Qonitah
Qonitah

etika meminang dalam islam

10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Etika Meminang dalam Islam

bahteraku-4Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma

Pada edisi yang lalu kita telah membahas masalah taaruf dan nazhor, maka pada edisi ini kita membahas masalah khitbah (meminang).

Sebelum masuk tahap khitbah, hendaklah seorang pria muslim bertanya kepada diri sendiri, “Apakah wanita yang akan kupinang itu termasuk wanita yang salihah? Mengapa aku memilih wanita itu untuk kujadikan istri?”

Ketahuilah, istri adalah fondasi dan tiang rumah tangga. Jika istri itu salihah, akan baiklah rumah tangga. Sebaliknya, jika si istri rusak, hancurlah rumah tangga. Seorang muslim harus berpikir panjang dalam hal memilih pasangan hidupnya. Hendaklah dia menggunakan akal yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya dan tidak semata-mata menggunakan perasaan. Dia harus teliti dan berhati-hati ketika memilih pasangan hidupnya dalam mendayung bahtera rumah tangga. Sebab, kebanyakan problem dan pertikaian rumah tangga bersumber dari kesalahan memilih pasangan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, teladan kita, memerintah orang yang akan menikah untuk memilih wanita yang memiliki agama (berpegang teguh pada agama Islam dan berakhlak mulia), yaitu wanita yang salihah.

Wanita salihah akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Kesalehannya mendorongnya untuk melaksanakan hak-hak suaminya dan menahannya sehingga tidak membangkang kepada suaminya. Dengan demikian, si suami mendapat ketenteraman dan kesenangan hidup bersamanya. Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berfirman,

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ

“Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian kecintaan dan kasih sayang.” (ar-Rum: 21)

Tidak ada kesenangan dan perhiasan di dunia ini yang bisa menandingi wanita salihah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang salihah.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr z)

Demikian juga si wanita. Ketika dipinang, hendaknya dia bertanya kepada dirinya, “Apakah pria tersebut termasuk pria yang saleh dan bertakwa?”

Kesalehan dan ketakwaan suami memberikan banyak pengaruh positif dalam kehidupan rumah tangga yang sarat dengan problem. Allah berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah memberikan jalan keluar baginya dan memberikan rezeki dari sisi yang tidak ia sangka.” (ath-Thalaq: 2—3)

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah memudahkan segala urusannya.” (ath-Thalaq: 4)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata, “Ini hadits hasan shahih.”)

Khitbah (Meminang)

Setelah seseorang mengetahui keadaan si wanita dan mantap untuk menjadikannya sebagai istri, dilakukanlah tahap khitbah. Khitbah adalah seorang pria meminta wanita dari walinya dengan tujuan menikahinya. Permintaan ini harus diungkapkan dengan jelas, seperti, “Saya ingin menikahi putri Bapak” atau “Saya ingin putri Bapak menjadi istri saya.”

Khihbah bertujuan mengetahui persetujuan si wanita dan walinya, karena keridhaan si wanita dan izin walinya adalah rukun pernikahan. Tidak sah pernikahan tanpa dua hal tersebut.

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melarang menikahi seorang wanita tanpa izinnya. Beliau bersabda,

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga diajak musyawarah, sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, ”(Izinnya adalah) diamnya.”

Dari hadits ini diketahui bahwa seorang janda harus dimintai persetujuannya secara terang-terangan oleh walinya ketika hendak dinikahkan. Adapun gadis, persetujuannya cukup dengan diamnya karena seringnya gadis itu malu untuk menyatakan izin terang-terangan. Namun, harus diperhatikan bahwa diamnya itu karena ridha, bukan karena menolak. Hal itu biasanya tidak akan samar bagi walinya dan akan tampak tanda-tandanya. Adapun tentang disyaratkannya persetujuan wali, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak ada (tidak sah, –pent.) nikah tanpa wali. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)

Khitbah bisa berbeda-beda caranya sesuai dengan situasi dan kondisi. Bisa dengan cara si pria mendatangi sendiri wali si wanita, lalu menyatakan niatnya; bisa dengan cara mengutus utusan, dan bisa juga melalui surat. Si pria boleh memilih cara yang memungkinkan baginya atau yang sesuai dengan keadaan setempat.

Jika pria yang meminang ingin mengurungkan niatnya untuk menikah, hendaknya dia mengabarkan hal itu dengan penuh adab dan sopan santun serta tidak menyiarkan pengunduran dirinya. Hal ini dilakukan agar tidak melukai hati si wanita dan keluarganya.

Salah Kaprah yang Terjadi Setelah Pinangan Diterima

Banyak kaum muslimin yang masih salah memahami makna khitbah. Mereka menganggap si wanita menjadi milik si pria setelah khitbah diterima, sehingga keduanya diizinkan berdua-duan, makan bersama, pulang dan pergi bersama, begadang bersama, dan seterusnya. Menurut mereka, semua itu agar keduanya bisa saling mempelajari akhlak pasangannya supaya pernikahan mereka berdua bahagia.

