Qonitah
Qonitah

keagungan dan rahasia al-fatihah

11 tahun yang lalu
baca 11 menit
Keagungan Dan Rahasia Al-Fatihah

Keagungan Dan Rahasia Al-Fatihah
Oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Dani

Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah. Di antara tanda kelemahannya; manusia diciptakan dalam keadaan jahil, memiliki hati yang mudah goyah dan liar, serta butuh ditolong dan dilindungi. Oleh karena itu, Allah menjadikan zikir (mengingat Allah) sebagai penenang jiwa mereka. Allah berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenang.” (ar-Ra’d: 28)
Al-Qur’an termasuk dzikrullah, bahkan termasuk zikir yang pokok.
Di antara zikir yang akan kami bahas adalah surat yang harus dihafal dan dibaca pada setiap rakaat shalat, serta seyogianya dipahami maknanya, yaitu surat al-Fatihah.

Nama-nama Al-Fatihah
a.    Fatihatul Kitab
Dinamakan demikian karena al-Fatihah menjadi pembuka bacaan dalam shalat dan pembuka susunan mushaf al-Qur’an secara tertulis.
b.    Ummul Qur’an
Dinamakan demikian karena al-Fatihah lebih didahulukan dari semua surat dalam al-Qur’an. Semua surat selain al-Fatihah diakhirkan, baik tulisan maupun bacaannya. Definisi ini menyerupai nama yang pertama.
c.    Ummul Kitab
Menurut mayoritas ulama, penamaan ini berasal dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Adapun al-Hasan dan Ibnu Sirin menyangkal penamaannya dengan Ummul Kitab, karena menurut mereka Ummul Kitab adalah al-Lauhul Mahfuzh.
Akan tetapi, penamaan ini disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam), (suratnya adalah) Ummul Qur’an, Ummul Kitab, as-Sab’u al-Matsani, dan al-Qur’anul ‘Azhim.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah a)
Dinamakan Ummul Kitab karena surat ini adalah induk kitab dan didahulukan dari surat-surat yang lain.
d.    As-Sab’u al-Matsani
Dinamakan as-Sab’u karena al-Fatihah ada tujuh ayat. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli qiraat dan ulama dalam masalah ini. Akan tetapi, yang diperselisihkan adalah masalah ayat-ayat yang menyusunnya. Ada yang berpendapat bahwa al-Fatihah ada tujuh ayat, termasuk ayat Bismillahirrahmanirrahim.
Al-Fatihah dinamakan al-Matsani karena bacaannya diulang-ulang dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. (Tafsir ath-Thabari 1/105)

