Hukum Mengusap Kerudung Saat Wudhu
Pembahasan mengusap kerudung bagi wanita ketika wudhu lepas dari pembahasan mengusap ‘imamah (serban) bagi pria karena dua hal:
Pengertian الْخِمَارُ (Kerudung)
Secara bahasa, الْخِمَارُ artinya setiap yang menutupi sesuatu. Istilah خِمَارُ الْمَرْأَةِ artinya sesuatu yang dipakai untuk menutupi kepala seorang wanita.
An-Nawawi rahimahullahberkata dalam Syarh Shahih Muslim (3/174), “Yang dimaksud khimar adalah ‘imamah, karena ‘imamah itu menutupi kepala.”
Ibnu Atsir rahimahullahberkata dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar (1/185), dalam hadits أَنَّهُ كَانَ يَمْسَحُ عَلَى الْخُفِّ وَالْخِمَارِ (Beliau n mengusap khuf[1] dan khimar), “Maksud الْخِمَارُ dalam hadits di atas adalah العِمَامَةُ (serban). Sebab, pria menutupi kepala dengannya sebagaimana wanita menutupi kepalanya dengan khimar/kerudung.”
Dalil-dalil Disyariatkannya Mengusap Serban
Tidak ada dalil khusus dalam al-Qur’an tentang masalah mengusap serban. Namun, ada dalil umum yang menyebutkan keharusan mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, di antaranya:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.”
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.”
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ
“Saya melihat Rasullullah n mengusap serban dan kedua khuf beliau.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari “Kitab al-Wudhu”, “Bab al-Mashu ‘ala al-Khuffain” jilid 1 no. 205)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْخِمَارِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengusap kedua khuf dan khimar.” (HR. Muslim dalam Shahih Muslim dengan Syarh an-Nawawi, jilid 3 no. 275)
Semua dalil di atas menguatkan disyariatkannya mengusap khimar (serban) bagi pria.
Hukum Mengusap Kerudung Ketika Wudhu
Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya wanita mengusap kerudungnya ketika berwudhu.
وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ
“Dan usaplah kepala-kepala kalian.” (al-Maidah: 6)
Apabila wanita mengusap kerudungnya, berarti dia tidak mengusap kepala, tetapi mengusap penghalang/penutup kepala, yaitu kerudungnya, dan hal ini tidak dibolehkan.
Mereka berkata, “Kerudung wanita berkedudukan seperti imamah bagi pria, dan keduanya sama-sama mengandung kesulitan (untuk dilepas, -pent.).”
Mereka juga mengatakan, “Bagaimanapun keadaannya, apabila terdapat kesulitan, seperti udara dingin, atau kesulitan melepas kerudung tersebut dan mengenakannya kembali, tidak menjadi masalah jika wanita mengusap kerudungnya. Namun, apabila tidak ada kesulitan/uzur, yang lebih utama adalah tidak mengusapnya (tetapi mengusap kepala, –pent.) karena tidak adanya nash yang shahih dalam masalah ini.”
Demikian ucapan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (1/196).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Syarh al-‘Umdah (1/135) mengatakan, “Saat mengusap bagian kepala ketika berwudhu, pria boleh mengusap penutup kepalanya, seperti serban. Maka dari itu, wanita boleh juga mengusap penutup kepalanya sebagaimana halnya pria. Kerudung adalah sesuatu yang boleh dipakai wanita untuk menutupi kepalanya, yang pada umumnya terdapat kesulitan ketika dilepas, serupa dengan serban bagi pria. Bahkan, kerudung lebih menutupi kepala daripada serban sehingga lebih sulit dilepas, dan lebih dibutuhkan untuk dipakai daripada khuf.”
Para ulama yang mengqiyaskan kerudung wanita dengan serban pria memberikan syarat:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (21/218), “Apabila seorang wanita takut kedinginan atau selainnya (seperti sulit melepas kerudungnya, -pent.), dia boleh mengusap kerudungnya. Dahulu Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah mengusap kerudungnya. Seyogianya dia mengusap juga sebagian rambutnya. Namun, apabila tidak ada kebutuhan (uzur, -pent.), dia tidak mengusap kerudungnya (tetapi mengusap kepalanya, –pent.) karena dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.”
