Qonitah
Qonitah

fathimah bintu rasulillah bagian-2

10 tahun yang lalu
baca 9 menit
Fathimah Bintu Rasulillah Bagian-2

figur-mulia-11Al-Ustadzah Hikmah

Fathimah Bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wassalam

Pemimpin Para Wanita Penghuni Surga

(Bagian ke-2)

Sebagian sisi kemuliaan sosok Fathimah bintu Rasulillah telah kita ketahui pada edisi lalu. Kali ini, kita masih membahas figur mulia ini, yang menjadi pemimpin wanita penduduk surga. Duhai, betapa agungnya keistimewaan yang ia raih.

Anda tentu bertanya-tanya dan ingin mengetahui lebih banyak tentang beliau. Nah, mari kita teropong lebih jauh jati diri tokoh kita ini. Yuk, kita simak.

 

Berwibawa Semenjak Kecil

Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dikisahkan bahwa dahulu, ketika Nabi ` masih tinggal di Makkah, beliau melakukan shalat di sisi Baitullah (ka’bah). Tidak jauh dari tempat itu, Abu Jahl dan kawan-kawannya sedang duduk-duduk bergerombol. Mereka, yang berjumlah tujuh orang itu, saling berbisik guna melancarkan makar jahat.

“Siapakah di antara kalian yang bisa mengambil kotoran anak unta, darah, beserta kulit janinnya, lalu meletakkannya di atas punggung Muhammad ketika ia sujud?” tanya salah seorang di antara mereka.

Berangkatlah ‘Uqbah bin Abu Mu’aith, orang yang paling celaka dari segerombolan kafir Quraisy tersebut. Ia pun mengambil kotoran anak unta, darah, dan kulit janinnya. Ia menanti sebentar. Sampai ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bergerak turun dan sujud, ia segera meletakkan benda-benda tersebut di atas punggung Nabi Muhammad, di antara kedua pundak beliau.

Sahabat mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud, yang meriwayatkan hadits ini bergumam, “Aku hanya bisa melihat, tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah ulah buruk mereka. Duhai, andai aku mempunyai kekuatan (kemampuan untuk melawan), niscaya kubuang kotoran unta itu dari (pundak) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam .”

Seketika itu, tujuh gembong musyrikin Quraisy itu tertawa terbahak-bahak dengan pongahnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam meneruskan sujud beliau dan tidak mengangkat kepala sama sekali. Sampai akhirnya, datanglah Fathimah kecil sambil berlari. Segera dibuangnya kotoran unta itu dari punggung sang ayah. Fathimah kecil yang pemberani dan berwibawa ini mendatangi ketujuh gembong Quraisy itu sambil mencaci maki mereka. Ketujuh orang itu tidak berani membantahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun menengadahkan kepala beliau seraya berdoa,

اَللهم عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ

“Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir Quraisy itu.”

Beliau memanjatkan doa tersebut, mengulang-ulanginya sebanyak tiga kali.

Ketika mendengar suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mendoakan kebinasaan atas mereka, seketika itu pula mereka menghentikan tawa. Mereka takut akan akibat buruk doa beliau. Orang-orang Quraisy berkeyakinan bahwa doa di negeri Makkah terkabulkan.

Rasulullah menyebut nama mereka satu per satu, “Ya Allah, binasakanlah Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Khalaf, dan ‘Uqbah bin Abu Mu’aith.” Beliau[1] menyebut orang ketujuh, tetapi kami[2] tidak hafal (siapa dia).

Setelah membawakan hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar t, dalam Fathul Bari, menarik beberapa faedah ilmu darinya. Di antara faedah tersebut, hadits di atas menunjukkan kuatnya jiwa Fathimah az-Zahra’ dan ketabahan hatinya semenjak dia masih berusia belia. Hadits di atas juga menggambarkan kepada kita bahwa Fathimah berkedudukan mulia, berkepribadian pemberani, dan berwibawa di tengah kaumnya.

Bayangkan, Fathimah kecil itu dengan tegas dan lantangnya mencaci maki gembong-gembong musyrikin Quraisy itu, tetapi mereka tidak berani mengadakan serangan balik sedikit pun. (Fathul Bari, syarah hadits no. 240)

 

Paling Memiliki Tempat di Hati Ayahanda

Pembaca, mungkin Anda pernah mendengar sebuah hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anha bahwa orang-orang Quraisy digemparkan oleh suatu kejadian yang menimpa seorang wanita al-Makhzumiyyah (dari kabilah Bani Makhzum, salah satu kabilah mulia, kabilah para bangsawan). Wanita itu telah mencuri yang mengharuskan tangannya dipotong.

