Qonitah
Qonitah

islam adalah sunnah, sunnah adalah islam

11 tahun yang lalu
baca 11 menit
Islam Adalah Sunnah, Sunnah Adalah Islam

Oleh: Al-Ustadz Abu ‘Amr Alfian

Barangkali sebagian pembaca muslimah mengernyitkan dahi ketika membaca judul di atas. Bukankah sunnah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan, pelakunya mendapat pahala, dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa, alias “tidak wajib”, seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dll? Mengapa dikatakan bahwa Islam adalah sunnah? Apakah Islam itu tidak wajib? Demikian mungkin keheranan yang hinggap di benak.

Memang benar, yang terkenal di kalangan fuqaha (ahli fikih), kata sunnah digunakan antara lain untuk suatu amalan yang hukumnya tidak wajib, sebagaimana tersebut di atas. Kata sunnah untuk pengertian tersebut lebih sering digunakan sebagai sinonim kata mustahab atau mandub.

An-Nawawi t berkata, “Sejumlah fuqaha dari mazhab kami mengatakan bahwa dalam ushul fikih, kata-kata sunnah, mandub, tathawwu’, nafilah, al-muraghghab fihi, dan mustahab bermakna sama, yaitu sebuah amalan yang lebih ditekankan/dianjurkan untuk diamalkan, dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa.” (Tahdzibul Asma’ wal Lughat 2/156)

Contohnya, shalat sunnah rawatib disebut sebagai shalat sunnah atau shalat nafilah; hukumnya sunnah atau mustahab. Demikian pula shalat dhuha, puasa Senin dan Kamis, sedekah, dan lainnya.

Namun, apabila kita telisik lebih jauh pengertian kata as-Sunnah sebagaimana yang digunakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, kita akan mendapat kejelasan yang lebih mendalam. Kata sunnah terkadang dimaknakan lebih luas, karena secara bahasa, sunnah bermakna thariqah (jalan), baik “jalan yang baik” maupun “jalan yang jelek”. Tentu saja, apabila konteksnya adalah sunnah Nabi, yang dimaksud adalah “jalan yang baik”.

Para ulama juga menyebut hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi n sebagai sunnah. Oleh karena itu, an-Nawawi t berkata, “As-Sunnah adalah sunnah Nabi n. Makna asalnya adalah thariqah (jalan). Kata sunnah digunakan untuk menyebut hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi n. (Tahdzibul Asma’ wal Lughat 2/156)

Allah l berfirman,

ﯳ  ﯴ  ﯵ  ﯶ  ﯷ

“… dan (karena) Allah telah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu.” (an-Nisa’: 113)

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa makna al-Hikmah adalah as-Sunnah.

Allah l menamakan sabda-sabda Rasulullah n sebagai wahyu dalam firman-Nya,

ﮋ ﭛ  ﭜ   ﭝ  ﭞ  ﭟ  ﭠ  ﭡ  ﭢ    ﭣ   ﭤ  ﭥ  ﮊ

“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3-4)

Ditilik dari makna ini, as-Sunnah adalah salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad n. Dengan demikian, “Islam adalah Sunnah” maknanya bahwa salah satu landasan agama Islam adalah as-Sunnah.

Lebih luas lagi tentang pengertian as-Sunnah, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali t mengatakan, “As-Sunnah adalah ath-thariqah (jalan) yang ditempuh. Pengertian tersebut meliputi makna berpegang pada segala sesuatu yang Rasulullah n dan al-khulafa ar-rasyidin berada di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)

Jadi, as-Sunnah adalah segala yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah n, baik berupa akidah, cara beribadah, bermuamalah, akhlak, adab, sikap, maupun yang lainnya. Demikian pula halnya yang diajarkan oleh al-khulafa ar-rasyidin. Makna inilah yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah n,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah al-khulafa ar-rasyidin sepeninggalku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43)

Oleh karena itu, semua yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah n adalah Sunnah. Telah dimaklumi bahwa yang beliau bawa dan ajarkan tidak lain adalah agama Islam.

Makna ungkapan “Islam adalah Sunnah” adalah bahwa agama Islam yang sempurna ialah yang diajarkan oleh Rasululah n kepada umat beliau, sedangkan ajaran beliau tidak lain adalah Sunnah beliau. Inilah Islam yang benar, yang berjalan di atas Sunnah beliau n, bukan Islam yang dipahami oleh kelompok sempalan atau organisasi tertentu, karena kepentingan politik tertentu, atau menurut tokoh tertentu. Namun, Islam yang benar adalah Islam yang selaras dengan Sunnah Nabi Muhammad n, baik dalam hal keyakinan, ibadah, akhlak, muamalah, etika, maupun yang lainnya (yakni tuntunan beliau secara utuh).

Maksud ungkapan “Sunnah adalah Islam” adalah segala yang beliau ajarkan itulah agama Islam. Beliau tidaklah berucap dan berbuat melainkan dengan bimbingan wahyu dari Allah l. Maka dari itu, Sunnah beliau itulah agama Islam.

