KEHARUSAN BERBAIK SANGKA KEPADA SESAMA MUKMIN
Saudariku, para pembaca, rahimakumullah. Senantiasa mencari-cari kesalahan sesama mukmin, mencari aib, melakukan ghibah, dan semisalnya adalah sebuah rangkaian perbuatan yang diakibatkan oleh salah satu akhlak tercela, yaitu berburuk sangka kepada sesama mukmin. Bisa dikatakan bahwa pada dasarnya, buruk sangka kepada sesama mukmin merupakan bentuk vonis kejelekan kepada saudaranya tanpa didasari ilmu. Mengapa demikian? Karena orang yang melakukannya berarti telah menjatuhkan anggapan negatif kepada sesama mukmin.
Agama telah memberikan bimbingan kepada umatnya untuk senantiasa berbaik sangka kepada sesama muslim. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan hal ini di dalam firman-Nya,
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١ لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ ١٢ لَّوۡلَا جَآءُو عَلَيۡهِ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَۚ فَإِذۡ لَمۡ يَأۡتُواْ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُوْلَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ ١٣
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian; sebaliknya, ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Barang siapa di antara mereka mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar. Mengapa pada waktu kalian mendengar berita dusta itu, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita dusta yang nyata?’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, mereka itulah di sisi Allah orang- orang yang dusta.” (an-Nur: 11—13)
Ayat ini turun berkaitan dengan kisah al-Ifk (tuduhan dusta kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) yang telah masyhur dan autentik riwayatnya, sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sisi pendalilan pada ayat di atas adalah Allah subhanahu wa ta’ala membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka mendengar berita dusta, hendaknya melakukan apa yang diperintahkan-Nya di dalam firman-Nya,
لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ ١٢
“Mengapa pada waktu kalian mendengar berita dusta itu, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita dusta yang nyata’?” (an-Nur: 12)
Maksudnya, kaum mukminin saling berbaik sangka, sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Mereka berbaik sangka bahwa saudara mereka selamat dari tuduhan tersebut. Keimanan yang melekat pada diri mereka menolak berita dusta yang disebutkan tentang saudara tersebut.
Ketika mendengar berita dusta mengenai saudara sesama mukmin, seorang mukmin wajib berbaik sangka kepadanya, menyatakan dengan lisannya akan bebasnya saudaranya itu dari berita dusta tersebut, dan mendustakan si pembawa berita dusta.
Allah subhanahu wa ta’ala melarang kebanyakan prasangka buruk terhadap orang-orang yang beriman. Misalnya, prasangka yang sama sekali tidak menunjukkan kebenaran, dan prasangka buruk yang berkaitan dengan kebanyakan ucapan dan perbuatan yang haram. Adanya prasangka buruk di dalam hati seseorang tidak membuatnya merasa cukup dengan berprasangka. Akan tetapi, prasangka itu selalu ada sehingga dia pun mengucapkan atau melakukan sesuatu yang tidak pantas.
Prasangka buruk, kebencian, dan permusuhan kepada sesama muslim adalah hal yang diperintahkan untuk diselisihi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah salah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)
Seorang Mukmin adalah Cermin bagi Mukmin yang Lain
Tidaklah pantas seorang mukmin atau mukminah memiliki akhlak suka berburuk sangka kepada mukmin atau mukminah yang lain. Sebaliknya, yang harus dikedepankan adalah akhlak berbaik sangka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menggambarkan kepada kita bahwa seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيهِ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, dan seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Ia mencegah agar saudaranya sesama mukmin tidak telantar, dan ia menopangnya dari belakang.”
Maknanya, jadilah cermin bagi saudara kalian. Jika kalian melihat kebaikan pada dirinya, itu adalah kebaikan untuk kalian karena kalian akan mencontohnya. Sebaliknya, jika kalian melihat selain kebaikan pada dirinya, ini tanggung jawab kalian juga. Kalian wajib menjauhkan dan mencegahnya dari kejelekan.
Setiap mukmin dan mukminah juga harus memiliki kepedulian kepada mukmin yang lain, agar mereka tidak telantar dan tidak binasa. Mereka juga harus menjadikan saudara sesama mukmin tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka, membelanya, dan memenuhi kemaslahatan-kemaslahatannya. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Permisalan kaum mukminin di dalam sikap saling menyayangi, saling merahmati, dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu jasad; jika ada sebagian anggota badan yang mengeluh sakit, seluruh badan ikut merasakannya dengan tidak tidur malam dan mengalami demam.”
