penyakit ‘ain. Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Mu’awwidzatain untuk melindungi mereka. Akan tetapi, riwayat ini tidak disebutkan dengan sanadnya. Wallahu a’lam.
Tafsir ayat
Surat ini dimulai dengan kata perintah untuk menunjukkan bahwa kalimat yang akan disebutkan setelahnya adalah urusan yang penting (sebagaimana tafsir yang telah lalu tentang surat al-Ikhlas).
Lafadz عَاذَ menunjukkan makna perlindungan, pembentengan diri, dan keselamatan. Hakikat maknanya adalah lari dari sesuatu yang membuat takut, menuju Dzat yang bisa melindunginya. (Bada’i at-Tafsir 5/376)
Dalam surat al-Falaq terdapat isti’adzah (permohonan perlindungan) dari empat hal:
(Bada’i at-Tafsir 5/382)
Maknanya menurut pendapat ulama tafsir:
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ibnu Jarir mengatakan, ‘Yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu falaq ash-shubuh. Inilah yang benar dan yang dipilih oleh al-Imam al-Bukhari’.”
Asy-syarr (kejelekan) adalah lawan kebaikan. (Mukhtar ash-Shihah)
Kejelekan yang menimpa hamba tidak lepas dari dua hal berikut.
Ada tiga pendapat tentang makna مَا خَلَقَ:
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna al-ghasiq.
Dari ‘Aisyah , dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memegang tanganku dan memperlihatkan kepadaku bulan ketika terbit. Beliau bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari kejelekan awal masuknya malam’.”(HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 268)
Ibnu Qutaibah berkata, “Al-Ghasiq adalah menghitamnya bulan tatkala gerhana.”
Makna ini diambil dari hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh ath-Thabari. Akan tetapi, hadits tersebut dha’if (lemah).
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Mujahid, al-Qurthubi, al-Farra’, Abu ‘Ubaid, Ibnu Qutaibah, dan az-Zajjaj.
Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.
Az-Zuhri berkata, “(مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) adalah matahari tatkala terbenam.”
Disebutkan dalam hadits, “Jika matahari terbenam, setan akan menyebar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, kejelekan tukang sihir yang meniup pada tiap ikatan sihir. An-Nafats adalah keluarnya embusan hawa dari mulut tanpa disertai ludah. Disebutkan dalam hadits,
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang siapa membuat ikatan dan meniup padanya, berarti dia telah berbuat sihir; barang siapa berbuat sihir, dia telah berbuat syirik. Barang siapa menggantungkan sesuatu, dia diserahkan kepada sesuatu itu (tidak akan ditolong oleh Allah).” (HR. an-Nasa’i dari Abu Hurairah; dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dha’iful Jami’ no. 5702)
Kebanyakan tukang sihir adalah wanita disebabkan lemahnya keimanan mayoritas kaum Hawa.
Hasad adalah mengangankan hilangnya nikmat (kebaikan) dari orang yang didengki. Hasad adalah perbuatan tercela, bahkan dosa. Berbeda halnya dengan angan-angan untuk menjadi seperti orang yang dikehendakinya tanpa menginginkan hilangnya nikmat (kebaikan) dari orang tersebut. Yang kedua ini disebut ghibthah, bukan dosa atau perbuatan tercela.
Awal perbuatan maksiat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala yang terjadi di langit adalah hasad Iblis kepada Adam, sedangkan yang terjadi di bumi adalah hasad Qabil kepada Habil.
Nabi Yusuf q dijerumuskan oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur karena hasad (kedengkian) mereka. Begitu pula orang-orang Yahudi, mereka melakukan sihir karena hasad terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Yang lebih jelek adalah apabila seorang muslim tega berbuat hasad terhadap saudaranya seislam dan seiman. Na’udzubillahi min dzalik.
Berikut ini sepuluh di antara sekian banyak cara menangkal kejelekan orang yang hasad (dengki).
Inilah maksud pembahasan surat ini.
Di antara makna takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman,
وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيًۡٔاۗ
“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudaratan bagi kalian.” (Ali ‘Imran: 120)
Disebutkan oleh para ulama bahwa syarat tawakal ada tiga: berikhtiar (menjalani sebab), bersandar (bertawakal) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Orang yang tidak mau berikhtiar tidak bisa disebut orang yang bertawakal. Barang siapa bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya. Tawakal adalah sebab terkuat untuk menangkal gangguan makhluk dan kezaliman musuh yang tidak mampu dilawan oleh hamba-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ
“Apa saja musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (asy-Syura: 30)
Perbuatan ini bisa menangkal musibah, penyakit ‘ain, dan hasad (kedengkian). Hal ini dibuktikan oleh kenyataan yang terjadi pada umat yang terdahulu dan yang setelahnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٞ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٞ ٣٤
“Tidaklah sama kebaikan dan kejelekan. Tolaklah (kejelekan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)
10 .Ini adalah sebab inti yang semua sebab kembali padanya, yaitu pemurnian tauhid.
Dengan pemurnian tauhid, akan keluar dari hatinya rasa takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
(Bada’i at-Tafsir 5/425—433)
Pelajaran dari ayat-ayat dalam surat al-Falaq
(Aisarut Tafasir 5/631)
Faedah
Akidah manusia mengenai jin dan setan berbeda-beda.
Dua pendapat di atas adalah pendapat yang menyimpang.
[1] Perbedan jin dan setan adalah dari sisi keumuman dan kekhususan. Jin adalah umum; ada yang saleh dan ada yang thalih (lawan kata saleh). Adapun setan lebih khusus; dia jin yang thalih. Iblis la’natullah ‘alaih (laknat Allah atasnya) adalah bapak para setan.