Qonitah
Qonitah

kala wanita bertakhta

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Kala Wanita Bertakhta

alam-wanita-15Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Seiring dengan pesatnya gerakan feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum Islam. Oleh kaum feminis, hukum Islam dipandang sebagai salah satu akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan.

Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Terbukalah peluang bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti-Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarki” adalah propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan muslimah.

Kaum muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah dikesankan sebagai perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan hijab di hadapan lelaki yang bukan mahram direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Akibatnya, kaum muslimah teropinikan tidak lebih dari (calon) ibu rumah tangga yang hanya tahu masalah dapur, sumur, dan kasur.

Menurut mereka, agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang publik yang seluas-luasnya untuk dapat bebas berkarya, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan cara apa pun seperti halnya kaum lelaki pada masa modern sekarang ini. Maka dari itu, tidak mengherankan jika kemudian tidak sedikit perempuan yang terjun ke kancah politik, ikut serta dalam parlemen, dan maju sebagai calon anggota legislatif, hingga mencalonkan diri sebagai kepala negara.

Sementara itu, di dalam al-Qur’an Allah telah menjelaskan kedudukan perempuan. Di antaranya adalah firman-Nya,

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (atTaubah: 71)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa lelaki dan perempuan saling menolong, terutama dalam sebuah rumah tangga. Mereka mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.

Allah juga berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡ‍َٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٣٢

“Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebagian kalian atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (anNisa: 32)

Kalau kita perhatikan, ayat ini pun cukup jelas memberikan gambaran bahwa tidak ada diskriminasi bagi perempuan. Tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum perempuan. Semuanya bergantung pada amalan masing-masing. Di samping mempunyai kewajiban, perempuan juga mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimana laki-laki.

Akan tetapi, dalam hal tertentu, kedudukan perempuan tidak harus sama persis dengan kedudukan laki-laki. Hal ini bukan karena perempuan kurang dihargai, melainkan karena kodrat perempuan yang menghendaki demikian. Kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah sifat hakikinya dan hukum syariat yang menetapkan demikian.

Sejak diciptakan, laki-laki sudah diberi kelebihan kekuatan dan kemampuan. Laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi (pencaharian). Oleh karena itu, laki-laki mampu berusaha, berinovasi, dan bebas bergerak. Adapun perempuan, sejak diciptakan diberi fitrah untuk mengandung, melahirkan, dan mendidik anak. Kalaupun perempuan menjalankan fungsinya seperti laki-laki, fitrahnya tetap menghalanginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (an-Nisa’: 34)

Para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya. Laki-laki memiliki kemampuan berpikir yang melahirkan keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara itu, perempuan lebih sensitif dan emosional.

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kewenangan kepada laki-laki untuk menjadi wali dalam akad nikah, tidak sama halnya dengan perempuan. Allah juga mewajibkan perempuan untuk taat kepada suaminya dan melarangnya berbuat durhaka dengan melampaui suami atau menolak perintahnya. Kemudian, Allah memberikan sepenuhnya hak memimpin, mengatur, dan mendidik kepada laki-laki.

Meskipun dalam ruang lingkup dan wilayah yang kecil, yaitu sebuah rumah tangga, Allah tidak memberikan hak memimpin kepada perempuan, tidak pula mewajibkannya. Laki-lakilah yang menjadi pemimpin. Jika dalam wilayah yang sekecil ini saja Allah melarang perempuan menjadi pemimpin, lebih-lebih lagi dalam wilayah yang lebih luas.

Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dan keunggulannya dalam banyak hal yang menyangkut kehidupan secara luas sudah sangat jelas dalam Islam. Maka dari itu, kaum perempuan yang maju mencalonkan diri sebagai pemimipin secara umum, dan sebagai wakil rakyat secara khusus, telah menyelisihi hukum syariat, memudarkan tujuan-tujuan syariat, menentang fitrah yang lurus yang ditetapkan oleh Allah, dan menghancurkan tatanan kehidupan islami.