Demikianlah ukhuwah yang didasari keimanan. Bersangka pun harus didasari keimanan. Lalu, bagaimana kita harus bersangka kepada saudara sesama mukmin? Jawabnya, dengan dasar ukhuwah imaniah tersebut.
Ghibah, Salah Satu Akibat Buruk Sangka
Saudariku rahimakumullah, berburuk sangka adalah salah satu perilaku yang harus diwaspadai oleh setiap muslim dan muslimah. Jangan sampai perilaku ini menimpa dirinya. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan bahwa prasangka itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran. Allah berfirman,
وَمَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡٔٗا ٢٨
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka, sedangkan prasangka itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (an-Najm: 28)
Prasangka adalah sesuatu yang hati dan jiwa berkecenderungan padanya. Prasangka buruk seseorang kepada orang lain akan menyeretnya kepada perbuatan berikutnya, yaitu tajassus dan tatabbu’ ‘aurat (mencari-cari kesalahan dan kejelekan sesamanya). Sebab, hati seseorang tidak merasa cukup dengan sekadar berprasangka. Ia akan mencari pembenaran atas prasangka jeleknya kepada saudaranya tersebut, dengan berupaya mencari-cari kejelekan saudaranya. Setelah mendapati kejelekan saudaranya, ia pun terseret kepada perbuatan ghibah, yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan hal-hal yang tidak disukainya.”
Perlu diketahui bahwa ghibah adalah perbuatan dosa besar yang wajib dijauhi. Salah satu cara agar seseorang tidak terjatuh dalam ghibah yang terlarang adalah mengetahui bahwa orang yang berbuat ghibah berarti telah menghadapkan diri kepada kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Kelak, kebaikan orang yang berbuat ghibah itu akan diambil dan diberikan kepada orang yang dia ghibahi. Jika ia tidak memiliki kebaikan, kejelekan orang yang dia ghibahi itu akan diberikan kepadanya, sehingga ia pun menjadi orang yang pailit dari amalan saleh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih.
Hal-hal yang Dikecualikan
Saudariku, rahimakumullah. Perlu diketahui bahwa larangan melakukan ghibah dan ancaman serta balasan berupa azab yang pedih atas ghibah berlaku pada kategori ghibah yang telah diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Para ulama menyebutkan enam hal yang tidak termasuk dalam larangan ini meskipun berkaitan dengan penyebutan kejelekan orang lain. Keenam hal itu ialah:
Demikian enam kekecualian yang disebutkan oleh para ulama kita, sehingga tidak termasuk dalam kategori ghibah yang terlarang.
Untuk Dijauhi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai prasangka,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَديثِ
“Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka itu pembicaraan yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Yang dimaksud dalam hadits ini bukan seluruh bentuk prasangka. Hal ini sebagaimana ditunjukkan di dalam ayat yang telah dibawakan di atas, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (al-Hujurat: 12)
Di dalam ayat ini tidak disebutkan sangkaan secara keseluruhan atau secara mutlak. Sebab, sangkaan yang dibangun di atas qarinah (indikasi, sebab-sebab yang menguatkan) tidak dilarang. Memiliki sangkaan merupakan tabiat manusia. Jika ada qarinah yang kuat atas sesuatu yang mengharuskan seseorang untuk memiliki sangkaan, entah baik entah buruk, dia harus tunduk pada qarinah yang kuat tersebut. Akan tetapi, jika yang ada ialah prasangka belaka, inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk dijauhi, dan inilah yang diistilahkan sebagai pembicaraan yang paling dusta.
Sebagai misal, seorang istri berburuk sangka kepada suaminya dengan penuh kecurigaan, demikian pula seorang suami berburuk sangka kepada isterinya. Dalam benaknya, si istri mengatakan bahwa suaminya bisa jadi telah atau akan berbuat demikian, demikian pula sebaliknya. Lebih disayangkan lagi jika prasangka ini disertai dengan tajassus (memata-matai), dan diikuti oleh akhlak tercela berikutnya, yaitu ghibah. Ini musibah besar, yang menjadi salah satu penyebab timbulnya problem besar rumah tangga, yang berujung pada perceraian. Wal ‘iyadzu billah wa nas’alullaha al-‘afiyah was salamah. Wallahu a’lam bish shawab.
Rujukan: