Qonitah
Qonitah

fatwa wanita edisi 11

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Fatwa Wanita Edisi 11

fatwa-wanita-11Al-Ustadz Fauzan

 

HUKUM CAIRAN YANG KELUAR DARI WANITA

Tanya:

Apakah cairan yang keluar dari wanita itu suci atau najis? Apakah cairan tersebut membatalkan wudhu?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah :

Setelah saya teliti, yang tampak bagi saya ialah bahwa cairan yang keluar dari wanita, apabila keluar bukan dari saluran kencing, melainkan dari rahim, hukumnya adalah suci. Akan tetapi, cairan tersebut membatalkan wudhu walaupun suci. Sebab, pembatal wudhu tidak disyaratkan harus najis. Angin yang keluar dari dubur tidak najis, tetapi membatalkan wudhu.

Atas hal ini, apabila cairan tersebut keluar dari seorang wanita, padahal dia dalam keadaan sudah berwudhu, cairan tersebut membatalkan wudhu dan si wanita harus memperbarui wudhu. Apabila terus-menerus keluar, cairan itu tidak membatalkan wudhu. Akan tetapi, hendaknya si wanita tidak berwudhu untuk shalat, kecuali setelah masuk waktunya. Dia mengerjakan shalat pada waktu tersebut, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dia juga membaca al-Qur’an dan melakukan hal-hal mubah yang dia kehendaki. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para ulama tentang seseorang yang mengalami salasul baul (kencing terus-menerus, beser).

Inilah hukum cairan dari sisi kesuciannya. Dia suci, tidak menajisi pakaian ataupun badan. Adapun hukumnya dari sisi wudhu, dia adalah pembatal wudhu, kecuali apabila terus-menerus keluar dari seorang wanita. Apabila terus-menerus keluar, cairan tersebut tidak membatalkan wudhu, tetapi hendaknya si wanita tidak berwudhu untuk shalat, kecuali setelah masuk waktunya dan hendaknya dia menyumbatnya.

Adapun apabila cairan tersebut berhenti keluar, dan biasa berhenti pada waktu-waktu shalat, hendaknya si wanita mengakhirkan shalat sampai waktu berhentinya cairan tersebut selama dia tidak khawatir waktu shalat habis. Apabila khawatir waktu shalat habis, dia berwudhu dan menyumbatnya, lalu shalat. Tidak ada perbedaan antara cairan yang sedikit dan yang banyak. Sebab, semuanya keluar dari jalan (kemaluan) sehingga membatalkan wudhu, baik jumlahnya sedikit maupun banyak.

Adapun keyakinan sebagian wanita bahwa cairan tersebut tidak membatalkan wudhu, saya tidak mengetahui adanya landasan bagi keyakinan ini, selain pendapat Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm berkata, “Sesungguhnya hal ini tidak membatalkan wudhu.” Akan tetapi, beliau tidak menyebutkan dalilnya. Seandainya beliau memiliki dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah atau ucapan para sahabat, niscaya pendapat tersebut adalah hujah.

Wanita wajib bertakwa kepada Allah dan bersemangat akan kesuciannya. Sebab, shalat tidak akan diterima tanpa thaharah, walaupun dia shalat seratus kali. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang shalat tanpa thaharah berarti telah kafir karena perbuatannya ini termasuk istihza’/mengejek ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.

(Fatawa al-Mar’ah hlm. 31)

 

 

TIDUR DALAM KEADAAN DUDUK, MEMBATALKAN WUDHU?

Tanya:

Apakah tidur dalam keadaan duduk membatalkan wudhu atau tidak? Apabila seseorang duduk dengan melingkarkan tangannya ke lututnya, kemudian dia mengantuk dan terlepaslah pegangannya, lalu tangannya terkulai ke bumi; dia miring, tetapi rusuknya tidak sampai rebah ke bumi, apakah dia wajib berwudhu atau tidak?

Dijawab oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

Alhamdulillah. Adapun tidur yang ringan dari orang yang kokoh di tempat duduknya, hal ini tidak membatalkan wudhu menurut jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya imam yang empat dan selain mereka. Sebab, menurut mereka, tidur itu sendiri bukanlah hadats, melainkan posisi yang diduga terjadi hadats padanya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits di dalam as-Sunan,

اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِّ، فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ. وَفِي رِوَايَةٍ: فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Mata adalah pengikat dubur. Apabila kedua mata tidur, terlepaslah pengikat tersebut. Dalam sebuah riwayat, “Barang siapa tidur, hendaknya dia berwudhu.” (HR. al-Baihaqi)

Yang menunjukkan hal ini adalah hadits di dalam ash-Shahihain, “Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pernah tertidur hingga mendengkur, kemudian bangun untuk shalat dan tidak berwudhu.” Sebab, kedua mata beliau tertidur, tetapi hati beliau tidak. Hati beliau tetap berjaga. Kalau keluar sesuatu dari beliau, niscaya beliau merasakannya. Hal ini menjelaskan bahwa tidur itu sendiri bukanlah hadats. Seandainya tidur adalah hadats, tidak akan ada perbedaan dalam masalah ini antara Nabi dan manusia selain beliau, sebagaimana pada kencing, buang air besar, dan hadats-hadats yang lain.