Jadi, yang paling kuat dari kedua pendapat di atas—wallahu a’lam—adalah pendapat yang kedua, yaitu wanita boleh mengusap kerudungnya ketika berwudhu apabila mengalami kesulitan untuk melepas kerudung tersebut dan memakainya kembali, atau takut kedinginan dan yang semisalnya.
Batas Waktu Mengusap Serban atau Kerudung
Adakah batas waktu pengusapan serban bagi pria atau kerudung bagi wanita?
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Oleh karena itu, tidak ada batas waktu dalam mengusap serban atau kerudung. Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ulama yang menyatakan kuatnya pendapat ini:
Beliau berkata dalam al-Muhalla (2/65), “Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mengusap ‘imamah dan khimar; dan beliau tidak membatasinya dengan waktu.”
Beliau berkata, “Tidak ada batas waktu mengusap ‘imamah karena tidak adanya dalil dalam masalah ini. Seandainya ada pembatasan dari syariat Allah, tentu akan dijelaskan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Adapun mengqiyaskannya dengan mengusap kedua khuf adalah tidak benar. Atas dasar ini, kami katakan bahwa selama ‘imamah tersebut dipakai, diusap di atasnya; dan apabila ‘imamah itu dilepas, yang diusap adalah kepala. Tidak ada batas waktu dalam masalah ini.”
Mengusap Serban atau Kerudung Ketika Bersuci dari Hadats Kecil Saja
Bolehnya mengusap khuf, serban, atau kerudung ketika berwudhu adalah ketika bersuci dari hadats kecil, seperti buang air kecil, buang air besar, dan tidur. Adapun hadats besar, seperti junub, cara bersuci darinya adalah mandi. Dalilnya adalah hadits dari Shafwan bin ‘Assal a yang berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُونَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَلَّا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memerintah kami, apabila kami safar, untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah. Adapun karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur (kami tidak melepasnya).” (HR. at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi dengan tahqiq asy-Syaikh al-Albani [no. 96 hlm. 34]; hadits hasan)
Haruskah Memakai Serban atau Kerudung dalam Keadaan Suci (Diqiyaskan dengan Khuf)[2]?
Untuk mengusap ‘imamah atau kerudung ketika berwudhu, pemakainya tidak disyaratkan harus dalam keadaan suci ketika memakai penutup kepala tersebut. Hal ini disebabkan dua hal:
Haruskah Memperbarui Wudhu karena Melepas Serban atau Kerudung?
Melepas kerudung atau serban yang telah diusap tidak membatalkan wudhu. Dia juga tidak harus bersuci lagi, yaitu memperbarui wudhu, ketika hendak melaksanakan shalat. Hal ini dengan beberapa alasan:
Apabila seseorang berwudhu dengan mengusap serban atau kerudungnya lantas melepas penutup kepala tersebut, hal ini bukan pembatal wudhu yang ditetapkan oleh syariat.
Atsar di atas menyebutkan an-na’l (النَّعْلُ). ‘Imamah (atau kerudung, –pent.) diqiyaskan dengannya dari segi hukum karena keduanya sama-sama diusap.
Al-Hasan al-Bashri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apabila seseorang mencukur rambutnya, memotong kukunya, atau melepas kedua khufnya (setelah berwudhu, –pent), dia tidak perlu mengulang wudhunya.”
Dalam atsar di atas memang tidak disebutkan melepas ‘imamah (kerudung, –pent.). Namun, melepas imamah (kerudung) diqiyaskan dengan mencukur rambut yang diusap, karena keduanya satu makna/jenis.
Wallahu a’lam bish shawab.
(Dinukil dengan ringkas dan diterjemahkan dengan sedikit tambahan dari tulisan yang berjudul Bahtsun wa Khulashatu Mudarasatin fi Masyru’iyyati al-Mas-hi ‘alal ‘Imamati wal Khimar yang dimuat dalam situs www.saaid.net).
[1] Khuf adalah sesuatu dari kulit yang dipakai untuk menutupi kaki. Termasuk di dalamnya semua yang dipakai di kaki, baik terbuat dari katun, wol, maupun bahan lain yang semisal, yang berguna untuk menghangatkan kaki. Demikian penjelasan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (1/182).
[2] Karena salah satu syarat dibolehkannya mengusap di atas kedua khuf adalah harus dalam keadaan suci ketika memakainya.
[3] Yang dimaksud النَّعْلُ adalah serupa dengan sepatu seperti yang kita kenal.