Karena wanita itu dipandang terhormat dan berkedudukan di tengah masyarakat Quraisy pada saat itu, serta-merta mereka ingin melindunginya dari hukuman had berupa potong tangan, yang sudah berlaku di tengah masyarakat itu sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam .

Mereka berkata, “Siapakah yang sanggup mengangkat permasalahan ini kepada Rasulullah, untuk melindungi wanita dari Bani Makhzum ini dari hukuman had potong tangan?”

Mereka beranggapan bahwa tidak ada yang berani mengusulkannya kepada Rasulullah selain Usamah bin Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam . Usamah pun mencoba melakukannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mendengar syafaat (permohonan bantuan) yang diajukan oleh Usamah, Rasulullah marah seraya berseru, “Apakah engkau hendak memintakan keringanan salah satu hukum had Allah untuk orang lain?”

Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berdiri di tengah para sahabat dan berkhotbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah tersesat orang-orang sebelum kalian. Apabila ada orang terhormat melakukan perbuatan mencuri (termasuk korupsi dan sejenisnya, -pent.), mereka membiarkannya (tidak menegakkan hukum had atasnya). Namun, apabila yang mencuri adalah orang yang (dianggap) lemah/rendahan di antara mereka, mereka menegakkan hukum had atasnya. Sungguh, demi Allah, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, pasti aku (Nabi Muhammad, sebagai waliyyul amri/pemerintah, -pent.) akan memotong tangannya.”

Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan agar wanita yang telah mencuri itu dibawa ke hadapan beliau, lalu dipotonglah tangannya. (HR. al-Bukhari no. 6788)

Pembaca yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala, mari kita renungkan khotbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di atas!

Khotbah tersebut menegaskan bahwa setiap perbuatan jahat (jinayah) yang mengakibatkan pelakunya dijatuhi hukuman had dalam syariat Islam, apabila perkaranya telah sampai ke hadapan pemerintah (wulatul umur), hukuman had tersebut harus tetap ditegakkan atas setiap mukallaf, siapa pun dia, baik orang rendahan maupun orang elite sekalipun, tanpa ada rasa pekewuh (bhs. Jawa; sungkan, -ed.)!

Dalam khotbah di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan secara khusus putri tersayang beliau, yaitu Fathimah radhiyallahu ‘anha. Hal ini sebagai perumpamaan untuk memberikan kesan mubalaghah (penekanan) bahwa hukum had tetap harus ditegakkan atas setiap mukallaf, siapa pun dia, sekalipun pelakunya adalah Fathimah bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa Fathimah adalah orang yang terkasih dan tersayang dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di antara sekian keluarga beliau yang masih hidup. Karena itulah Fathimah dijadikan sebagai perumpamaan dalam hadits di atas.

Namun, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjaga Fathimah dari melakukan perbuatan jahat yang membawa kepada hukum had. (Disadur dari Fathul Bari, syarah hadits no. 6788 hlm. 357—358)

 

Berhias dengan Akhlak yang Terpuji

Figur kita ini merupakan sosok wanita yang sangat penyabar dan dihiasi dengan sifat qana’ah, yang sudah pasti kedua sifat ini sangat dibutuhkan oleh kaum Hawa.

Kabar gembira bagi Anda, ibu rumah tangga, yang dalam keseharian tersibukkan oleh amalan-amalan besar:

  • Mengurus rumah, merapikannya, dan selalu menjaga kebersihannya.
  • Mendidik dan mengajar anak-anaknya.
  • Membantu dan melayani kebutuhan suami.

Jika amalan-amalan ini dilakukan dengan tulus ikhlas hanya mencari ridha Allah, surgalah pahalanya.

Lalu, apa kesibukan sehari-hari seorang wanita yang telah diangkat—melalui wahyu—sebagai pemimpin para wanita penghuni surga ini? Ternyata, beliau adalah wanita yang sibuk dengan kewajiban-kewajiban rumah tangganya, sampai-sampai kedua telapak tangan beliau menebal (kapalan) kerena membuat adonan-adonan khubz (sejenis roti), makanan pokok bangsa Arab.

