Kalimat Thayyibah
(لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ)
Tidak Ada Sembahan yang Haq Selain Allah
Sesungguhnya, ketika Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia, Dia Maha Mengetahui bahwa manusia itu sering lupa. Allah subhanahu wa ta’ala juga menegaskan dalam firman-Nya,
أَلَا يَعۡلَمُ مَنۡ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ ١٤
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (al-Mulk: 14)
Bagaimana mungkin Dia, Yang telah menciptakan, mengokohkan, dan memperbagus keadaan manusia, tidak mengetahui apa yang telah diciptakan-Nya? Bagaimana mungkin Dia tidak menangkap semua rahasia yang tersembunyi?
Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah manusia agar berzikir, sehingga dia bisa kembali teringat akan sesuatu yang tadi dilalaikannya, seperti mengenal Allah dan mengingat nikmat, karunia, dan hak-hak-Nya.
Dalam edisi ini, dan seterusnya insya Allah, kita akan menelusuri beberapa maksud dan tujuan dari kalimat-kalimat zikir yang sering kita ucapkan setiap hari. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita untuk menerapkannya agar bertambah keimanan dan kecintaan serta kedekatan kita kepada-Nya.
Kita akan memulainya dengan kalimat tauhid:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Tidak ada sembahan yang haq selain Allah.”
Kalimat ini sangat sering kita ucapkan. Tidak sedikit orang yang mengajarkannya, bukan hanya kepada keluarga atau murid-muridnya, melainkan juga kepada burung (beo dan sejenisnya), sampai burung itu bisa mengucapkannya seperti manusia.
Akan tetapi, sering pula arti dan maksud kalimat ini terabaikan. Tidak sedikit orang yang meringkas zikir ini dengan satu huruf saja, yaitu hu hu (maksud mereka mungkin huwa huwa), khususnya mereka yang terjerumus dalam tarekat sufiyah.
Dalam beberapa edisi yang lalu, telah dijelaskan bahwa zikir dan doa termasuk ibadah, bahkan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, dua ibadah ini (zikir dan doa) adalah amalan yang sangat dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena keduanya adalah ibadah, sudah tentu tidak boleh dikerjakan kecuali dengan memenuhi dua syarat mutlak, yaitu ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Apabila salah satu dari dua syarat mutlak ini tidak ada, apalagi kedua-duanya, niscaya dua ibadah ini tidak akan diterima.
Akhirnya, siapa yang rugi? Sudah susah payah seseorang mengerjakan suatu amalan yang diketahuinya mempunyai keutamaan yang tinggi dan pahala yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, ternyata tidak diterima oleh Allah.
Mengapa? Karena pertama, dia tidak ikhlas karena Allah, tetapi ingin disebut-sebut sebagai ahli zikir dan ahli ibadah, supaya sering dipanggil untuk memimpin tahlilan, dihormati orang, mendapat jabatan, dan segala sesuatu yang bukan ridha Allah. Yang kedua, dia mengerjakannya tidak berdasarkan cara yang sesuai dengan ajaran atau contoh dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Misalnya, dia memenggal pengucapan kalimat ini, seperti mengucapkan penggalan pertama saja, لاَ إِلَهَ (tidak ada ilah), beberapa kali, lalu mengucapkan penggalan kedua, إِلاَّ اللهُ (kecuali Allah), kurang atau lebih banyak daripada penggalan pertama.
Contoh lain, dia hanya mengucapkan hu hu hu (huwa huwa huwa), atau dengan cara-cara yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat, seperti dengan cara berjamaah dalam satu suara (koor).
Mereka beralasan bahwa tahlil itu diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, memiliki keutamaan, bahkan termasuk kunci surga; lalu, mengapa tahlilan dilarang dan dikatakan bid’ah?
Tahlil itu sendiri tidak dilarang. Yang dilarang adalah mengerjakannya dengan cara-cara yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat. Itu saja. Apakah para tokoh yang mengajarkan cara-cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat itu lebih pintar daripada Rasulullah dan para sahabat; atau lebih alim daripada al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan al-Imam Abu Hanifah rahimahumullah?
Sebagai contoh, seseorang mengerjakan shalat sunnah subuh beberapa rakaat di depan Sa’id bin al-Musayyab. Dia ditegur, tetapi membantah, “Apakah saya akan diazab karena shalat?”
Jawaban al-Imam Sa’id bin al-Musayyab adalah jawaban yang tepat, “Kamu diazab bukan karena shalat, melainkan karena menyalahi sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.”
