Qonitah
Qonitah

fatwa wanita edisi 14

10 tahun yang lalu
baca 17 menit
Fatwa Wanita Edisi 14

fatwa-wanita-14Al-Ustadz Abu Fadhl Fauzan

MENINGGIKAN SUARA DI HADAPAN SUAMI

Tanya:

Apa hukum wanita yang meninggikan suaranya kepada suaminya dalam kehidupan suami istri?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah:

Kami katakan kepada wanita ini bahwa meninggikan suara kepada suaminya termasuk adab yang jelek. Seorang wanita seharusnya memuliakan suaminya karena suami adalah penanggungjawabnya, pemimpinnya. Oleh karena itu, hendaknya dia memuliakan sang suami dan berbicara kepadanya dengan adab. Hal ini lebih bisa merukunkan keduanya dan melanggengkan pergaulan antara keduanya.

Di sisi lain, suami juga harus mempergauli istrinya dengan cara yang makruf. Kerukunan suami istri terbentuk dengan timbal balik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Apabila kalian tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)

Kami nasihati sang istri agar bertakwa kepada Allah pada dirinya dan diri suaminya dan agar tidak meninggikan suaranya kepada suaminya, apalagi jika sang suami mengajaknya bicara dengan tenang dan dengan suara yang pelan.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 655)

 

PRIA BERBAUR DENGAN ISTRI PAMAN, BOLEHKAH?

Tanya:

Apakah boleh berbaur dengan istri paman dari pihak ayah ataupun istri paman dari pihak ibu, dan kerabat perempuan lainnya? Apakah boleh pergi bersama mereka ke pasar atau ke tempat lain?

Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

Tidak boleh seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan istri saudaranya, istri paman dari pihak ibu ataupun istri paman dari pihak ayah, dan kerabat yang lain yang bukan mahram, berdasarkan sabda Nabi,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali si perempuan ditemani mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beliau juga melarang pria berduaan dengan wanita. Beliau bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Sesungguhnya setan menjadi pihak ketiga.”

Jadi, tidak boleh berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah (asing, bukan mahram) secara mutlak. Istri saudara laki-laki, istri paman dari pihak ayah, dan istri paman dari pihak ibu termasuk ajnabiyyah.

Tidak boleh pergi ke pasar apabila terjadi khalwat. Namun, apabila wanita tersebut bersama wanita-wanita yang lain dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak mengapa pergi ke pasar.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 485)

 

HUKUM MEMINTA BANTUAN TUKANG SIHIR

Tanya:

Sebelum mendapat hidayah, menekuni shalat pada waktunya, dan rajin membaca al-Qur’anul Karim, saya pernah pergi ke seorang wanita penyihir. Dia meminta saya mencekik ayam betina sampai mati, sebagai syarat dia membuatkan untuk saya hijab agar hubungan saya dengan suami saya harmonis. Sebab, antara saya dan suami saya selalu saja terjadi masalah. Saya pun mencekik seekor ayam betina dengan tangan saya sendiri. Apakah saya berdosa karena perbuatan ini? Apa yang harus saya lakukan agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan dan kegelisahan ini?

Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah:

Pertama, pergi kepada wanita penyihir adalah haram dengan keharaman yang keras. Sebab, penyihir adalah orang kafir dan memudaratkan hamba Allah k. Pergi kepada mereka adalah dosa besar.

Adapun perbuatan yang Anda ceritakan, yakni mencekik ayam betina, adalah dosa yang lain. Perbuatan ini menyakiti hewan dan membunuhnya tanpa alasan yang benar. Selain itu, perbuatan ini merupakan taqarrub (pendekatan diri) kepada selain Allah sehingga merupakan kesyirikan.

Akan tetapi, selama Anda telah bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan benar, perbuatan Anda yang telah lalu akan diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan mengulanginya pada waktu yang akan datang. Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang yang bertobat.