Jenis Surat al-Fatihah
Para ulama berbeda pendapat tentang jenis surat al-Fatihah:
a. Al-Fatihah adalah surat makkiyyah . Ini adalah riwayat Ali bin Abi Thalib, al-Hasan, Abul ‘Aliyah, Qatadah, dan Abu Maisarah.
b. Al-Fatihah adalah surat madaniyyah . Ini adalah riwayat Abu Hurairah, Mujahid, ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha al-Khurasani, dan Ibnu ‘Abbas.
Dan yang rajih dari kebanyakan riwayat dan pendapat para ulama’ bahwa al-Fatihah termasuk makkiyyah.
Keutamaan dan Keagungan al-Fatihah
Di antara keutamaan dan keagungannya adalah sebagai berikut.
1.    Sebagai obat
·    Obat untuk hati
Al-Qur’an secara umum adalah obat bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi obat (penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (al-Isra’: 82)
Kata مِنْ di sini tidak bermakna at-tab’idh (menunjukkan makna sebagian), tetapi al-jinsi. Artinya, al-Qur’an semuanya adalah obat.
Setelah mengetahui bahwa Allah menjadikan semua yang ada dalam al-Qur’an sebagai obat (penawar), kita perlu mengetahui pula bahwa Allah telah mengkhususkan beberapa surat dan ayat tertentu sebagai obat (penawar). Di antaranya adalah surat al-Fatihah.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (4/5—7) menyebutkan bahwa penyakit itu ada dua: penyakit kalbu dan penyakit badan. Kedua penyakit ini disebutkan dalam al-Qur’an.
Penyakit kalbu dibagi menjadi dua: penyakit syubhat (kerancuan berpikir) dan keraguan; serta penyakit syahwat (hawa nafsu) dan kesesatan.
Berikut ini beberapa faedah surat al-Fatihah untuk mengobati hati.
a.    Menjauhkan kita dari kesesatan dan kemurkaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin (1/52—55), “Dua penyakit yang membinasakan adalah kesesatan dan kemurkaan. Kesesatan mengakibatkan rusaknya ilmu, sedangkan kemurkaan mengakibatkan rusaknya niat.”
Para ulama menafsirkan, al-maghdhub ‘alaihim (mereka yang dimurkai) yang disebutkan dalam surat al-Fatihah adalah orang-orang Yahudi. Mereka berilmu, tetapi tidak mau beramal. Adapun adh-dhallin (mereka yang sesat) adalah orang-orang Nasrani. Mereka beramal tanpa ilmu. Oleh karena itu, setiap hamba-Nya diwajibkan berdoa meminta hidayah menuju jalan yang lurus setiap hari dalam setiap shalatnya.
b.     Mengikhlaskan ibadah karena Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zadul Ma’ad (4/178), “Secara umum, al-Fatihah mengandung makna pengikhlasan ibadah dan pujian kepada Allah, pengembalian segala urusan kepada-Nya, dan permintaan tolong serta tawakal hanya kepada-Nya.”
c.    Menangkal sifat riya dan sombong.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin, “Saya sering mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, إِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya kepada Engkaulah kami menyembah) akan menangkal riya, sedangkan وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) menangkal kesombongan. Jadi, obat bagi penyakit riya adalah إِيَّاكَ نَعْبُدُ, obat bagi penyakit sombong dan bangga diri adalah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , sedangkan obat bagi penyakit kesesatan dan kebodohan adalah اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ.”
·    Obat untuk badan
Banyak orang mengingkari bahwa al-Qur’an dan zikir-zikir yang disunnahkan bisa mengobati mereka. Mereka mengira bahwa hal ini menyerupai khurafat dan kebohongan. Mereka juga mengira bahwa penyakit hanya bisa disembuhkan dengan obat fisik.
Ibnul Qayyim rahimahullah membantah anggapan seperti ini dalam Madarijus Salikin (1/55), “Adapun kandungan (ayat)nya sebagai obat, akan kita sebutkan sebagaimana yang datang dalam as-Sunnah, dibuktikan oleh kaidah kedokteran, dan sesuai dengan pengalaman.
Telah disebutkan dalam as-Sunnah dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abu al-Mutawakkil an-Naji, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa beberapa sahabat Nabi n melewati sebuah kampung badui. Warga kampung itu tidak mau menjamu mereka. Lalu, pemimpin kampung itu tersengat kalajengking, maka mereka menemui para sahabat tersebut dan berkata, ‘Apakah di antara kalian ada juru ruqyah?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya, ada, tetapi mengapa kalian tidak menerima kami sebagai tamu? Kami tidak akan meruqyah sampai kalian memberi kami upah.’ Para sahabat berbuat demikian karena akhlak warga kampung yang kikir tidak mau menjamu tamu, sedangkan hukum menjamu tamu adalah wajib dan berdosa bagi orang yang melalaikannya. Warga kampung itu pun memberikan kambing. Kemudian, salah satu dari kami meruqyah sang pemimpin dengan surat al-Fatihah. Dia pun bisa berdiri kembali seolah-olah tidak mengalami sakit’.”
2.    Allah menjawab langsung bacaan al-Fatihah para hamba-Nya
Dalam hadits qudsi disebutkan,
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي …. (الْحَدِيثَ)
(Allah berfirman), “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Jika si hamba berkata, ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Jika dia berkata, ‘Arrahmanirrahim’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku berulang memuji-Ku.’ Jika dia berkata, ‘Maliki yaumid din’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuliakan-Ku’, ….” (Shahih Muslim [1/296] “Kitabush Shalat”, Bab “Wujub qira’at al-fatihah fi kulli rak’ah”)
Setelah memahami keutamaan ini, tahulah kita bahwa hal ini termasuk salah satu sebab untuk bisa merasakan kelezatan dalam shalat, seolah-olah kita sedang berdialog dan menyeru sang Pencipta.

3.    Al-Fatihah mengandung landasan asmaul husna
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarijus Salikin (1/82, 89). Misalnya, lafadz yang mengandung sifat uluhiyah adalah Allah, yang mengandung sifat rububiyah adalah Rabb, dan yang mengandung sifat kebaikan adalah ar-Rahman.

Tafsir Makna Ayat dalam al-Fatihah
1.     الْحَمْدُ لِلهِ
Maknanya, segala pujian senantiasa bagi Allah. Al-Hamd didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam al-Badai’ (1/317) sebagai pujian yang disertai pengetahuan tentang apa yang dipujinya.
Al-Hamd juga didefinisikan sebagai penyebutan kebaikan pihak yang dipuji disertai rasa cinta, pemuliaan, dan pengagungan.

2.    الرَّبُّ
Ar-Rabb artinya yang memiliki. Ada yang berpendapat bahwa kata ar-Rabb diambil dari kata at-tarbiyah (pemeliharaan).
Penamaan dengan rabb tidak boleh diberikan kepada makhluk melainkan dengan penyandaran, seperti rabbud dar (pemilik rumah).