Ada pula orang yang bertanya kepada al-Imam Malik, di manakah dia mengerjakan ihram. Al-Imam Malik menasihatinya agar berihram dari miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Orang itu justru menanyakan, “Bagaimana kalau dari Masjid Nabawi?” Beliau pun menasihatinya agar tidak berbuat demikian.
Ancamannya jelas sekali, yaitu ditimpa fitnah atau azab yang sangat pedih. Silakan, mereka yang masih mengerjakan amalan apa pun yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat, memilih dua ketentuan yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Fitnah mana lagi yang lebih berbahaya daripada seseorang merasa bahwa apa yang dipilihnya untuk dirinya lebih baik daripada apa yang dipilihkan oleh Allah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam?
Sebagai contoh, orang yang menambahi bacaan shalawat dengan warham Muhammadan (rahmatilah Muhammad), padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan shalawat berdasarkan wahyu. Namun, orang tersebut menambah-nambahinya. Seolah-olah tambahan ini menunjukkan bahwa bacaan shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam itu kurang lengkap.
Kiaskan seperti itu pula bacaan zikir lainnya. Sebab, tambahan atau pengurangan dari sebagian saja dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak mungkin mendekatkan pelakunya kepada Allah subhanahu wa ta’ala; sebaliknya, membuatnya semakin jauh dan jauh.
Wallahul Muwaffiq.
Begitu sering kita mengucapkannya, tetapi sering pula melalaikan hakikatnya. Oleh sebab itu, mari kita mengulang pelajaran pertama kita, yaitu memahami arti kalimat yang agung ini. Semua itu sebagai upaya kita mengamalkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman,
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan yang haq melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Kalimat yang mulia ini terdiri atas nafyu (penafian, penolakan, pengingkaran) dan itsbat (pengakuan, penetapan, pemberlakuan, pemastian, pengukuhan, penegasan). Inilah dua rukun tauhid: nafyu dan itsbat.
Penafian semata menjerumuskan seseorang ke dalam ateisme, mengingkari adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Penisbatan semata tidak melepaskan seseorang dari sikap menyekutukan.
Jika kita mengatakan, “Fulanah adalah anak yang pintar”, tidak tertutup kemungkinan adanya anak lain yang juga pintar, bahkan lebih pintar daripada Fulanah.
Ketika kita mengatakan, “Tidak ada anak yang pintar”, berarti kita membuat pernyataan global atau umum, baik Fulanah maupun yang lain bukanlah anak yang pintar.
Seperti itu pula halnya ketika seseorang mengucapkan kalimat yang pertama saja, لاَ إِلَهَ (tidak ada ilah), beberapa kali. Berarti, sebanyak itu pula dia mengikrarkan tidak adanya ilah (sesuatu yang disembah) di jagad raya ini. Dengan kata lain, sebanyak itu pula dia membuat pengakuan atau pernyataan bahwa Allah itu tidak ada. Lantas, bagaimana kira-kira hukumnya?
Wallahul Musta’an.
Kemudian, kalau dia mengucapkan kalimat yang kedua, إِلاَّ اللهُ (kecuali Allah), kurang atau lebih banyak daripada yang pertama; atau menyebut lafzhul jalalah saja, اللهُ (Allah), ucapan ini tidak melepaskannya dari syirik.
Oleh sebab itulah, kalimat yang agung ini harus diucapkan dalam satu rangkaian utuh, tidak boleh dipisah-pisah atau diganti dengan lafadz lain, huwa huwa (Dia, Dia) misalnya. Sebab, amalan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat.
Sama halnya dengan kita mengungkapkan, “Tidak ada anak yang pintar kecuali Fulanah,” ini menunjukkan bahwa Fulanah adalah satu-satunya anak yang pintar.
Kemudian, apakah makna kalimat yang agung ini?
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada sembahan yang haq selain Allah) ini diartikan, sebagaimana yang tertera, berdasarkan i’rabnya (jabatan setiap kata dalam kalimat).[1]
Kenyataannya, di dalam al-Qur’an al-Karim disebutkan ada banyak ilah yang dipuja-puja oleh musyrikin, sejak zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam sampai masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Ilah-ilah itu bisa berupa pohon-pohon kayu, batu, bintang atau benda angkasa lainnya, orang-orang saleh, malaikat, bahkan jin dan setan. Akan tetapi, ilah-ilah tersebut adalah batil, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ ٣٠
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Luqman: 30)
Wallahu a’lam.
(Insya Allah, bersambung)
[1] Tentang hal ini, silakan merujuk buku-buku nahwu atau penjelasan ulama dalam kitab akidah. Wallahul Muwaffiq.