Qonitah
Qonitah

jagalah dirimu dari azab neraka

10 tahun yang lalu
baca 10 menit
Jagalah Dirimu dari Azab Neraka

adab-12Al-Ustadz Marwan

Jagalah Dirimu dari Azab Neraka Sekalipun dengan Separuh Butir Kurma

Itulah petikan dari tutur kata ash-shadiqul mashduq (sosok yang jujur dan senantiasa dibenarkan), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yang tidaklah keluar dari lisannya selain al-haq (kebenaran), yang harus diyakini kebenarannya, dan wajib diikuti oleh setiap individu muslim dan muslimah.

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menuturkan,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

‘Jagalah diri kalian dari api neraka sekalipun dengan bersedekah separuh butir kurma’.”

Cukuplah hadits di atas sebagai bimbingan bagi kita semua, dalam keadaan apa pun, untuk memiliki sifat dermawan dalam hal kebaikan, sekalipun dengan sesuatu yang dianggap sedikit. Sebab, perintah untuk berupaya mencari keselamatan dari azab api neraka harus ditaati dan dijalankan.

Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal saleh. Allah juga tidak berlaku zalim kepada siapa pun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجۡرَ مَنۡ أَحۡسَنَ عَمَلًا ٣٠

Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. (al-Kahfi: 30)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَوُضِعَ ٱلۡكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلۡمُجۡرِمِينَ مُشۡفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيۡلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلۡكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةٗ وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحۡصَىٰهَاۚ وَوَجَدُواْ مَا عَمِلُواْ حَاضِرٗاۗ وَلَا يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدٗا ٤٩

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai, celaka kami! Kitab apakah ini, yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menzalimi seorang pun.” (al-Kahfi: 49)

Untuk Para Pemilik Harta

Sungguh, harta yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada siapa pun adalah ujian bagi orang tersebut, apakah ia menggunakannya dengan baik atau tidak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥

Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (at-Taghabun: 15)

Ada sebagian orang yang membelanjakan harta titipan Allah subhanahu wa ta’ala dalam perkara syahwat yang diharamkan. Tidaklah orang tersebut mendapatkan tambahan harta melainkan semakin jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga harta yang ada padanya diumpamakan dengan musibah atasnya. Wal ‘iyadzu billah.

Ada pula sebagian orang yang membelanjakan harta bendanya dalam rangka mencari Wajah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Dengan hartanya itu ia mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan syariat-Nya. Orang yang demikian ini dikatakan bahwa hartanya merupakan kebaikan baginya.

Ada pula sebagian orang yang menggunakan hartanya dalam hal-hal yang tidak mengandung faedah. Ia tidak menggunakannya dalam perkara yang diharamkan dan tidak pula menggunakannya dalam rangka ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang seperti ini dikatakan telah menyia-nyiakan harta. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang perbuatan menyia-nyiakan harta benda.

Oleh karena itu, seyogianya setiap orang menggunakan harta benda yang ia miliki dalam rangka mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, dengan penuh keyakinan akan janji-janji Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).’ Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)

Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan ganti yang lebih baik.

Dalam ayat ini Allah menjanjikan ganti yang lebih baik bagi orang-orang yang dermawan, yaitu orang yang tidak mengeluarkan hartanya kecuali di jalan Allah dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang seorang hamba berada pada waktu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Satu di antaranya mengatakan, ‘Ya Allah, berikanlah ganti (yang lebih baik) kepada orang-orang yang senantiasa berinfak (orang-orang yang memiliki sifat dermawan).’ Malaikat yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan harta pada orang yang senantiasa menahan harta (tidak memiliki sifat dermawan).

Makna orang yang menahan harta adalah orang yang tidak mau mengeluarkan harta yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk ia keluarkan. Jadi, tidak setiap orang yang menahan hartanya didoakan dengan doa kejelekan tersebut. Akan tetapi, sekali lagi, doa kejelekan tersebut adalah bagi orang yang menahan harta yang wajib ia keluarkan. Ia didoakan kejelekan oleh malaikat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan hartanya.

Kebinasaan harta memiliki dua bentuk:

  1. Hissi, yaitu bahwa yang dibinasakan adalah zat harta itu sendiri. Misalnya, harta itu terbakar, dicuri, dan sebagainya.
  2. Maknawi, yaitu dicabutnya keberkahan harta tersebut sehingga pemiliknya tidak mampu mengambil manfaatnya dalam kehidupannya.

Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya kepada para sahabat, Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih ia sukai daripada hartanya sendiri? Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun di antara kami melainkan lebih menyukai hartanya sendiri.”

Harta Anda lebih Anda cintai daripada harta Zaid, harta ‘Amr, harta Khalid, dan selainnya, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berhak menerima warisan dari Anda.

Selanjutnya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, hartanya sendiri adalah apa yang telah ia dahulukan, sedangkan harta ahli warisnya adalah apa yang ia akhirkan.