3.    الْعَالَمِينَ
Al-‘alamin adalah bentuk jamak kata al-‘alam (alam). Segala sesuatu selain Allah adalah alam. Para ahli tafsir menyebutkan lima pendapat tentang makna al-‘alamin.
·    Semua makhluk, semua lapisan langit dan bumi, segala sesuatu yang ada di dalamnya dan di antara keduanya. Makna ini diriwayatkan oleh adh-Dhahhak dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
·    Semua yang memiliki ruh yang berjalan di atas muka bumi. Makna ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
·    Jin dan manusia. Makna ini diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga pendapat Mujahid dan Muqatil.
·    Jin, manusia, dan malaikat. Makna ini dinukilkan dari Ibnu ‘Abbas dan dipilih oleh Ibnu Qutaibah.
·    Para malaikat. Makna ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.

4.    الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ar-Rahman dan ar-Rahim adalah dua di antara nama-nama Allah yang indah. Kedua nama ini bermakna ar-rahmah (kasih sayang). Kedudukannya di sini adalah sebagai na’at (sifat) bagi lafdzul jalalah (الله). Adapun perbedaan kedua nama ini adalah sebagai berikut.
·    Ar-Rahman
1.    Salah satu nama yang khusus bagi Allah k, tidak boleh digunakan secara mutlak untuk yang selain-Nya. Ar-Rahman maknanya Dzat Yang memiliki rahmat yang luas.
2.    Menunjukkan sifat dzatiyah Allah)
3.    Allah merahmati segala sesuatu yang ada di daratan dan di lautan, termasuk orang kafir dan pelaku maksiat.
4.    Menunjukkan sifat kasih sayang Allah di dunia dan di akhirat.
·    Ar-Rahim
1.    Dinisbatkan kepada Allah dan yang selain-Nya. Maknanya adalah yang mempunyai rahmat yang bersambung atau sampai kepada hamba-Nya.
2.    Menunjukkan sifat fi’liyah (perbuatan sesuai dengan kehendak Allah).
3.    Allah merahmati orang-orang yang beriman saja.
4.    Menunjukkan sifat kasih sayang Allah di akhirat.

5.    مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya, Yang menguasai hari pembalasan.
Makna ad-din dalam ayat ini ada dua pendapat:
1.    Hari perhitungan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
2.    Hari pembalasan. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Makna kalimat رَبِّ الْعَالَمِينَ ialah Dialah penguasa/pemilik dunia, sedangkan makna مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ialah Dialah penguasa/pemilik akhirat.

6.    إِيَّاكَ نَعْبُدُ
Artinya, hanya kepada Engkaulah kami beribadah. Ada tiga pendapat tentang maksud ibadah pada ayat ini.
1.    Bermakna tauhid; diriwayatkan dari Ali dan Ibnu ‘Abbas.
2.    Bermakna ketaatan.
3.    Bermakna doa.

7.    وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya, hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

8.    اهْدِنَا
Artinya, tunjukilah kami.
Ada empat pendapat tentang makna ihdina:
1.    Kokohkanlah kami. Ini adalah pendapat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
2.    Tunjukilah kami.
3.    Berilah kami taufik.
4.    Berilah kami ilham.
Tiga pendapat terakhir diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

9.    الصِّرَاطَ
Artinya, jalan.
Ada empat pendapat tentang makna ash-shirath di sini:
1.    Kitab Allah. Makna ini diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.    Agama Islam. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan Abul ‘Aliyah.
3.    Jalan hidayah menuju agama Allah. Makna ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga pendapat Mujahid.
4.    Jalan surga. Makna ini dinukilkan dari Ibnu ‘Abbas.
Jika ada pertanyaan, “Apa makna permohonan petunjuk seorang muslim, padahal dia sudah mendapat petunjuk?”, kita jawab dengan tiga jawaban:
·    Tunjukilah kami agar senantiasa di atas shirath (jalan yang lurus). Ini pendapat Ibnul ‘Anbari.
·    Kokohkanlah kami di atas petunjuk.
·    Tambahkanlah kepada kami petunjuk.

10.    الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Artinya, orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Mereka adalah para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang saleh.”

11.     غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Artinya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Lihat pembahasan yang telah lalu.

Seputar Hukum yang Terkait dengan al-Fatihah
1.    Apa hukum bacaan آمِين (amin) setelah al-Fatihah?
Amin maknanya اللهم اسْتَجِبْ (Kabulkanlah, ya Allah).
Amin bukan bagian dari al-Fatihah. Akan tetapi, termasuk sunnah bagi yang mendengarkan menjawab “Amin” setelah al-Fatihah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  beliau bersabda, “Jika imam mengucapkan,
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
makmum yang di belakangnya mengucapkan, ‘Amin’….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2.    Apa hukum membaca al-Fatihah dalam shalat?
Kebanyakan ulama menukilkan pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa membaca al-Fatihah adalah syarat sahnya shalat; barang siapa meninggalkannya padahal mampu membacanya, shalatnya tidak sah. Ini juga pendapat al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, dan mayoritas ulama.
Disebutkan dalam hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)