Dalam sebuah hadits, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suami Fathimah radhiyallahu ‘anha, mengisahkan, “Pada suatu hari, Fathimah mengadukan rasa sakit, akibat bekas kapal (kulit yang menebal) yang tergores, di telapak tangannya.”

Karena kasihan, ‘Ali berkata, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan beberapa tawanan perang kepada ayahmu (Rasulullah). Temuilah beliau, lalu mintalah seorang budak wanita!” Demikian saran sang suami.

Fathimah sendiri telah mendengar kabar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memperoleh beberapa tawanan perang (budak-budak). Beliau pun datang menemui sang ayahanda untuk meminta seorang budak wanita yang akan membantu pekerjaan-pekerjaan beliau. Namun, sayang sekali, Fathimah tidak mendapati sang ayahanda, sehingga beliau hanya menceritakan keperluannya itu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Setelah Rasulullah pulang, Aisyah pun menceritakan kedatangan Fathimah dan keinginannya untuk meminta seorang budak wanita yang bisa membantu pekerjaan-pekerjaannya.

‘Ali bin Abi Thalib melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mendatangi kami ketika kami sedang berada di pembaringan. Aku pun beranjak bangun, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarangku. Beliau bersabda, ‘Tetaplah di tempatmu.’ Beliau kemudian duduk di antara kami (di antara ‘Ali dan Fathimah, -pent.) sampai-sampai aku merasakan dinginnya/sejuknya kedua telapak kaki beliau di dadaku.

Rasulullah bersabda kembali, ‘Maukah kalian berdua kuberitahu sesuatu yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Apabila kalian sudah berada di pembaringan (hendak tidur), bacalah takbir (اَللهُ أَكْبَرُ) 33 kali, tasbih (سُبْحَانَ اللهِ) 33 kali, dan tahmid (اَلْحَمْدُ لِلهِ) 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu’.” (HR. al-Bukhari no. 6318)

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam datang menemui ‘Ali dan Fathimah, ‘Ali mengadu kepada beliau, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sungguh, saya telah memikul air sampai punggung saya terasa sakit.” Fathimah juga mengeluh, “Sungguh, saya senantiasa menggiling adonan sampai kedua tangan saya kapalan. Sungguh, Allah telah mendatangkan kepada Anda tawanan-tawanan perang dan keluasan rezeki, maka berilah kami seseorang yang bisa membantu kami.”

Namun, Rasulullah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan budak kepada kalian dan membiarkan ahlush shuffah[3] kelaparan karena tidak mendapatkan sesuatu yang dapat kugunakan untuk menafkahi mereka. Namun, akan kujual budak-budak itu dan akan kugunakan hasil penjualannya untuk menafkahi mereka.” (HR. al-Bukhari, Bab “Fardhul Khumus)

Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari pada akhir syarah di atas, mengatakan, “Hadits di atas memperlihatkan dengan jelas keistimewaan ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Dari hadits di atas kita juga mengerti betapa pengasih dan penyayangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada putri dan menantu beliau, yang semestinya kita mengambil teladan dari sikap beliau ini.” (Fathul Bari, syarah hadits no. 6318)

Pembaca Qonitah, rahimakumullah….

Hadits di atas menggambarkan kepada kita kesabaran Fathimah—putri Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus pemimpin kaum wanita penduduk surga—dalam menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga; keprihatinan hidup bersama sang suami, dan sikap menerima (qana’ah) beliau. Sungguh, semua sifat ini sangat dibutuhkan oleh setiap wanita agar dapat hidup bahagia dalam setiap kondisi, baik sempit maupun lapang.

Masih banyak lagi sifat mulia yang menghiasi sosok Fathimah radhiyallahu ‘anha bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melimpahkan kepada kita taufik-Nya untuk mengikuti jejaknya radhiyallahu ‘anha.

[1] Yang dimaksud dengan “beliau” di sini adalah perawi hadits di atas yang bernama ‘Amr bin Maimun.

[2] Yang dimaksud dengan “kami” di sini adalah Abu Ishaq as-Sabi’i, yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Amr bin Maimun. (Fathul Bari, syarah/penjelasan hadits no. 240)

[3] Ahlussuffah adalah fakir miskin dari kalangan sahabat, yang tinggal di bagian belakang masjid Nabi `.