Tidak boleh kaum muslimin membiarkan para penyihir melakukan sihir mereka di antara kaum muslimin. Bahkan, wajib hukumnya mengingkari mereka. Wajib pula bagi pemerintah muslimin membunuh mereka dan menenangkan kaum muslimin dari kejelekan mereka.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 658)

 

WANITA BERKENDARA BERSAMA SOPIR PRIBADI

Tanya:

Kami keluarga besar. Kami memiliki sopir pribadi yang mengantarkan kami ke sekolah, ke pasar, dan ke tempat kerabat-kerabat kami. Apa hukum berkendara bersamanya, baik di dalam maupun di keluar kota? Ketahuilah, tidak ada pria lain bersama kami di dalam mobil.

Dijawab oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:

Tidak mengapa hal itu dilakukan bersama sopir apabila terdapat dua wanita atau lebih dan tidak ada kekhawatiran padanya. Tidak mengapa keluar bersamanya ke sekolah atau ke tempat lain karena ada keperluan, apabila kondisi tidak mengkhawatirkan.

Apabila bersama para wanita tersebut ada pria lain, hal itu lebih baik, tetapi tidak wajib. Apa yang menghilangkan khalwat sudah cukup, yaitu adanya wanita kedua atau lebih, atau pria lain selain sopir, dengan syarat tidak ada hal yang dikhawatirkan. Sebab, keberadaan mahram terkadang tidaklah mudah bagi setiap orang di setiap waktu.

Adapun apabila jarak yang ditempuh terhitung jarak safar, seorang wanita tidak boleh melakukannya kecuali bersama mahramnya, berdasarkan sabda Nabi,

لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Selain itu, dia harus memakai hijab dan menjauhi sebab-sebab fitnah sehingga tidak terjadi kejelekan antara dia dan pria tersebut.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 482)

 

HUKUM WANITA MENGEMUDIKAN MOBIL

Tanya:

Apakah boleh seorang wanita mengemudikan mobil ketika ada hajat dan tidak ada mahram yang bisa memenuhi kebutuhannya yang bersifat darurat, daripada dia mengendarai mobil bersama sopir ajnabi (pria yang bukan mahram)? Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah:

Wanita tidak boleh mengemudikan mobil. Ketika mengemudikan mobil, dia perlu menyingkap wajah atau sebagian wajahnya. Dia juga akan berbaur dengan pria seandainya mobilnya rusak di tengah-tengah perjalanan atau apabila terjadi sesuatu (kecelakaan, pent.) atau pelanggaran. Dengan mengemudikan mobil, seorang wanita akan mampu pergi dari suatu tempat ke tempat lain yang jauh dari rumahnya dan dari pengawasan mahramnya.

Wanita adalah makhluk yang lemah. Dia bisa dikuasai oleh perasaan dan keinginan-keinginan yang tidak terpuji. Memberinya keleluasaan untuk mengemudi berarti akan melepaskan tanggung jawab, pengawasan, dan kepemimpinan para pria (wali) atasnya.

Ketika seorang wanita mengemudi, tentu dia membutuhkan surat izin mengemudi (SIM), yang tentu saja membutuhkan fotonya. Memfoto wanita pada keadaan seperti ini mengundang kerusakan dan bahaya yang besar.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 509)

Tanya:

Apa hukum wanita mengemudikan mobil?

Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

Sesungguhnya hal itu akan menyebabkan kerusakan-kerusakan yang tidak tersembunyi bagi para penyerunya. Di antaranya adalah berkhalwat yang haram dengan wanita, menyingkap wajah, berikhtilath tanpa kewaspadaan, dan melakukan perbuatan terlarang. Oleh karena itulah, wanita dilarang mengemudikan mobil.

Syariat yang suci ini melarang seluruh wasilah (sarana) yang mengantarkan kepada keharaman. Syariat menganggap wasilah yang seperti ini sebagai perkara yang haram pula. Sungguh Allah telah memerintah para istri Nabi dan istri-istri mukminin untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka, berhijab, dan tidak menampakkan perhiasan kepada selain mahram. Sebab, semua ini (keluar dari rumah, menanggalkan hijab, dan menampakkan perhiasan kepada selain mahram) menyebabkan gaya hidup permisif (serba boleh) yang akan menghancurkan masyarakat. Allah berfirman,

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ

“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti berhiasnya orang-orang jahiliah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (al-Ahzab: 33)

Allah juga berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ

 

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak akan diganggu.” (al-Ahzab: 59)

Allah juga berfirman,

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١

“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaknya mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaknya mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (an-Nur: 31)

Nabi bersabda, “Tidaklah seorang pria berduaan dengan seorang wanita melainkan setan menjadi pihak ketiga.”

