Laki-laki Bersuci dengan Air Sisa Bersucinya Perempuan
Tanya:
Apa pendapat yang benar tentang bersucinya lelaki dengan air sisa perempuan?
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah:
Perbedaan pendapat tentang masalah ini adalah hal yang masyhur. Pendapat mayoritas ulama—dan ini salah satu dari dua riwayat Ahmad—menyatakan bahwa seorang lelaki tidak dilarang bersuci dengan air sisa bersucinya perempuan, sama saja apakah air itu khusus bagi perempuan itu atau tidak, dan sama saja apakah untuk membersihkan hadats atau kotoran. Ini pendapat yang shahih, bahkan yang benar, berdasarkan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang mandi dengan air sisa Maimunah. Tanpa diragukan lagi, hadits ini lebih shahih daripada hadits yang melarang seorang lelaki mandi dengan air sisa bersucinya perempuan. Bahkan, mayoritas ulama tidak menilai hadits ini shahih, sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan hujah.
Pendapat ini dikuatkan pula oleh keumuman perintah bersuci dengan air tanpa batasan. Maka dari itu, seluruh air yang tidak berubah oleh najis masuk dalam keumuman ini. Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا
“… dan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik.” (al-Maidah: 6)
Tidak diperbolehkan tayamum kecuali jika tidak ada air. Tanpa diragukan lagi, air sisa bersucinya perempuan ini tetap disebut air. Sementara itu, Pembuat syariat tidak melarang sesuatu tanpa sebab.
Air sisa ini sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dengan sabda beliau,
إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ
“Sesungguhnya air itu tidak junub.”
Seandainya lelaki dilarang bersuci dengan air sisa bersucinya perempuan, padahal ini sering terjadi dan sulit dihindari, pasti akan datang nash-nash shahih yang menjelaskannya. Oleh sebab itu, jelaslah bahwa pendapat ini (yang menyatakan bolehnya lelaki bersuci dengan air sisa bersucinya perempuan) adalah pendapat yang benar.
Adapun riwayat lain dari al-Imam Ahmad—yang merupakan riwayat yang masyhur di kalangan ulama mutaakhirin (ulama belakangan)—melarang lelaki bersuci dengan air yang telah dipakai secara khusus oleh perempuan untuk menyucikan hadats. Hadits yang mereka jadikan landasan tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah ini karena dha’if (lemah) dan menyelisihi dalil-dalil lain. Selain itu, membatasinya dengan thaharah dari hadats (yakni lelaki tidak boleh bersuci dengan air sisa bersucinya perempuan dari hadats, –pent) merupakan pembatasan yang tidak ada dalilnya.
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 10)
Hukum Air yang Telah Dicampur Bahan Kimia
Tanya:
Apa hukum air mengalir, yang telah dicampur dengan bahan-bahan kimia dan dipakai untuk mengairi tanaman-tanaman, apabila mengenai pakaian? Apakah air itu menajiskannya? Apa hukum berwudhu dengannya?
Dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah:
Air najis adalah air yang sudah terurai dan keluar dari hakikatnya (suci), sehingga dihukumi dengan hakikat lain (najis). Air tidak menjadi najis kecuali jika berubah salah satu dari tiga sifatnya—rasa, warna, dan baunya—karena terkena benda najis.
Air yang thahur (suci dan menyucikan) tidak memiliki warna, rasa, ataupun bau. Kaidahnya seperti disebutkan dalam hadits,
الْمَاءُ طَهُورٌ، لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu thahur, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.”
Kaidah ini menjadi hakim (penentu) atas hadits dua qullah. Apabila air kurang dari dua qullah dan jatuh padanya najis sehingga hakikat air tersebut berubah, air itu telah najis walaupun lebih dari dua qullah. (Lin Nisa’i Faqath hlm. 10)
Muntah Anak-anak Najis?
Tanya:
Apakah muntah anak-anak najis atau tidak?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Maqshud:
Hukum asal segala sesuatu adalah suci. Keluarnya muntah dari usus besar dan berubahnya baunya tidak menjadikan kita menghukuminya sebagai najis. Hukum asal muntah adalah suci dan bukan pembatal wudhu. Orang-orang yang mengiaskan muntah dengan tinja karena sama-sama keluar dari usus besar, dan bau serta rasanya pun berubah, seharusnya mengiaskannya dengan kentut.
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 9)
Membaca al-Qur’an Tanpa Berwudhu?
Tanya:
Bolehkah lelaki atau perempuan membaca al-Qur’an dan menyentuh mushaf tanpa berwudhu?
Dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah:
Membaca al-Qur’an tanpa berwudhu adalah hal yang diperbolehkan. Sebab, tidak ada nash di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah yang menyatakan sebaliknya, yakni menyatakan tidak bolehnya membaca al-Qur’an tanpa thaharah.
Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara lelaki dan perempuan. Bahkan, tidak ada perbedaan antara lelaki yang suci dan yang tidak suci, atau perempuan yang haid dan yang tidak haid.
Di antara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dalam Shahih Muslim bahwa Nabi selalu berzikir kepada Allah di setiap keadaan. Sementara itu, syariat melarang perempuan yang haid mengerjakan shalat. Larangan ini mencegahnya dari hikmah yang besar, yaitu beribadah kepada Allah sebagaimana ibadahnya sebelum dia haid. Maka dari itu, kita tidak boleh mempersempit lingkup ibadah untuknya yang sebelumnya disyariatkan bersamaan dengan shalat. Dia dilarang dari shalat, tetapi tidak dilarang dari selainnya. Kita berikan keleluasaan sebagaimana yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada manusia.
Berkaitan dengan masalah ini, saya sering menyebutkan hadits Sayyidah ‘Aisyah j ketika berhaji bersama Nabi . Ketika mereka singgah di Saraf, sebuah tempat di dekat Mekah, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mendapati ‘Aisyah sedang menangis karena haidnya. Beliau ` pun bersabda,
اصْنَعِي مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَلَّا تَطُوفِي وَتُصَلِّي
“Lakukanlah semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali thawaf dan shalat.”
Beliau tidak melarangnya membaca al-Qur’an ataupun masuk ke Masjidil Haram.
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 14)
Menyentuh Kemaluan Anak Kecil Membatalkan Wudhu?
Tanya:
Apakah menyentuh aurat anak kecil membatalkan wudhu? Bolehkah perempuan yang haid masuk ke masjid untuk mendengarkan pelajaran? Di rekaman, pertanyaan ini tidak ada. Judulnya هل لمس عورة الطفل ينقض الوضوء؟ وما هي أقصى مدة للنفاس؟ (Kami tidak mendapatkan yang berbentuk tulisan.) Di jawaban pun masalah ini tidak disinggung. Berapakah waktu nifas terlama?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Maqshud:
Dalam hadits Busrah bintu Shafwan j yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ash-habus Sunan (para penyusun kitab-kitab as-Sunan, -ed.) dengan sanad yang shahih, disebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, janganlah dia shalat sebelum berwudhu.”
Ini adalah dalil bahwa menyentuh zakar merupakan pembatal wudhu. Maka dari itu, disunnahkan bagi perempuan untuk berwudhu apabila dia menyentuh kemaluannya.
Disebutkan dalam hadits Ummu Habibah j, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih, Nabi ` bersabda,
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barang siapa menyentuh farj-nya hendaknya dia berwudhu.”
Telah saya sebutkan bahwa secara bahasa, al-farj mencakup qubul dan dubur. Dengan demikian, hadits Ummu Habibah mencakup lelaki dan perempuan. Lebih-lebih, telah tsabit dalam Musnad al-Imam Ahmad dengan sanad yang hasan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash , bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
“Lelaki mana pun yang menyentuh kemaluannya hendaknya berwudhu, dan perempuan mana pun yang menyentuh kemaluannya hendaknya berwudhu.”
Ini mencakup lelaki dan perempuan, serta qubul dan dubur.
Dari sini, al-Imam Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh kemaluannya, dia wajib berwudhu pada hal-hal yang disyaratkan padanya berwudhu, seperti shalat, thawaf di Ka’bah, dan menyentuh mushaf.
Al-Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perintah dalam hadits-hadits ini menunjukkan hukum mustahab (sunnah). Sebab, telah tsabit dalam riwayat Ahmad dan Ash-habus Sunan dengan sanad yang shahih, dari Thalq bin ‘Ali a, dia berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, “Salah seorang dari kami memegang kemaluannya. Apakah dia perlu berwudhu untuk shalat?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
“Hanya saja kemaluanmu itu bagian darimu.”
Dalam lafadz lain,
وَهَلْ هُوَ إِلَّا بَضْعَةٌ مِنْكَ
“Tidaklah dia (kemaluanmu) melainkan bagian darimu.”
Maksudnya, kemaluanmu adalah salah satu bagian tubuhmu.
Tentu, hadits-hadits pertama tadi bertolak belakang dengan hadits Thalq bin ‘Ali secara zahir. Sementara itu, yang telah ditetapkan dalam (ilmu) ushul, apabila dua nash bertolak belakang secara zahir, wajib dikompromikan terlebih dahulu. Apabila kita tidak mampu mengompromikannya, dilakukan naskh (penghapusan hukum dari hadits yang terjadi lebih dahulu, -ed.) apabila diketahui kronologinya.