Rasulullah n bersabda,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Barang siapa berpaling dari Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (HR. al-Bukhari no. 5063)

Al-Hafizh Ibnu Hajar t menjelaskan, “Yang dimaksud as-Sunnah adalah thariqah (jalan), bukan sunnah dalam pengertian lawan dari wajib. Adapun maksud ‘bukan golonganku’, apabila seseorang berpaling karena melakukan takwil (pemaknaan yang keliru), dia masih dimaafkan dan tidak keluar dari agama. Apabila dia berpaling karena menentang dan hendak bersikap ekstrem yang mengantarkan pada keyakinan bahwa amalannya lebih baik (daripada amalan Nabi n), maka ‘bukan golonganku’ maksudnya adalah ‘bukan di atas agamaku’. Sebab, keyakinan tersebut adalah bentuk kekufuran.” (Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5063)

Dari penjelasan di atas, sangat tepatlah ungkapan al-Imam Bisyr bin al-Harits, “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam.”

 

Tidak akan Bisa Ber-Islam tanpa Berpegang pada As-Sunnah

Setelah kita memahami makna “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam”, sangat jelaslah bagi kita bahwa Islam dan Sunnah saling terkait, tidak akan bisa tegak salah satunya tanpa yang lain. Islam yang sempurna tidak akan terwujud tanpa Sunnah. Demikian pula Sunnah, tidak akan memiliki makna tanpa Islam. Seseorang tidak akan bisa ber-Islam apabila tidak berpedoman pada Sunnah Nabi n. Agar hal ini lebih mudah dipahami, bisa dijelaskan sebagai berikut.

1.     Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat)

Rasulullah n diperintah untuk menegakkan dua kalimat syahadat. Beliau n bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mau melaksanakan itu semua, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam. Adapun hisab (perhitungan) mereka ada di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 36)

Seseorang tidak dikatakan mukmin hingga bersaksi dengan dua syahadat tersebut. Orang yang telah bersaksi dengan syahadat la ilaha illallah, tetapi tidak mau bersaksi dengan syahadat Muhammad Rasulullah belum dikatakan sebagai orang yang beriman. Dengan syahadat la ilaha illallah, seseorang telah bertauhid kepada Allah. Dengan syahadat Muhammad Rasulullah, seseorang telah berpegang pada Sunnah Muhammad n dalam hal beribadah kepada Allah. Sebab, makna dan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah:

– menaati segala perintah Rasulullah n.

– membenarkan segala berita yang beliau sampaikan.

– menjauhi segala hal yang beliau larang dan peringatkan.

– tidak beribadah kepada Allah selain dengan aturan dan tata cara yang beliau ajarkan.

2.    Al-Qur’an Memerintahkan untuk Menaati As-Sunnah

Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar as-Sunnah ditaati dan diamalkan sebagaimana halnya al-Qur’an ditaati dan diamalkan. Di antaranya adalah firman Allah l,

ﮋ ﯵ  ﯶ  ﯷ  ﯸ  ﯹ  ﯺ  ﯻ  ﯼ   ﯽ  ﯾﯿ  ﰀ  ﰁ   ﰂ  ﰃ  ﰄ  ﰅ       ﰆ  ﰇ  ﰈ  ﰉ               ﰊ  ﰋ  ﰌ  ﰍﰎ  ﰏ  ﰐ  ﰑ  ﰒ  ﰓ   ﮊ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah dia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa’: 59)

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan untuk menaati-Nya, kemudian memerintahkan untuk menaati Rasulullah n dengan perintah tersendiri. Kemudian, Allah memerintahkan agar ketika terjadi perselisihan, keputusannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber hukum syariat yang wajib diimani, ditaati, dan diamalkan, tanpa dibedakan antara keduanya.

Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa tidak mau berhukum kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan dan tidak mau merujuk keduanya, dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”

Bahkan, Allah l menjadikan ketaatan kepada Rasulullah n sebagai bagian dari ketaatan kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,

ﮋ ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕ  ﭖﭗ  ﭘ  ﭙ  ﭚ  ﭛ   ﭜ  ﭝ  ﭞ  ﮊ

“Barang siapa menaati Rasul, berarti dia telah benar-benar menaati Allah. Barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (an-Nisa’: 80)

Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Allah menjelaskan tentang hamba dan Rasul-Nya, Muhammad n, bahwa barang siapa menaati beliau, berarti dia telah menaati Allah, dan barang siapa menentang beliau, berarti dia telah menentang Allah. Sebab, beliau berkata bukan dari hawa nafsu. Tidak lain ucapan beliau adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau.”

Dalam ayat lainnya Allah l memerintahkan,

ﮋ ﮕ  ﮖ  ﮗ  ﮘ  ﮙ  ﮚ  ﮛ   ﮜ  ﮝ  ﮊ

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (an-Nur: 56)

Dalam ayat di atas Allah l memerintahkan dengan perintah tersendiri untuk menaati Rasulullah n. Allah juga menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul-Nya adalah sebab mendapatkan rahmat.

