Qonitah
Qonitah

ilmu sebelum berucap dan beramal

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Ilmu Sebelum Berucap dan Beramal

majalah-muslimah-qonitah-pilar-edisi-3Oleh : Al-Ustadz Syafi’i

Dalam Islam, ucapan ataupun amalan tidak akan sah dan diterima melainkan jika terkumpul padanya dua syarat: ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat. Tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa amalannya cocok dengan syariat melainkan dengan ilmu.

Definisi Ilmu

Ketahuilah, wahai saudariku, apabila ilmu disebutkan secara mutlak, tidak dikaitkan dengan ilmu-ilmu tertentu, yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Ilmu syar’i adalah ilmu tentang Kitabullah—al-Qur’an—dan sunnah Rasulullah menurut pemahaman para salafush shalih.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya, Tsalatsatul Ushul, mendefinisikan ilmu syar’i dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifatu nabiyyih (mengenal Nabi-Nya), dan ma’rifatu dinil Islam bil adillah (mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya). Tiga hal tersebut adalah pilar agama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Terkait dengan ketiga hal tersebut pulalah para hamba akan diuji oleh Allah melalui dua malaikat-Nya di alam kubur mereka. Nas’alullah assalamah wal ‘afiyah (kita memohon kepada Allah keselamatan dan perlindungan).

Keutamaan Ilmu dan Keharusan Adanya Sebelum Ucapan dan Amalan

Suatu ketika, Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah ditanya tentang keutamaan ilmu. Beliau menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah l ketika Dia memulai perintah-Nya dengan ilmu? Dia berfirman,

ﭽ ﰊ ﰋ     ﰌ     ﰍ   ﰎ   ﰏ ﰐ ﰑ     ﭼ

“…maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan mohonlah ampun akan dosamu.” (Muhammad: 19)

Dia memerintahkan beramal setelah memerintahkan berilmu.” (Disebutkan oleh al-‘Aini dalam Umdatul Qari)

Sisi pendalilan ayat tersebut sangat jelas. Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua hal: ilmuilah (ketahuilah) dan mohonlah ampun. Perintah pertama agar berilmu dan perintah kedua agar beramal, yaitu istigfar. Didahulukannya perintah berilmu sebelum perintah beramal dalam ayat tersebut menunjukkan keutamaan ilmu sekaligus kewajiban berilmu sebelum beramal. Istigfar sendiri mengandung ucapan dan amalan.

Oleh karena itu, di dalam Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan satu bab yang beliau beri judul “Bab al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-‘amal” (Bab ilmu itu sebelum ucapan dan amalan). Kemudian, beliau berdalil dengan ayat ke-19 surat Muhammad tersebut.

Mengomentari ucapan al-Bukhari rahimahullah “Bab al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-‘amal” ini, Ibnul Munayyir rahimahullah , salah seorang ulama Mesir yang hidup pada abad ke-7 Hijriah, berkata, “Maksud beliau, ilmu itu syarat sahnya ucapan dan amalan. Ucapan dan amalan tidaklah teranggap kecuali dengan ilmu. Maka dari itu, ilmu didahulukan daripada keduanya.”

Ibnul Munayyir rahimahullah juga mengatakan bahwa ilmu itu akan memperbaiki keadaan niat seseorang. Ucapan dan amalan tidak akan baik kecuali apabila niat telah baik.

Dari ayat tersebut juga diketahui bahwa masalah tauhid wajib dimengerti oleh setiap orang dan tidak diperkenankan padanya taklid. Dalam masalah ini, asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan, “Seorang mukmin teranggap tidak bertaklid dan berdalil dengan benar tentang masalah-masalah yang diketahui dan diyakininya ini apabila dia mengetahui dalil masalah tersebut sekali dalam seumur hidup, kemudian meyakini apa yang ditunjukkan oleh dalil tersebut. Kalau dia bisa istiqamah di atas keyakinannya itu sampai dijemput oleh ajal, dia mati di atas keimanan. Tidak disyaratkan dia senantiasa mampu menyebutkan dalil dan sisi pendalilannya. Jadi, terkait dengan pengetahuan seorang hamba tentang kebenaran dalam menjawab ketiga masalah ini, dia wajib mendasarkannya pada dalil dan sisi pendalilannya walau sekali dalam seumur hidupnya.” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh)

Dari sini, mari kita introspeksi diri. Sudahkah amalan kita—syahadat, shalat, puasa, adab, akhlak, muamalah, dst.—didasari oleh ilmu?