Adapun di sini, bisa dilakukan kompromi. Dikatakan oleh Abu Hanifah, sabda beliau, “Tidaklah dia (kemaluanmu) melainkan bagian darimu” menunjukkan bahwa perintah berwudhu adalah perintah mustahab, sedangkan larangan shalat sebelum berwudhu bagi orang yang memegang kemaluannya tanpa pembatas adalah larangan lit tanzih (menunjukkan hukum makruh, bukan haram). Dengan demikian, terjadilah penggabungan di antara dalil-dalil. Inilah yang rajih (kuat) menurut saya.
Akan tetapi, dalam masalah ini ada pembahasan yang panjang. Di antara para ulama ada yang berpendapat naskh (dihapusnya hukum ini), seperti Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad. Namun, beliau menempuh metode naskh dengan beberapa hal yang tidak ditetapkan oleh ulama ushul sebagai naskh.
Ketika kita katakan, “Thalq bin ‘Ali lebih dahulu masuk Islam daripada Busrah bintu Shafwan”, apakah hal ini bermakna bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Busrah terjadi setelah hadits Thalq? Tidak! Bisa jadi, hadits tersebut termasuk mursal shahabi (Busrah mendapatkan hadits itu dari sahabat yang lain, tetapi dia tidak menyebutkan nama sahabat tersebut dan langsung menisbahkan haditsnya kepada Nabi, –pent.).
Thalq bin ‘Ali lebih tahu daripada kita kapan dia membawakan hadits ini. Kesimpulannya, tidak perlu kita menoleh kepada naskh atau tarjih (penguatan salah satu hadits) selama masih bisa dilakukan penggabungan (kompromi).
Al-Imam Ahmad, Malik, dan asy-Syafi’i berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh kemaluannya, hendaknya dia berwudhu. Adapun dalam mazhab al-Imam Ahmad, jika seseorang menyentuh kemaluan orang lain, dia juga berwudhu. Hal ini berdasarkan hadits Busrah bintu Shafwan yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad,
وَيَتَوَضَّأُ مَنْ مَسَّ الذَّكَرَ
“…dan berwudhu orang yang menyentuh kemaluan.”
Mereka berpendapat bahwa hal ini mencakup kemaluannya sendiri dan kemaluan orang lain. Akan tetapi, hadits Busrah bintu Shafwan adalah satu hadits dengan dua lafadz. Lafadz yang pertama, yaitu مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ (barang siapa menyentuh kemaluannya) adalah lafadz yang muqayyad (terikat). Adapun lafadz kedua, yaitu وَيَتَوَضَّأُ مَنْ مَسَّ الذَّكَرَ (dan berwudhu orang yang menyentuh kemaluan), adalah lafadz yang mutlak (tidak terikat). Lafadz yang mutlak hendaknya dibawa kepada yang muqayyad karena hadits ini satu dengan dua lafadz.
Atas dasar ini, perempuan yang memandikan anaknya lalu menyentuh kemaluan si anak, dia tidak perlu berwudhu. Lelaki yang menyentuh kemaluan anaknya juga tidak perlu berwudhu. Saya berpendapat demikian. Akan tetapi, untuk saya pribadi, saya akan berwudhu. Hanya saja, larangan ini lit tanzih (menunjukkan hukum makruh). Ini termasuk bab mustahab dan kehati-hatian.
Adapun tentang masa nifas, al-Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa masa nifas yang paling lama adalah 40 hari, menurut asy-Syafi’i 60 hari, sedangkan menurut al-Hasan al-Bashri 50 hari. Akan tetapi, diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan selain an-Nasa’i, dari Ummu Salamah j, dia berkata, “Dahulu pada zaman Nabi, wanita yang nifas berdiam selama 40 hari, yakni tidak shalat. Dahulu kami membaluri wajah kami dengan lulur dari tetumbuhan.” Hadits ini sanadnya shahih li ghairihi. Hadits ini shahih karena memiliki syawahid (penguat), yaitu hadits Anas dan yang selainnya.
Jadi, kita katakan bahwa batas maksimal nifas bagi perempuan adalah 40 hari. Apabila darah terus keluar setelah hari ke-40, dia mandi, kemudian berwudhu setiap kali hendak shalat. Dia tidak perlu memedulikan darah yang keluar setelah hari ke-40 karena itu adalah darah istihadhah.
Apabila dia melihat bahwa dirinya telah bersih sebelum hari ke-40, misalnya setelah hari ke-20, dia mandi dan shalat. Jika darah keluar lagi lima hari kemudian (yakni pada hari ke-25), padahal dia telah mandi, shalat, dan berpuasa Ramadhan, berarti dia masih dalam masa nifas. Shalat dan puasanya tidak sah sehingga dia harus mengqadha puasanya, tetapi tidak perlu mengqadha shalatnya.
(Lin Nisa’i Faqath hlm. 15—17)