Syariat yang suci melarang seluruh sebab yang mengantarkan kepada perbuatan rendah. Di antara perbuatan rendah adalah menuduh wanita baik-baik yang lalai (tidak pernah memikirkan perbuatan keji) dengan tuduhan telah berbuat keji. Syariat menjadikan hukuman atas perbuatan ini termasuk hukuman yang paling keras, untuk menjaga agar masyarakat tidak menyebarkan sebab-sebab kerendahan.

Apabila wanita mengemudikan mobil, perbuatannya ini menjadi salah satu sebab yang mengantarkan kepada hal itu. Ini tidak samar lagi.

Akan tetapi, kebodohan terhadap hukum-hukum syariat dan terhadap akibat-akibat jeleknya, yang lahir dari sikap bermudah-mudah terhadap berbagai sarana kemungkaran, ditambah penyakit hati yang menimpa banyak orang, yaitu cinta terhadap gaya hidup permisif dan senang melihat wanita-wanita ajnabiyyah, semua ini menyebabkan perdebatan dalam masalah ini dan yang semisalnya. Perdebatan tersebut berjalan tanpa landasan ilmu dan tanpa kepedulian akan berbagai bahaya yang ada di baliknya. Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan (mengharamkan) perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (al-A’raf: 33)

Allah juga berfirman,

وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨

 

“Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 168)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sepeninggalku ujian yang lebih berbahaya bagi pria daripada godaan wanita.”

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir tertimpa kejelekan itu.

‘Wahai Rasulullah,’ kataku, ‘dahulu kami dalam keadaan jahiliah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini bagi kami. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?’

‘Ya, ada,’ jawab beliau.

‘Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?’ tanyaku lagi.

‘Ya, tetapi di dalamnya ada dakhan (kabut/asap),’ jawab beliau.

Aku bertanya pula, ‘Apa dakhannya?’

Beliau menjawab, ‘Satu kaum yang memberi hidayah selain hidayahku. Ada perkara yang kamu kenali dari mereka dan ada yang kamu ingkari.’

‘Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan?’

Beliau menjawab, ‘Ya. Para dai (penyeru) ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa yang menyambut panggilan mereka, akan mereka jebloskan ke dalamnya.’

‘Wahai Rasulullah, beri tahukan sifat-sifat mereka kepada kami.’

‘Mereka memiliki kulit yang sama dengan kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.’

‘Apa yang Anda perintahkan kepada saya apabila hal itu menjumpai saya?’

‘Berpeganglah pada jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka.’

‘Apabila mereka tidak memiliki imam (pemimpin) dan jamaah?’

Beliau memberikan bimbingan, ‘Tinggalkan seluruh kelompok itu walau kamu harus mengigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dalam keadaan kamu seperti itu’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saya menyeru semua muslim agar bertakwa kepada Allah dalam ucapan dan perbuatannya, dan agar waspada kepada fitnah dan para penyerunya. Hendaknya mereka menjauhi semua perkara yang dimurkai oleh Allah k atau yang menjerumuskan mereka kepadanya. Hendaknya pula mereka waspada, jangan sampai termasuk golongan penyeru yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang mulia ini.