Selain itu, telah tsabit (pasti) di dalam ash-Shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengakhirkan shalat isya hingga para sahabat Rasulullah mengangguk-anggukkan kepala mereka (karena mengantuk), kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu. Hal ini menjelaskan bahwa tidur bukanlah pembatal wudhu. Seandainya dia adalah pembatal wudhu, niscaya batal wudhu orang yang kepalanya terangguk-angguk karena tidur.

Setelah ini, para ulama memiliki tiga pendapat. Ada yang mengatakan bahwa semua jenis tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur orang yang duduk. Ini sebagaimana pendapat Malik dan sebuah riwayat dari Ahmad.

Ada yang berpendapat bahwa tidur orang yang berdiri dan duduk tidak membatalkan wudhu, sedangkan tidur orang yang rukuk dan sujud membatalkan wudhu. Sebab, orang yang berdiri dan duduk tidak akan terbuka jalan keluar hadatsnya, berbeda halnya dengan orang yang rukuk dan sujud.

Ada pula yang berpendapat bahwa tidur orang yang berdiri, duduk, rukuk, dan sujud tidak membatalkan wudhu, berbeda halnya dengan tidur orang yang berbaring dan selainnya. Ini sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Ahmad—dalam riwayat yang ketiga. Akan tetapi, mazhab Ahmad memberikan batasan, yaitu tidur yang ringan.

(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah hlm. 33)

 

 

WANITA MIMPI BASAH, WAJIB MANDI?[1]

Tanya:

Apakah wanita wajib mandi apabila mimpi basah?

Dijawab oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah :

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata dalam I’lam al-Muwaqqi’in 4/128, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh Ummu Sulaim, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu menerangkan kebenaran. Apakah wanita wajib mandi apabila dia bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, apabila dia melihat air.’ Ummu Salamah bertanya lagi, ‘Apakah wanita itu mengalami ihtilam (mimpi basah)?’ Rasulullah menjawab, ‘Taribat yadak (kedua tanganmu berdebu). Lalu, bagaimana anaknya bisa menyerupai dia?’

Dalam sebuah riwayat, Ummu Sulaim bertanya kepada Nabiyyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang melihat di dalam mimpinya sesuatu yang dilihat oleh pria. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apabila wanita melihat hal itu, hendaknya dia mandi.’

Disebutkan dalam al-Musnad, Khaulah bintu Hakim bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita yang melihat di dalam mimpinya sesuatu yang dilihat oleh pria. Rasulullah menjawab, ‘Tidak ada kewajiban mandi atasnya hingga dia mengeluarkan mani, sebagaimana pria tidak berkewajiban mandi hingga dia mengeluarkan mani’.”

(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 36)

 

 

TATA CARA MANDI JANABAH[2]

Tanya:

Bagaimanakah sifat (tata cara) mandi itu?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :

Sifat mandi ada dua:

  • Sifat yang wajib, yaitu membasahi seluruh badan dengan air, termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Apabila dia telah membasahi seluruh tubuhnya dengan cara apa pun, terangkatlah hadats besar darinya dan selesailah thaharahnya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ

 

“Apabila kalian junub, bersucilah.” (al-Maidah: 6)

  • Sifat yang sempurna, yaitu mandi sebagaimana mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Apabila hendak mandi dari janabah, beliau mencuci kedua telapak tangan, mencuci kemaluan dan kotoran-kotoran dari janabah, kemudian berwudhu dengan sempurna dengan tata cara yang telah kami sebutkan dalam bab wudhu. Setelah itu, beliau mencuci kepala dengan air tiga kali (beliau menyiramnya), kemudian mencuci seluruh tubuh. Inilah sifat mandi yang sempurna.

(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 37)

 

[1] Lihat pula pembahasan tentang ini di rubrik “Fikih Wanita” pada edisi ini.

[2] Nantikan pembahasan lebih lengkap tentang tata cara mandi janabah bagi wanita di rubrik “Fikih Wanita” edisi ke-12, insya Allah.

Sumber Tulisan:
Fatwa Wanita Edisi 11