Dalam ayat lainnya Allah l menyatakan bahwa menaati Rasulullah n adalah sebab datangnya hidayah.

ﮋ ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕﭖ  ﭗ  ﭘ  ﭙ  ﭚ  ﭛ  ﭜ   ﭝ  ﭞ  ﭟﭠ  ﭡ  ﭢ  ﭣﭤ  ﭥ  ﭦ  ﭧ     ﭨ  ﭩ   ﭪ  ﭫ  ﮊ

“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kalian berpaling, sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, sedangkan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian. Jika kalian mau taat kepadanya, niscaya kalian mendapat hidayah. Tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang’.” (an-Nur: 54)

Masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang semakna. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum tersendiri dalam syariat ini, yang wajib ditaati dan diamalkan sebagaimana halnya al-Qur’an. Selain itu, ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa menaati dan mengamalkan as-Sunnah adalah sebab datangnya hidayah dan rahmat Allah l. Sebaliknya, meninggalkan as-Sunnah adalah sebab kesesatan dan terhalangi dari rahmat Allah k.

Oleh karena itu, barang siapa mengatakan bahwa dia hanya mengamalkan al-Qur’an dan tidak mau berpegang pada as-Sunnah, sungguh dia telah mendustakan dan mengingkari al-Qur’an. Sebab, al-Qur’an memerintahkan untuk mengikuti dan menaati Rasulullah n. Barang siapa tidak mau mengikuti dan menaati Rasulullah, berarti dia tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak beriman kepada al-Qur’an. Jadi, seseorang tidak boleh mengikuti al-Qur’an saja tanpa as-Sunnah, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan as-Sunnah saling terkait, tidak bisa lepas satu sama lain. Bahkan, Allah k mengancam orang yang meninggalkan as-Sunnah. Allah k berfirman,

ﮋ ﭾ  ﭿ  ﮀ  ﮁﮂ  ﮃ  ﮄ  ﮅ  ﮆ  ﮇ  ﮈ   ﮉ  ﮊ  ﮊ

“Katakanlah. ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)

Al-Hafizh Ibnu Katsir t menjelaskan, “Kemudian, Allah berfirman memerintah setiap manusia, baik yang umum maupun yang khusus, (Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling…), yakni jika kalian menyelisihi perintah beliau, (sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir). Ini menunjukkan bahwa menyelisihi Rasulullah n dalam hal thariqah (metode pemahaman dan aplikasi agama/sunnah) adalah kekufuran. Allah tidak mencintai orang yang bersifat demikian—meskipun dia mengaku mencintai Allah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya—sampai dia mau benar-benar mengikuti Rasulullah n, nabi yang ummi dan penutup para rasul, sekaligus utusan Allah kepada segenap ats-tsaqalain, yaitu bangsa jin dan bangsa manusia. Seandainya para nabi dan rasul, bahkan para ulul ‘azmi, hidup pada masa beliau, tidak ada kesempatan bagi mereka selain harus mengikuti beliau (Nabi Muhammad) n dan syariat beliau.”

3.     Tidak Mungkin Mengamalkan al-Qur’an tanpa as-Sunnah

Banyak ayat al-Qur’an yang tidak bisa kita amalkan tanpa kita berpedoman pada as-Sunnah. Contoh paling mudah adalah ayat:

ﮋ ﮕ  ﮖ  ﮗ  ﮘ    ﮊ

“Dan tegakkanlah shalat dan bayarlah zakat.” (an-Nur: 56)

Bagaimana cara shalat, berapa rakaatnya, dan kapan shalat dilaksanakan? Itulah pertanyaan yang pasti muncul apabila kita diperintah untuk shalat. Maka dari itu, kita tidak akan bisa melaksanakan perintah Allah l dalam ayat tersebut tanpa berpedoman pada ajaran dan bimbingan Rasulullah n.

Pada suatu hari, sahabat mulia bernama ‘Imran bin Hushain a menyampaikan hadits-hadits Rasulullah n. Tiba-tiba, seorang pria memprotes, “Berilah kami ayat-ayat al-Qur’an saja!”

‘Imran pun marah mendengarnya seraya mengatakan, “Sungguh, engkau orang yang dungu! Allah menyebutkan perintah zakat di dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa pada tiap 200 ada jatah 5 dirham (yakni ketentuan 2,5%)? Allah menyebutkan perintah shalat di dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa shalat zhuhur atau asar ada empat rakaat? Allah menyebutkan perintah thawaf dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa thawaf di Ka’bah tujuh kali, sa’i antara Shafa dan Marwah juga tujuh kali?! Semua itu hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan ditafsirkan (diterangkan) oleh as-Sunnah.” (Lihat Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi 2/81)