Kapan Wanita Wajib Berpuasa
Tanya:
Seorang remaja putri telah berusia 12 atau 13 tahun. Ketika datang bulan Ramadhan, dia tidak berpuasa. Apakah dia atau walinya terkena suatu kewajiban? Apakah dia wajib berpuasa? Jika tidak berpuasa, apakah dia terkena suatu kewajiban?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab,
“Seorang wanita menjadi mukallaf (mendapat beban syariat) dengan beberapa syarat, yaitu Islam, berakal, dan balig. Tanda-tanda balig adalah haid, ihtilam (mimpi basah), tumbuhnya rambut kasar di sekitar kemaluan, atau genap berusia lima belas tahun. Apabila syarat-syarat di atas telah sempurna pada diri si remaja putri, dia wajib berpuasa dan wajib mengqadha (mengganti) puasa yang dia tinggalkan. Apabila salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, ia bukan mukallaf sehingga tidak terkena kewajiban apa pun.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 447)
Wanita yang Suci dari Haid Setelah Terbit Fajar
Tanya:
Jika seorang wanita suci (dari haidnya) persis setelah terbit fajar. Apakah ia harus berpuasa pada hari itu sehingga terhitung berpuasa pada hari itu, atau ia wajib mengqadha?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Apabila seorang wanita suci dari haid setelah terbit fajar, ada dua pendapat para ulama tentang puasanya pada hari itu. Menurut pendapat pertama, dia wajib berpuasa pada sisa waktu hari tersebut. Akan tetapi, dia tidak terhitung berpuasa dan wajib mengqadha. Ini pendapat yang masyhur dari mazhab al-Imam Ahmad rahimahullah .
Adapun menurut pendapat kedua, dia tidak wajib berpuasa pada sisa waktu hari tersebut. Sebab, pada hari tersebut tidak sah baginya berpuasa karena pada awal hari ia tidak termasuk orang-orang yang wajib berpuasa. Jika puasanya tidak sah, tidak ada faedahnya ia berpuasa. Waktu ini pun bukan waktu yang haram baginya (untuk makan, minum, dan sebagainya) karena ia diperintah untuk berbuka pada awal hari, bahkan haram baginya berpuasa.
Sebagaimana kita ketahui, definisi puasa menurut syariat adalah menahan diri dari pembatal-pembatal (puasa) dalam rangka beribadah kepada Allah k sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Pendapat kedua ini, menurut kami, lebih rajih (kuat) daripada pendapat yang menyatakan wajibnya berpuasa. Akan tetapi, kedua pendapat ini sama-sama menyatakan bahwa wanita tersebut wajib mengqadha puasa hari tersebut.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 449)
Wanita Terasa Mau Haid,
Tetapi Darah Baru Keluar Setelah Matahari Terbenam
Tanya:
Apabila seorang wanita merasakan adanya darah haid, tetapi darah belum keluar sebelum terbenamnya matahari, atau ia merasakan nyeri haid, apakah puasanya pada hari itu sah atau ia wajib mengqadha?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Apabila seorang wanita yang sedang suci merasakan datangnya haid ketika ia berpuasa, atau merasakan nyeri haid, tetapi darah baru keluar setelah terbenamnya matahari, puasanya itu sah. Jika puasa tersebut puasa wajib, ia tidak wajib mengulanginya; jika puasa sunnah, pahalanya tidak batal.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 452)
Wanita Hamil Mendapati Bercak Darah
Tanya:
Istri saya hamil dua bulan. Ia mendapati bercak darah pada awal Ramadhan, tepatnya sesudah isya. Beberapa hari kemudian, bercak darah tersebut keluar lagi sebelum matahari tenggelam. Darah tersebut berwarna cerah. Perlu diketahui, ketika itu ia terus berpuasa. Apa yang harus dia lakukan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Apabila wanita tersebut hamil, lalu keluar darah secara tidak teratur, tidak seperti sebelum ia hamil, darah ini bukan darah haid, baik berupa satu titik, dua titik, maupun banyak. Sebab, darah yang dilihat oleh wanita hamil (keluar dari dirinya), dianggap sebagai darah rusak. Akan tetapi, jika darah itu merupakan kebiasaan yang teratur semenjak sebelum hamil, maka itu adalah darah haid. Adapun jika darah itu terhenti kemudian kembali muncul, sesungguhnya wanita tersebut harus berpuasa dan shalat, puasanya sah demikian pula shalatnya. Ia tidak memiliki tanggungan apapun.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 453)
Mandi Janabah Setelah Terbitnya Fajar
Tanya:
Apabila seorang wanita suci dari haid atau nifas sebelum terbitnya fajar dan baru sempat mandi janabah setelah terbitnya fajar, apakah puasanya sah atau tidak?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Ya. Puasa seorang wanita yang suci dari haid sebelum fajar dan baru sempat mandi setelah terbitnya fajar adalah sah. Demikian pula wanita yang nifas. Sebab, ketika itu dia termasuk orang yang wajib berpuasa. Dia memiliki kesamaan dengan orang yang junub, lalu terbit fajar dalam keadaan dia masih junub. Puasanya sah berdasarkan firman Allah l,
فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Maka sekarang, campurilah mereka (istri-istri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah: 187)
Apabila Allah mengizinkan suami menggauli istri sampai jelas terbitnya fajar, hal ini berkonsekuensi suami baru bisa mandi setelah terbitnya fajar.