Al-‘Izz bin ‘Abdissalam berkata, “Tidaklah etis jika kaum laki-laki yang sempurna agama dan akalnya dipimpin oleh kaum perempuan yang kurang akal dan agamanya. Sungguh hal itu akan melenyapkan kejantanan kaum laki-laki. Di samping itu, akan muncul kerusakan akibat kaum perempuan memimpin kaum laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah menyatakan dalam sabdanya, ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipimpin oleh perempuan’.” (Qawaid alAhkam fi Mashalih alAnam)

Jika kita tilik sejarah, ternyata kaum perempuan tidak pernah menjabat sebagai pemimpin di dalam Islam, baik pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam maupun pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, bahkan pada masa para raja dan penguasa setelah mereka. Kaum perempuan juga tidak pernah menghadiri majelis diskusi atau musyawarah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dengan para sahabat dari Muhajirin dan Anshar.

Begitulah keadaan kaum perempuan di dalam Islam dengan segenap upaya proteksi terhadap kemuliaannya. Lalu, apakah para perempuan kini hendak menghancurkan upaya proteksi itu dengan cara berkecimpung bersama kaum laki-laki dalam parlemen, atau ikut meramaikan pemilu dengan turun ke jalan-jalan sambil berteriak-teriak dan berikhtilath ria?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Mengangkat seorang perempuan dan memilihnya menjadi pemimpin bagi kaum muslimin adalah tidak diperbolehkan. Dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama) telah mendukung hal ini.

Dalil dari al-Qur’an, Allah berfirman, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).’ (an-Nisa’: 34)

Ayat ini bersifat umum, mencakup kepemimpinan laki-laki di tengah keluarganya dan, tentu saja, kepemimpinan yang lebih luas. Bahkan, dalam ayat disebutkan sebab yang menguatkan hal ini, yaitu kelebihan akal dan pemikiran dan selain keduanya yang harus ada dalam kepemimpinan.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ketika beliau mengetahui bahwa yang menjadi pemimpin Persia adalah putri kisra (gelar raja Persia dahulu). Beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipimpin oleh perempuan.’ (HR. al-Bukhari)

Tidak diragukan bahwa hadits ini menunjukkan haramnya perempuan menjadi pemimpin yang bersifat umum (pemimpin negara), demikian pula menjadi pemimpin di suatu daerah. Rasulullah telah menafikan keberuntungan dari siapa pun yang dipimpin oleh seorang perempuan.

Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin dan tiga generasi terbaik umat ini, umat telah sepakat untuk tidak menyerahkan kepemimpinan dan kehakiman kepada perempuan. Tidak dimungkiri bahwa di antara kaum perempuan ada yang mempunyai kelebihan dalam ilmu-ilmu agama dan menjadi rujukan dalam ilmu al-Qur’anul Karim, hadits, dan hukum. Akan tetapi, tidak satu pun perempuan pada masa itu yang mencalonkan dirinya menjadi pemimpin.

Kemudian, hukum-hukum syariat secara umum akan bertentangan dengan perempuan ketika ia menjabat sebagai pemimpin. Sebab, pemimpin harus selalu memantau keadaan rakyatnya dan mengurusi segala hal yang harus segera diperbaiki. Oleh karena itu, dia dituntut untuk melakukan perjalanan ke berbagai wilayah dan berinteraksi dengan banyak pihak, baik secara individu maupun komunal.

Terkadang, pemimpin perlu memimpin pasukan perang dalam jihad, memimpin perlawanan menghadapi musuh, dan menjalankan perjanjian. Terkadang pula pemimpin perlu menetapkan baiat kepada umat, baik secara individu maupun komunal, umat yang laki-laki maupun yang perempuan, dalam keadaan damai maupun dalam situasi perang. Masih banyak urusan lain yang tidak relevan dengan keadaan perempuan dan yang terkait dengannya, yaitu hukum-hukum yang ditetapkan untuk menjaga kehormatannya.

Selain itu, akal sehat menuntut untuk tidak menyerahkan kepemimpinan kepada perempuan. Sebab, siapa pun yang menjadi pemimpin harus memiliki kesempurnaan akal, kecerdasan, kekuatan tekad, dan kecakapan dalam mengatur. Semua kriteria ini sangat bertolak belakang dengan kepribadian perempuan. Perempuan itu kurang akal dan lemah pikiran, tetapi kuat perasaannya. Maka dari itu, memberinya jabatan pemimpin tidak akan sejalan dengan keinginan kaum muslimin yang menghendaki kekokohan dan kemuliaan. Semoga Allah memberi kita taufik.” (Majalah al-Mujtama’ no 890).

Wallahu a’lam.

Sumber Tulisan:
Kala Wanita Bertakhta