Hukum ar-Ruthubah[1]
Saudariku muslimah, pada edisi yang lalu telah dibahas dua cairan yang keluar dari tubuh wanita, yaitu madzi dan mani. Pada edisi kali ini akan dibahas cairan yang ketiga, yaitu ruthubatu farji al-mar’ah (kelembaban pada kemaluan wanita).
Penulis bawakan ringkasan tulisan Dr. Ruqayyah bintu Muhammad al-Muharib, dosen dan asisten profesor di Fakultas Tarbiah di Riyadh. Tulisan yang berjudul Hukmu ar-Ruthubah ini telah dikoreksi dan disetujui oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah .
Berikut penjelasan Dr. Ruqayyah.
Di antara masalah yang dihadapi para wanita adalah masalah thaharah (bersuci). Mereka bingung tentangnya, dan mayoritas mereka terjatuh pada waswas (keragu-raguan) ataupun kesalahan, baik karena kebodohan maupun karena ketidakpedulian.
Pertanyaan terbanyak yang diajukan oleh para wanita pada masa ini adalah seputar ar-ruthubah yang keluar dari kemaluan wanita: apakah hukumnya najis atau suci, membatalkan wudhu ataukah tidak.
Pengetahuan tentang masalah ini dibutuhkan karena ruthubah dialami oleh seluruh wanita; bukan penyakit, cacat, ataupun sesuatu yang langka. Permukaan vagina selalu lembab, sama halnya dengan permukaan bagian tubuh yang berlendir lainnya. Jumlah ruthubah yang keluar pun berbeda-beda di antara para wanita.
Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa ruthubah hanya menimpa sebagian wanita. Sebab, yang menimpa sebagian wanita adalah cairan akibat penyakit, yaitu keputihan. Keputihan adalah cairan berlebih yang keluar dari vagina, kadang disertai rasa gatal dan bau yang tidak sedap; kental dan berwarna kekuning-kuningan, keabu-abuan, sampai kehijau-hijauan.
Karena setiap wanita wajib dalam keadaan suci ketika akan melaksanakan shalat, dia harus mengetahui hukum ruthubah ini. Apabila tidak mengetahui hukumnya, bisa jadi dia akan mengulang-ulang wudhunya, ditimpa rasa waswas, atau mengulangi shalatnya. Oleh karena itu, seyogianya dia mengetahui hukum ruthubah ini dengan dalil syar’i berdasarkan pemahaman as-Salaf ash-Shalih.
Dari tubuh wanita, ada cairan-cairan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti ingus, air liur, air mata, keringat, dan ruthubah. Wanita juga mengeluarkan cairan dari dua jalan, yaitu air seni dan kotoran, yang hukumnya najis dan membatalkan wudhu. Al-Imam asy-Syafi’i v membatasi jalan keluarnya hadats, yaitu dubur dan kemaluan saja, baik pada pria maupun wanita.
Di kemaluan wanita ada dua jalan: (1) jalan keluarnya air seni—merupakan jalan keluarnya hadats—dan (2) jalan keluarnya bayi yang bersambung dengan rahim.
Ruthubah yang Keluar dari Rahim Wanita, Najiskah Hukumnya?
Sesungguhnya, ruthubah pada wanita tidak keluar dari saluran kencing, tetapi dari saluran lain yang bersambung dengan rahim. Ruthubah ini diproduksi oleh kelenjar di saluran rahim. Ruthubah ini menyerupai keringat, ingus, dan ludah.
Dalam kitab-kitab hadits, tidak didapati dalil, baik yang marfu’ (langsung dari Nabi n) maupun mauquf (dari sahabat), yang menyatakan kenajisan ruthubah. Tidak ada pula sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in yang berpendapat bahwa ruthubah hukumnya najis.
Banyak dalil tentang sucinya ruthubah, di antaranya:
Kaidah ini dijadikan dalil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang sucinya mani. Beliau berkata, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci. Maka dari itu, kita wajib menetapkan kesucian mani sampai datang kepada kita dalil yang menyatakan kenajisannya. Kami telah meneliti dalil-dalil, tetapi tidak ada yang menyatakan kenajisannya. Oleh karena itu, diketahuilah bahwa segala sesuatu yang tidak mungkin dihindari adalah dimaafkan.”
Hukum tersebut juga berlaku pada ruthubah, bahkan lebih dibutuhkan. Sebab, keluarnya mani terjadi pada situasi tertentu, dan seseorang bisa berhati-hati agar tidak terkena mani meskipun dia hanya memiliki sedikit pakaian dan tempat tidur. Namun, tidak mungkin seorang wanita menghindar dari ruthubah walaupun dia memiliki banyak pakaian dan tempat tidur. Kalau begitu, bagaimana mungkin digambarkan bahwa syariat memerintahkan agar ruthubah dihindari, sementara ruthubah ini sering dialami oleh wanita dan tidak diketahui kapan keluarnya; keluarnya bukan karena syahwat, bukan pula karena hal lain; keluar tanpa terasa ketika seorang wanita sedang tidur ataupun sedang beraktivitas; jumlahnya kadang sangat sedikit dan kadang banyak? Berhati-hati agar tidak terkena ruthubah sangatlah sulit dan lebih pantas untuk dimaafkan.
Seandainya mereka (para shahabiyyah) belum tahu tentang kesuciannya, tentu mereka akan menanyakannya karena merekalah wanita yang belajar agama tanpa terhalangi oleh rasa malu.