Subhanallah (Mahasuci Allah)! Bagaimana mungkin cara tersebut akan mendatangkan kebahagiaan jika syariat Allah yang mulia dilanggar? Sungguh, ini kekeliruan yang besar dan berbahaya. Pada hakikatnya, si wanita tetap haram bagi si pria hingga akad nikah terlaksana. Semua hukum yang terkait dengan wanita bukan mahram tetap berlaku padanya.

Kenyataan yang terjadi, pada masa perkenalan yang tidak syar’i itu setiap pihak akan berlaku semanis mungkin di depan pasangannya dan menampakkan segala sisi yang bagus saja. Hakikat asli baru akan tampak setelah mereka menikah, karena tidak mungkin seseorang terus berpura-pura. Bisakah seseorang mempelajari dan mengetahui dengan benar akhlak pasangannya dengan cara seperti itu? Yang lebih mengerikan, cara yang tidak syar’i tersebut menyebabkan banyak wanita hamil sebelum akad nikah. Wallahul musta’an. Nyatalah bahwa itu adalah kesalahan fatal. Itu adat buruk orang-orang kafir. Tidak sepantasnya kaum muslimin membebek kepada mereka setelah meyakini kebenaran agama yang sempurna ini, yang telah diridhai oleh Allah.

Menempuh jalan yang disyariatkan dalam seluruh tahapan proses pernikahan akan mengantarkan keduanya menuju bahtera rumah tangga yang bahagia dengan taufik Allah subhanahu wa ta’ala di bawah naungan ridha-Nya. Adapun cara-cara yang lain hanya berujung penyesalan.

Cincin Pertunangan

Beredar kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin, saat pria meminang wanita, keduanya saling memakaikan cincin pertunangan di jari pasangannya. Mengenai hal ini, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Mengenakan cincin pertunangan bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Jika diyakini bahwa cincin itu bisa menumbuhkan cinta antara pasangan suami istri dan tidak memakainya akan memengaruhi keharmonisan hubungan mereka, hal ini terhitung kesyirikan (yang pelakunya akan diazab di neraka, -pent.). Hal ini termasuk keyakinan jahiliah. Oleh karena itu, cincin pertunangan tidak boleh sama sekali dipakai karena:

  1. Tindakan tersebut adalah perbuatan membebek kepada orang-orang yang tidak ada kebaikan sama sekali pada mereka. Itu adalah adat (asing, pent.) yang datang kepada kaum muslimin, bukan adat kaum muslimin.
  2. Jika disertai keyakinan bisa memengaruhi keharmonisan suami istri, pemakaian cincin tersebut termasuk kesyirikan. Wala haula wala quwwata illa billah.”

(alMuntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah alFauzan)

Larangan bagi Pria Meminang Wanita yang Sedang Dipinang oleh Saudaranya Sesama Muslim

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang pria muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya sesama muslim. Sebab, hal ini mengandung kezaliman dan tidak menghargai hak saudaranya, sehingga bisa mengundang permusuhan dan kebencian. Beliau n bersabda,

لاَ يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ

“Janganlah salah seorang dari kalian meminang (wanita) yang telah dilamar oleh saudaranya, hingga pelamar sebelumnya meninggalkan si wanita atau memberi izin kepadanya. (Muttafaqun ‘alaihi)

Jika seorang pria muslim telah meminang si wanita, pria lain tidak boleh meminangnya, kecuali pada salah satu dari tiga keadaan berikut.

  1. Diketahui dengan jelas bahwa pelamar pertama ditolak.
  2. Pelamar pertama meninggalkan lamarannya.
  3. Pelamar pertama memberi izin kepada pria kedua untuk meminang, yang hal ini berarti pelamar pertama mengundurkan diri.

Adapun kisah Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha yang meminta nasihat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tatkala dilamar oleh tiga sahabat mulia, yaitu Abu Jahm, Mu’awiyah, dan Usamah radhiyallahu ‘anhum, hal ini dibawa kepada pemahaman bahwa para sahabat tersebut tidak saling mengetahui lamaran saudaranya.

Wali boleh menawarkan putrinya kepada pria yang saleh untuk dinikahkan dengannya, sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya, Hafshah radhiyallahu ‘anha. ‘Umar menawarkan Hafshah kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, tetapi ‘Utsman belum berhasrat untuk menikah lagi. Kemudian, ‘Umar menawarkannya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, tetapi Abu Bakr tidak memberikan keputusan—karena menjaga rahasia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian, datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meminang Hafshah dan menikahinya.

Wallahu a’lam bishshawab.