Selain itu, puasanya sah berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعِ أَهْلِهِ وَهُوَ صَائِمٌ
“Nabi n pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub—karena jima’ dengan istri beliau—dan beliau berpuasa.”
Maksudnya, beliau n baru mandi janabah setelah terbitnya fajar.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 455)
Wanita Hamil atau Menyusui yang Tidak Berpuasa
Tanya:
Apabila wanita yang hamil atau sedang menyusui mengkhawatirkan (keselamatan) dirinya atau anaknya pada bulan Ramadhan sehingga dia pun berbuka, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia berbuka, memberi makan (membayar fidyah), dan mengqadha; atau berbuka, mengqadha, dan tidak membayar fidyah; atau berbuka, membayar fidyah, dan tidak mengqadha? Mana yang benar dari ketiga hal ini?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab,
“Apabila wanita hamil mengkhawatirkan dirinya atau janinnya karena puasa Ramadhan, dia berbuka dan wajib mengqadha saja. Kondisinya seperti kondisi orang yang tidak mampu berpuasa atau khawatir dirinya tertimpa mudarat jika berpuasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ
“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 185)
Demikian pula wanita yang menyusui. Apabila ia mengkhawatirkan dirinya jika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau mengkhawatirkan anaknya jika ia berpuasa sehingga ia tidak bisa menyusuinya, ia boleh berbuka dan wajib mengqadha saja.
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 469)[1]
Suami Memaksa Istri untuk Berjima’
Tanya:
Apabila suami menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan—dia memaksa istrinya untuk melayaninya—dan mereka berdua tidak mampu memerdekakan budak ataupun berpuasa karena sama-sama sibuk mencari nafkah, bolehkah mereka memberi makan orang miskin saja? Berapa ukuran makanan tersebut dan apa jenisnya?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab.
“Apabila suami memaksa istrinya untuk berjima’, padahal mereka berdua sedang berpuasa, puasa sang istri sah dan tidak ada kaffarah baginya. Adapun suami, dia harus membayar kaffarah karena jima’ yang terjadi adalah inisiatifnya dan dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan. Kaffarahnya adalah memerdekakan budak; jika tidak mendapatkannya, berpuasa dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu, memberi makan enam puluh orang miskin. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah a dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Selain itu, dia wajib mengqadha.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 472)
Hukum Memakai Celak di Siang Hari
Tanya:
Apa hukum memakai celak atau beberapa alat kecantikan pada siang hari bulan Ramadhan bagi wanita? Apakah hal itu membatalkan puasa atau tidak?
Jawab:
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab,
“Celak tidak membatalkan puasa, baik bagi perempuan maupun laki-laki, secara mutlak. Ini menurut pendapat yang lebih benar di antara dua pendapat para ulama. Namun, yang lebih utama bagi orang yang berpuasa adalah memakainya pada malam hari. Demikian pula alat-alat kecantikan wajah, seperti sabun dan minyak, atau alat kecantikan untuk permukaan kulit, seperti hena (pacar), make–up, dan semisalnya. Akan tetapi, sebaiknya make–up tidak dipakai jika berdampak negatif pada wajah.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 482)
Orang Tua yang Tidak Mampu Berpuasa
Tanya:
Ibu saya jatuh sakit beberapa hari sebelum bulan Ramadhan. Sakit tersebut telah membuat beliau lemah—beliau telah berusia lanjut. Beliau telah berpuasa selama lima belas hari dan tidak mampu berpuasa pada hari-hari berikutnya. Beliau juga tidak mampu mengqadha. Sahkah apabila beliau bersedekah (membayar fidyah, -ed.)? Berapa kadar sedekah yang mencukupi setiap hari? Perlu diketahui, sayalah yang mencukupi nafkah beliau. Bolehkah saya membayarkan tanggungan beliau ketika beliau tidak memiliki sesuatu untuk disedekahkan?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Da’imah menjawab,
“Barang siapa tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, dia berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)
Ibnu ‘Abbas h berkata, ‘Ayat tersebut turun sebagai keringanan bagi laki-laki ataupun perempuan lanjut usia yang tidak mampu berpuasa. Mereka memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang mereka tidak berpuasa.’ (HR. al-Bukhari)
Dengan demikian, ibu Anda wajib memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang beliau tidak berpuasa, sebanyak setengah sha’ makanan pokok di daerah Anda. Jika ibu Anda tidak mendapatkan makanan untuk diberikan, beliau tidak terkena kewajiban apa pun. Apabila Anda ingin membayarkan fidyah atas nama beliau, hal ini merupakan perbuatan baik. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 509)
Hukum Mengonsumsi Obat Pencegah Haid
Tanya:
Apa pendapat Anda tentang mengonsumsi obat pencegah haid karena seorang wanita ingin berpuasa bersama kaum muslimin?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Saya peringatkan para wanita agar menghindari obat ini. Sebab, obat-obat ini mengandung dampak negatif yang besar. Hal ini saya ketahui dari para dokter. Saya katakan kepada wanita yang bertanya, haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah atas putri-putri Nabi Adam. Oleh karena itu, terimalah apa yang telah Dia tetapkan. Berpuasalah selama tidak ada penghalang, dan ketika ada penghalang, berbukalah sebagai bentuk keridhaan terhadap takdir Allah subhanahu wa ta’ala.”
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 513)
[1] Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat yang cukup kuat di kalangan para ulama.