Apakah Ruthubah Membatalkan Wudhu?
Dalam kitab-kitab tentang pembatal-pembatal wudhu, tidak saya (Dr. Ruqayyah, -pent.) temukan ulama yang membahas masalah ruthubah secara panjang lebar atau memasukkannya dalam pembatal-pembatal wudhu, baik dengan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, maupun dengan ucapan sahabat, tabi’in, ataupun salah seorang dari imam yang empat (al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Malik, al-Imam Ahmad, dan al-Imam Abu Hanifah, -pent.).
Mengqiyaskan ruthubah dengan salasul baul (kencing yang terus-menerus keluar; beser, Jawa) tidaklah dibenarkan dan tidak dilandasi dalil. Ada beberapa alasan:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah kotoran, maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri’.” (al-Baqarah: 222)
Allah subhanahu wa ta’ala menamai keluarnya ruthubah dengan thaharah dan menjadikannya sebagai tanda berakhirnya haid. Juga, seandainya ruthubah ini najis, tidak ada bedanya antara menggauli wanita di qubul dan di dubur. Bukankah menggauli wanita pada duburnya itu haram disebabkan di antaranya dubur adalah tempat najis? Hal ini tidak dibenarkan oleh syariat dan akal. Ruthubah adalah hal yang biasa dan alami, sedangkan salasul baul adalah penyakit dan jarang terjadi.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa angin yang keluar dari qubul tidak membatalkan wudhu, di antara mereka adalah Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v. Kata beliau, “(Angin yang keluar dari qubul) ini tidak membatalkan wudhu karena keluarnya bukan dari tempat najis, berbeda halnya dengan angin yang keluar dari dubur.”
Dalil bahwa Ruthubah Tidak Membatalkan Wudhu
Berikut dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ruthubah tidak membatalkan wudhu.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah kotoran, maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri’.” (al-Baqarah: 222)
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap ash-shufrah (cairan kekuningan) dan al-kudrah (cairan keruh) sebagai bagian dari haid.”
Saya katakan bahwa apabila para shahabiyyah tidak menganggap ash-shufrah sebagai bagian dari haid, tentu lebih utama tidak menganggap ruthubah sebagai bagian haid.
Ash-shufrah dan al-kudrah tidak mewajibkan mandi ataupun wudhu. Apabila keduanya mewajibkan wudhu, tentu Ummu ‘Athiyyah telah menjelaskannya.
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama.” (al-Hajj: 78)
Mewajibkan bagi wanita sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah pembebanan yang berat, padahal agama ini mudah.
Demikianlah penjelasan Dr. Ruqayyah tentang ruthubah. Kesimpulannya, ruthubah hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu; badan dan pakaian yang terkena tidak wajib dicuci. Adapun mencucinya hanya bertujuan membersihkan, bukan menyucikan. Wallahu a’lamu bish shawab.
Tulisan di atas merupakan terjemahan ringkas, disertai beberapa penambahan, dari kitab kecil yang berjudul Hukmu ar-Ruthubah karya Dr. Ruqayyah bintu Muhammad al-Muharib, dosen sekaligus asisten profesor di Fakultas Tarbiah di Riyadh.
Makalah tersebut telah dikoreksi dan disetujui oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah . Tertulis pada sampul kitab kecil ini ucapan asy-Syaikh al-‘Utsaimin, “Saya telah mengoreksi tulisan ini, maka saya berpendapat bahwa dalil terkuat yang menunjukkan bahwa ruthubah tidak membatalkan wudhu ialah ‘hukum asal segala sesuatu adalah tidak membatalkan wudhu kecuali apabila ada dalilnya’.”
Demikian pula, telah disebutkan di sela-sela makalah, bahwa asy-Syaikh al-Albani juga sependapat dengan kesimpulan tulisan ini.
[1] Pengertian ar-ruthubah (الرُّطُوبَة):
Secara bahasa, الرَّطْبُ (basah) adalah lawan الْيَبْسُ (kering). Jadi, الرُّطُوبَة adalah keadaan basah/lembab.
Secara istilah, dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (2/536), “Ruthubatu farji al-mar’ah adalah cairan putih yang wujudnya antara madzi dan keringat.”
Ar-Ruthubah keluar dari bagian dalam vagina, sering kali menjelang dan seusai haid serta pada masa kehamilan.
[2] Di antara dalil yang menunjukkan kesucian ruthubah adalah hadits dari ‘Aisyah j yang mengerik mani kering dari pakaian Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kukunya, kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam shalat dengan pakaian tersebut. Ihtilam (mimpi basah) tidak mungkin dialami oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam karena mimpi seperti ini adalah permainan setan terhadap orang yang tidur. Oleh karena itu, mani yang menempel pada pakaian Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pastilah mani karena beliau berjima’ dengan istri beliau. Dapat dipastikan pula bahwa mani tersebut melewati kemaluan istri beliau, bercampur dengan ruthubah, kemudian mengenai pakaian beliau. Seandainya ruthubah najis, tentu mani yang mengenai pakaian beliau menjadi najis. Namun, kenyataannya, mani tersebut beliau n biarkan menempel pada pakaian beliau dan tidak dicuci, justru cukup dikerik saja. Hal ini menunjukkan kesucian mani dan ruthubah. Demikian penjelasan an-Nawawi dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (3/189).