Semoga Allah menjaga kita dari kejelekan fitnah dan pelakunya. Semoga Allah menjaga agama umat ini dan melindungi mereka dari kejelekan para penyeru kejelekan. Semoga pula Allah memberikan hidayah kepada para penulis media dan seluruh muslimin, menuju apa yang Dia ridhoi, dan menuju kebaikan urusan dan kesuksesan muslimin di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menguasai hal itu dan Mahamampu atasnya.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 509)

 

Wanita Mengumandangkan Azan

 Tanya 1:

Apa hukum azan seorang wanita?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah:

Azan sama sekali bukan hak wanita. Mengumandangkan azan bukanlah urusan wanita. Sebab, azan adalah perkara yang tampak dan terang-terangan. Yang seperti ini adalah tugas kaum pria. Sama halnya dengan tidak adanya tugas bagi kaum wanita untuk berjihad dan yang semisalnya.

Adapun orang-orang yang telantar, yaitu kaum Nasrani, memandang bahwa kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan, mereka memperlakukan kaum wanita dengan hal-hal yang bertentangan dengan fitrahnya dan menyamakan dua jenis manusia yang sesungguhnya berbeda.

(Lin Nisai Faqath hlm. 97)

Tanya 2:

Bolehkah wanita mengumandangkan azan dan iqamat, baik ketika sedang mukim maupun sedang bepergian, baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain?

Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

Azan dan iqamat tidak disyariatkan bagi wanita, sama saja apakah dia sedang mukim atau sedang safar. Azan dan iqamat adalah salah satu hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Lin Nisai Faqath hlm. 97)

 

Wanita Bermain Sepak Bola, Bolehkah?

Tanya:

Apakah boleh wanita bermain bola dan mengikuti pertandingannya?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah:

Tidak sepantasnya wanita bermain bola dengan cara yang dilakukan kaum pria saat ini. Ini apabila tidak ada seorang pria pun yang hadir, menyaksikan, dan mendengar mereka. Apabila ada pria yang hadir di tempat permainan mereka, keharamannya pasti dan permainan tersebut harus dicegah.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 666)

 

Waktu Shalat Bersamaan dengan Waktu Ujian Sekolah

Tanya:

Apabila waktu shalat jamaah berbenturan dengan waktu ujian atau pertengahan ujian, apa yang wajib dilakukan?

Dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah:

Metode yang seperti ini tidak di atas syariat. Sesuatu yang dibangun di atas landasan yang rusak adalah rusak pula. Orang yang masuk ke sekolah—yang menerapkan metode-metode yang tidak memerhatikan hukum syariat—seperti ini, akibatnya jelas, yaitu menyelisihi syariat.

Oleh karena itu, ada peribahasa, “Kalau tidak ingin bermimpi buruk, jangan tidur di antara kuburan.”

Orang yang ingin berpegang teguh pada syariat tidak boleh menisbahkan diri kepada sistem pendidikan atau metode yang menyelisihi syariat. Apabila dia menisbahkan diri kepadanya, tidak perlu mengajukan pertanyaan seperti ini. Sebab, dia tidak bisa menyia-nyiakan jerih payahnya dan tahun demi tahun yang dia lewati untuk bersekolah.

Oleh karena itu, hendaknya seseorang memulai aktivitasnya menuntut ilmu di atas metode yang ilmiah dan shahih. Sebab, sesuatu yang dibangun di atas landasan yang baik adalah baik pula, dan sesuatu yang dibangun di atas landasan yang rusak adalah rusak pula.

(Fatawa al-Mar’ah)

 

Maksud Ihsan (Berbuat Baik) kepada Anak-anak Perempuan

Tanya:

Apa makna perbuatan baik kepada anak-anak perempuan yang disebutkan dalam hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَتْ لَهُ ابْنَتَانِ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِمَا كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Barang siapa memiliki dua anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka, mereka akan menjadi pelindung baginya dari api neraka”?

Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

Berbuat baik kepada anak-anak perempuan dan yang semisal dengan mereka (adik, keponakan, dan selainnya yang ada di bawah asuhan seorang pria) dilakukan dengan cara mendidik mereka dengan pendidikan islami, mengajari dan mendidik mereka di atas kebenaran, dan bersemangat untuk menjaga kehormatan mereka serta menjauhkan mereka dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah, seperti tabarruj dan selainnya. Pendidikan bagi saudara-saudara perempuan dan anak-anak laki-laki juga seperti ini. Banyak pula bentuk kebaikan lain yang bisa dilakukan. Dengan demikian, semuanya terdidik di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, dan menegakkan hak Allah subhanahu wa ta’ala.