Demikian hikmah besar dari sosok yang diberi jawami’ul kalim (perkataan yang singkat, tetapi padat maknanya), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menjelaskan bahwa harta Anda adalah yang telah Anda dahulukan penggunaannya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Kelak akan Anda dapati harta ini di hadapan Anda pada hari kiamat. Adapun harta ahli waris Anda adalah semua harta Anda yang masih tersisa sepeninggal Anda, yang akan diambil kemanfaatannya oleh ahli waris Anda. Oleh karena itu, infakkan segera harta Anda di dalam perkara-perkara yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala. Jika Anda menginfakkannya di jalan Allah, sungguh Allah akan menggantinya dan memberikannya kepada Anda.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Berinfaklah, wahai anak Adam, niscaya engkau akan dinafkahi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah )

Untuk Para Pemilik Ilmu

Kita petik satu lagi penuturan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. (HR. al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, dan agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersegera menyampaikannya kepada orang lain meskipun hanya sedikit. Hal itu dimaksudkan agar nukilan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dapat segera bersambung dan tersampaikan seluruhnya.

Semisal dengan hadits di atas adalah sabda Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.

Bukan maksudnya bahwa setiap orang yang mendengar satu ayat, tetapi tidak memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang lain, berhak menyampaikannya. Yang berhak menyampaikan ilmu adalah orang yang tsiqah (tepercaya), jelas keislamannya, memiliki ‘adalah (kelurusan agama dan kesalehan akhlak), dan memiliki kemampuan menghafal ilmu dengan kokoh; atau orang yang memang telah mendapatkan rekomendasi dari para ulama. Jadi, tidak setiap orang yang mendapatkan satu ayat berhak menyampaikannya. Sebab, untuk menyampaikan satu ayat dibutuhkan bidang-bidang ilmu yang lain agar tidak berakibat pemahaman yang keliru.

Terkait dengan kedermawanan, ahlul ilmi (orang-orang yang memiliki ilmu) adalah orang-orang yang sangat dermawan. Orang yang memiliki ilmu dengan keadaan yang telah disebutkan akan berbuat dermawan, sehingga meski hanya satu ayat yang ia terima, ia sampaikan dalam rangka mengamalkan hadits di atas.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَا حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad[1] kecuali terhadap dua jenis orang: (1) orang yang diberi harta oleh Allah lalu Allah subhanahu wa ta’ala membuatnya mampu menginfakkan harta tersebut dalam kebaikan, dan (2) orang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia memutuskan berdasarkan hikmah (ilmu) tersebut dan mengajarkannya.”

Beliau rahimahullah bertutur, menerangkan hadits di atas, “Dalam masalah hikmah (ilmu), manusia terbagi menjadi empat golongan.

Pertama, orang yang diberi hikmah oleh Allah lalu bakhil (tidak dermawan) dengan hikmah tersebut, bahkan kepada dirinya sendiri. Ia tidak bisa memanfaatkannya pada dirinya sendiri, tidak beramal ketaatan kepada Allah, dan tidak berhenti dari kemaksiatan kepada Allah. Orang yang seperti ini adalah orang yang merugi, wal ‘iyadzu billah. Ia ini mirip dengan orang-orang Yahudi, yaitu orang-orang yang mengetahui al-haq tetapi sombong terhadap al-haq tersebut.

Kedua, orang yang diberi hikmah oleh Allah kemudian mengamalkannya pada dirinya, tetapi tidak memberikan kemanfaatan kepada hamba Allah yang lain. Orang ini lebih baik daripada jenis yang pertama, tetapi memiliki kekurangan.

Ketiga, orang yang yang diberi hikmah oleh Allah kemudian memutuskan setiap permasalahan dengannya, mengamalkannya pada dirinya sendiri, dan mengajarkannya kepada orang lain. Orang ini adalah yang terbaik di antara keempat jenis tersebut.

Keempat, orang yang tidak diberi hikmah (ilmu) sama sekali. Ia ini orang yang jahil dan terhalang dari kebaikan yang sangat banyak. Akan tetapi, orang ini lebih baik keadaannya daripada orang yang diberi hikmah tetapi tidak beramal dengannya. Sebab, orang yang jahil ini masih bisa diharapkan bahwa pada saat mengetahui, ia akan belajar dan mengamalkannya. Berbeda halnya dengan orang yang telah diberi ilmu, tetapi ilmunya menjadi bencana baginya. Wal ‘iyadzu billah.”

Akhirnya, Ambillah Suri Teladan dari Riwayat Berikut

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sosok yang penuh kasih sayang. Tidaklah beliau didatangi oleh seseorang (yang meminta) melainkan beliau berjanji (akan memberi) kepada orang tersebut, dan beliau menepatinya jika memang beliau punya. Pada saat telah tiba waktu shalat, datang seorang Arab badui kemudian meraih baju beliau dan berkata, ‘Aku masih memiliki sedikit kebutuhan. Aku khawatir akan terlupa. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pun menanggapinya hingga kebutuhannya terpenuhi, kemudian beliau datang kembali dan menunaikan shalat.”

Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Tidaklah saya melihat dua wanita yang lebih dermawan daripada ‘Aisyah dan Asma’ radhiyallahu ‘anhuma. Hanya saja, kedermawanan keduanya berbeda. ‘Aisyah biasa mengumpulkan miliknya, dan setelah terkumpul, barulah ia membagikannya. Adapun Asma’ tidak pernah menyimpan apa pun untuk hari esok (langsung mendermakannya, -ed.).”

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

[1] Yang dimaksud adalah ghibthah yang diperbolehkan, yaitu menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa menghendaki hilangnya sesuatu tersebut dari pemiliknya.