Tercelanya Ilmu Tanpa Amal dan Amal Tanpa Ilmu

Ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika ilmu ibarat pohon, amal adalah buahnya. Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib beramal berdasarkan ilmu dalam setiap urusan.

Di dalam setiap shalat, kita memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan bukan jalan orang-orang yang tersesat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ

           “Sesungguhnya kaum Yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, sedangkan kaum Nasrani adalah orang-orang yang tersesat. (HR. at-Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim, dinyatakan shahih oleh al-Albani)

Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, dia telah mengikuti jalan orang-orang Yahudi. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu, dia telah mengikuti jalan orang-orang Nasrani.

Para ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah kalian dari kesesatan orang alim (berilmu) yang tidak menjalankan ilmunya dan dari ahli ibadah yang bodoh. Sebab, kesesatan mereka berdua adalah sebab sesatnya setiap orang yang terjerumus dalam kesesatan.” (Lihat Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah rahimahullah )

Hal ini terjadi karena umat meneladani para ulama dan ahli ibadah mereka. Apabila para ulamanya bejat dan ahli ibadahnya sesat, meratalah musibah pada umat.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kehancuran Islam disebabkan oleh ulah empat jenis manusia:

  1. Orang yang berilmu tetapi tidak beramal

Jenis manusia ini paling berbahaya bagi orang-orang awam karena mereka senantiasa menjadikan jenis orang ini sebagai hujjah dalam setiap kebinasaan.

  1. Ahli ibadah yang bodoh

Orang-orang awam akan selalu berbaik sangka terhadapnya karena ibadah dan kesalehannya. Mereka pun mengikutinya di atas kebodohannya.

  1. Orang yang tidak berilmu dan tidak beramal

Orang yang seperti ini ibarat binatang.

  1. Para delegasi Iblis di muka bumi

Mereka menghalangi manusia dari menuntut ilmu dan mempelajari agama. Mereka lebih berbahaya daripada setan-setan dari kalangan jin. Mereka menghalangi hati manusia dari hidayah Allah dan jalan-Nya.

Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kejelekan empat jenis manusia ini tidak akan terbongkar melainkan dengan ilmu. Maka dari itu, seluruh kebaikan—dengan berbagai sisinya—kembali kepada ilmu dan yang terkait dengannya. Demikian pula kejelekan dengan berbagai coraknya, kembali kepada kebodohan dan yang terkait dengannya.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyim rahimahullah)

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita tentang tercelanya ilmu yang tidak diamalkan dan amalan yang tidak didasari ilmu.

Contoh Amalan Tanpa Ilmu

Belum lenyap dari ingatan kita bencana demi bencana yang melanda negeri ini. Mulai dari tsunami, gempa bumi, gunung meletus di beberapa tempat, banjir bandang di beberapa provinsi, hingga kecelakaan pesawat terbang silih berganti. Terlepas dari perbedaan pendapat manusia tentang sebab terjadinya bencana, yang pasti semua itu terjadi atas kehendak Allah l. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ﭽ ﭞ ﭟ ﭠ   ﭡ ﭢ       ﭣ ﭤﭼ

“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah. (at-Taghabun: 11)

Yang akan kita bicarakan di sini adalah bagaimana manusia menyikapi kejadian demi kejadian tersebut.

Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 menelan korban ribuan jiwa. Banyak saudara kita di sana menyikapinya tanpa ilmu. Mereka membuat janur kuning yang dililitkan ke tubuh mereka dengan anggapan bahwa hal tersebut mampu menolak petaka. Sebagian yang lain menggunakan jimat berupa gelang, kalung, atau cincin dengan keyakinan serupa. Di banyak rumah digantungi dan ditempeli rajah-rajah untuk menghindari bencana.

Terkait dengan Gunung Merapi, sebagian masyarakat melakukan ritual kurban dengan menyembelih seekor kerbau yang kepalanya dikubur di tempat tertentu dengan keyakinan mampu menolak bala. Sebagian yang lain melakukan larung saji ke Pantai Laut Selatan dengan tujuan yang sama.

Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang Adam Air, sebagian masyarakat kita melakukan ritual kurban yang dipersembahkan kepada pemilik kubur tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu bisa membantu memudahkan pencarian korban yang hilang. Sebagian yang lain mendatangi paranormal dalam rangka ini pula. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Perhatikanlah, wahai saudariku, betapa besar bahaya beramal tanpa ilmu. Musibah yang menimpa raga dan dunia seseorang disikapi dengan tindakan yang justru merupakan musibah yang menimpa agama dan akhiratnya. Bagaimanapun besar musibah yang menimpa dunia seseorang, tidaklah seberapa dibandingkan dengan musibah yang menimpa agamanya. Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا

“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani)

Adakah musibah yang lebih besar daripada kezaliman terbesar (syirik) ini?

Contoh amalan lain yang sering terjadi di masyarakat kita adalah keyakinan seseorang bahwa jika orang tua atau kerabatnya meninggal dunia, sebagai bentuk baktinya kepada si mayit adalah dia menyembelih seekor kambing, bebek, dan burung dara pada seribu hari kematiannya. Mereka berkeyakinan bahwa kambing tersebut akan menjadi kendaraan si mayit di darat, bebek menjadi kendaraannya di air, dan burung dara menjadi kendaraannya di udara.

Banyak sekali amalan yang tidak didasari oleh ilmu yang semua itu dilakukan berdalihkan tradisi dan adat istiadat yang mesti dilestarikan.

Dahulu masyarakat jahiliah memiliki tradisi apabila seekor unta betina telah beranak lima kali, jika anak kelima lahir jantan, anak tersebut hanya boleh dimakan oleh kaum lelaki saja. Jika lahir betina, ia dilepaskan, telinganya dibelah (sebagai tanda), tidak boleh ditunggangi dan diperah susunya. Jika lahir dalam keadaan mati, ia boleh dimakan oleh kaum lelaki dan wanita. Unta betina yang telah dibelah telinganya itu disebut bahirah.

Di antara tradisi mereka juga, saat seseorang sakit atau safar, dia bernazar bahwa jika sembuh dari sakit atau selamat dalam perjalanannya, dia akan melepasbebaskan seekor unta. Unta yang dilepasbebaskan lantaran nadzar ini disebut sa’ibah.

Mereka juga memiliki tradisi yang lain terhadap kambing. Apabila seekor kambing betina telah beranak tujuh kali, jika anak ketujuh lahir jantan, anak tersebut disembelih dan dimakan. Jika lahir betina, ia dibiarkan tidak disembelih. Jika lahir jantan dan betina, yang jantan disebut washilah dan tidak boleh disembelih karena keberadaan betina kembarannya.

Terhadap unta, mereka juga mempunyai tradisi, apabila seekor unta jantan telah membuntingi unta betina sepuluh kali, dia dilepasbebaskan, tidak boleh ditunggangi, dan tidak boleh dimanfaatkan bulunya dan segala sesuatu darinya. Unta ini disebut ham. (Lihat Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani)

Tradisi tersebut diwariskan turun-temurun oleh masyarakat jahiliah. Bisa jadi, sepintas kita menganggap adat istiadat mereka tersebut sebagai urusan biasa. Akan tetapi, perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi perbuatan mereka ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ﭽ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ   ﯹ   ﯺ ﯻ   ﯼ ﯽ   ﯾﯿ ﰀ   ﰁ ﰂ       ﰃ ﰄ ﰅ ﰆﰇ ﰈ ﰉ   ﰊ ﰋ   ﭼ

“Allah sekali-kali tidaklah pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kedustaan atas nama Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (al-Maidah: 103)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرٍ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ وكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ

“Aku melihat Amr bin Amir bin Luhay al-Khuza’i menyeret ususnya di neraka. Dia adalah orang yang pertama kali mengada-adakan sa’ibah.” (HR. al-Bukhari)

Lihatlah, wahai saudariku, hukuman bagi orang yang beramal tanpa ilmu, semata-mata berpedoman pada adat istiadat dan tradisi kaumnya. Tidakkah hal ini cukup menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal?

Wallahu a’lam.