Dari penjelasan ini diketahui bahwa perbuatan baik yang dimaksud bukanlah semata-mata memberikan makanan, minuman, dan pakaian saja. Akan tetapi, yang dimaksud lebih umum, yaitu berbuat baik kepada mereka dalam urusan dunia dan akhirat.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 667)

 

Apakah Ibu Juga Mendapat Keutamaan Mengasuh Anak Perempuan?

Tanya:

Rasulullah  bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ

“Barang siapa memiliki tiga anak perempuan lalu bersabar terhadap mereka dan memberi mereka minum dan pakaian, mereka akan menjadi hijab/pelindung baginya dari api neraka.”

Apakah mereka akan menjadi pelindung dari api neraka untuk ayah saja, ataukah ibu ikut mendapatkan keutamaan itu? Saya, alhamdulillah, memiliki tiga anak perempuan.

Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

Hadits tersebut berlaku umum untuk ayah dan ibu, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَتْ لَهُ ابْنَتَانِ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِمَا كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Barang siapa memiliki dua anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka, mereka akan menjadi pelindung baginya dari api neraka.”

Demikian pula kalau dia memiliki saudara-saudara perempuan, bibi-bibi dari pihak ayah, bibi-bibi dari pihak ibu, atau yang semisal dengan mereka, lalu dia berbuat baik kepada mereka. Kita berharap bahwa dia mendapatkan surga karenanya. Kalau berbuat baik kepada mereka, dia berhak mendapatkan pahala yang besar, dilindungi dari api neraka, dan dihalangi antara dia dan neraka dengan sebab amalannya yang baik.

Ini khusus bagi kaum muslimin. Jika seorang muslim melakukan berbagai kebaikan ini dengan mengharapkan wajah Allah, hal itu akan menjadi sebab keselamatannya dari api neraka.

Selamat dari api neraka dan masuk ke surga itu memiliki banyak sebab. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya memperbanyak melakukan sebab tersebut. Islam itu sendiri merupakan satu-satunya fondasi. Islam juga merupakan sebab asasi masuknya seseorang ke surga dan selamat dari neraka.

Ada banyak amalan yang jika seorang muslim melakukannya, dia akan masuk surga dan selamat dari neraka. Misalnya, seseorang diberi rezeki berupa anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan. Jika dia berbuat baik kepada mereka, mereka akan menjadi pelindung baginya dari neraka.

Demikian pula seseorang yang tertimpa musibah kematian tiga anaknya yang belum balig. Ketiga anak tersebut akan menjadi pelindung baginya dari api neraka. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dua anak juga?” Beliau menjawab, “Dua anak juga.” Para sahabat tidak bertanya tentang satu anak (yang meninggal).

Akan tetapi, telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Allah berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang mukmin, apabila Aku mengambil seseorang yang dicintainya dari kalangan penduduk dunia lalu dia mengharapkan pahala, melainkan surga’.”

Allah menjelaskan bahwa tidak ada balasan bagi hamba yang mukmin, apabila Allah mengambil orang yang dicintainya dari kalangan ahli dunia kemudian dia sabar dan mengharapkan pahala, melainkan surga. Jadi, satu anak yang meninggal pun masuk dalam hadits ini. Jika Allah mengambilnya lalu ayahnya, ibunya, atau kedua-duanya bersabar dan mengharapkan pahala, keduanya mendapatkan surga. Ini keutamaan besar dari Allah.

Demikian pula apabila suami, istri, karib kerabat, dan teman-teman bersabar dan mengharapkan pahala, mereka masuk dalam hadits ini. Akan tetapi, hal ini harus diiringi usaha menjaga keselamatan diri agar tidak mati di atas dosa-dosa besar. Sebab, mati di atas dosa besar bisa menghalangi seseorang mendapatkan keutamaan tersebut. Kita meminta dari Allah keselamatan.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 667)

Sumber Tulisan:
Fatwa Wanita Edisi 14