ISTRI MENYEBARKAN RAHASIA RUMAH TANGGA
Tanya:
Seorang wanita tidak memiliki keinginan selain menceritakan keadaan rumahnya kepada keluarga dan tetangga, menyebarkan rahasia rumah tangga dan suaminya. Suaminya sudah memberikan pilihan kepadanya: tetap bersama suami dan tidak mendapat apa-apa selain nafkahnya, atau pergi dari suami. Si wanita memilih untuk tetap bersama suami. Apakah suami punya kewajiban-kewajiban lain kepada istrinya setelah syarat ini?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :
Perbuatan wanita ini adalah perbuatan yang haram. Tidak boleh seorang wanita menyebarkan rahasia rumah tangganya sedikit pun, tidak kepada keluarganya, tidak pula kepada selain mereka. Sebab, rahasia rumah tangga adalah amanat yang wajib dia jaga. Sungguh Allah berfirman,
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Dan wanita yang salihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka.” (an-Nisa’: 34)
Apabila pihak suami sudah mengadakan perdamaian dengan wanita ini—bahwa si wanita tetap tinggal bersama suami dan tidak ada hak baginya selain sebatas nafkah—dan si wanita sepakat dengan hal ini, tidak ada hak baginya selain nafkah, berdasarkan sabda Nabi,
اَلْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ اِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
“Kaum muslimin ada di atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan perkara yang haram atau mengharamkan perkara yang halal.”
Demikian pula sabda beliau yang lain,
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كاَنَ مِائَةَ شَرْطٍ
“ٍSyarat apa pun yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah batil walaupun ada seratus syarat.”
(Fatawa Mar’ah hlm. 424)
ISTRI BERMAKSIAT KEPADA SUAMI
Tanya:
Apa pendapat Anda tentang wanita yang tidak mau mendengar ucapan suaminya, tidak mau menaatinya, dan menyelisihinya dalam banyak hal, seperti keluar tanpa perintahnya dan terkadang keluar sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuannya?
Dijawab oleh asy-Syaikh Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan hafizhahullah:
Wajib bagi istri menaati suaminya dalam hal yang makruf, dan haram baginya bermaksiat kepadanya. Tidak boleh dia keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya. Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami memanggil istrinya untuk datang ke ranjangnya lalu si istri enggan sehingga suami bermalam dalam keadaan marah, malaikat akan melaknat si istri hingga masuk waktu pagi.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Kalau aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain, akan aku perintah wanita untuk sujud kepada suaminya karena besarnya haknya atas istrinya.”
Allah berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya (durhakanya) nasihatilah mereka dan jauhilah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa’: 34)
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa kaum pria memiliki kepemimpinan atas istrinya, dan apabila istri berperangai jelek, suami boleh melakukan pencegahan kepadanya. Ini salah satu hal yang menunjukkan kewajiban menaati suami dalam urusan yang makruf dan keharaman menyelisihinya tanpa hak.
(Fatawa Mar’ah hlm. 425)
BATASAN BOIKOT ANTARA SUAMI ISTRI
Tanya:
Telah diketahui bahwa pemboikotan seorang muslim kepada saudaranya lebih dari tiga hari adalah tidak boleh. Bagaimana hukum pemboikotan yang terjadi antara suami dan istri, baik untuk tujuan mendidik maupun sebab yang lain?
Dijawab oleh asy-Syaikh Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan hafizhahullah:
Apabila terjadi kedurhakaan dari istri pada hak suaminya dan sang suami sudah menasihatinya tetapi dia belum mau kembali (berubah) dari perbuatannya, suami boleh memboikotnya di tempat tidur. Maknanya, dia tidur bersama istrinya, tetapi tidak berbicara kepadanya dan memalingkan wajah darinya hingga dia bertobat. Hal ini tidak bertentangan dengan pengharaman pemboikotan muslim terhadap saudaranya lebih dari tiga hari. Sebab, hal ini adalah pemboikotan yang muqayyad (terbatas) di ranjang. Adapun yang dilarang adalah pemboikotan mutlak. Dengan kata lain, yang dilarang adalah pemboikotan bukan karena maksiat. Kedurhakaan istri teranggap sebagai maksiat sehingga dia boleh diboikot.
(Fatawa Mar’ah hlm. 426)
MEMATAHKAN GIGI GERAHAM ISTRI, ADAKAH QISHASHNYA?
Tanya:
Puncak pertengkaran saya dengan istri, saya memukulnya hingga patah gigi gerahamnya. Akan tetapi, gigi tersebut belum tanggal dari tempatnya. Apakah wajib qishash atas saya? Saya sepakat dengan istri untuk membayar kerugian dari kerusakan yang saya sebabkan. Apakah Anda memiliki jalan keluar? Berikanlah faedah kepada kami, semoga Anda mendapat pahala.
Dijawab oleh asy-Syaikh Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan hafizhahullah:
Tidak sepantasnya perselisihan berakhir sampai keadaan seperti ini, sampai memukul dan melukai atau mematahkan. Ini tidak boleh terjadi antara dua orang muslim. Apalagi, antara suami dan istri, ini perbuatan yang sangat keji. Sebab, Allah memerintahkan untuk bergaul dengan cara yang makruf.
Adapun masalah yang terjadi, yaitu patahnya gigi, dan apa yang wajib dalam masalah ini, ada dua keadaan:
Pertama, perdamaian di antara kalian berdua, bisa dengan dia memaafkan dan mengampuni Anda secara cuma-cuma. Ini adalah yang paling baik, berdasarkan firman Allah,
فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
“Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (asy-Syura: 40)
Bisa pula dengan dia memaafkan dan Anda membayar ganti rugi berupa harta kepadanya. Ini termasuk bab perdamaian. Perdamaian boleh di antara muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram atau mengharamkan perkara yang halal.
Kedua, memperkarakannya dan membayar diyat yang wajib diserahkan kepada istri. Yang ini harus berakhir ke mahkamah syar’iyyah agar bisa diperiksa perkaranya dan ditetapkan denda yang dijatuhkan akibat kejahatan ini.
(Fatawa Mar’ah hlm. 426)