Konsumerisme merupakan fenomena yang telah lama populer di Barat. Dalam sistem kapitalisme Barat, konsumsi tanpa kontrol produk dan tidak menggunakan barang yang baru dibeli merupakan tindakan wajar.
Menurut sejumlah cendekiawan, perilaku konsumtif saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. (Republika. co.id)
Besarnya pengaruh budaya konsumerisme ini telah lama melanda dunia. Kehidupan masyarakat pada umumnya diwarnai dan dikendalikan oleh kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendidik, karena justru mengajarkan keborosan, kerakusan, dan kesia-siaan dalam segala sesuatu yang dikonsumsi untuk kepuasan sendiri.
Lebih-lebih pada momen-momen khusus yang terjadi di sepanjang tahun, yang mendorong setiap individu untuk bertindak konsumtif. Akibatnya, timbul dampak negatif pada sikap, perilaku, gaya hidup, dan cara berpikir tentang hidup, baik secara individu maupun sosial.
Konsumerisme Bukan Gaya Hidup
Kemewahan, kebanggaan, dan ambisilah yang membuat orang sulit menahan keinginan membelanjakan uangnya, lebih-lebih pada momen keagamaan, seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183)
Bagi kaum muslimin, bulan ini adalah bulan yang penuh berkah. Bulan ini menjadi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah, melatih diri agar hidup lebih sederhana, menahan hawa nafsu, dan ikut merasakan kesulitan serta kekurangan yang dirasakan oleh golongan ekonomi lemah. (Majalis Ramadhan, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v)
Akan tetapi, di Indonesia yang merupakan negara muslim, budaya konsumtif justru dimulai menjelang Ramadhan. Budaya ini semakin menjadi-jadi menjelang akhir Ramadhan, mendekati Idul Fitri. Sebagian besar masyarakat, termasuk kaum muslimah, berlomba-lomba membeli barang-barang baru untuk dipakai pada hari raya. Sepertinya, esensi puasa pada bulan yang agung ini nyaris terlupakan dan terkalahkan oleh popularitas budaya konsumtif ini.
Ditambah lagi, tidak sedikit yang justru kebablasan, cenderung berlebihan dan menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang sebetulnya di luar kebutuhan. Padahal, pemborosan dan sikap berlebih-lebihan adalah perilaku yang bertolak belakang dengan Islam. Sebab, semua itu bukan gaya hidup yang diajarkan oleh Islam.
Memang, Islam telah memberikan perhatian besar terhadap kebutuhan kaum perempuan, khususnya perhiasan, kecantikan, dan pakaian, melebihi perhatiannya terhadap kebutuhan kaum lelaki. Sebab, bagi perempuan, perhiasan dan kecantikan adalah sesuatu yang sangat penting. Perempuan diciptakan oleh-Nya dengan naluri senang menampakkan perhiasan dan kecantikan.
Maka dari itu, syariat membolehkan mereka mengenakan pakaian sutra dan memakai perhiasan emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي، وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi kaum lelaki dari umatku, tetapi dihalalkan bagi kaum perempuannya.” (HR. at-Tirmidzi)
Boleh jadi, dengan alasan mempercantik diri demi menyenangkan suami, banyak muslimah yang justru berlebihan ketika membelanjakan hartanya.
Memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan kehidupan dan menjalankan ibadah adalah hal yang diperintahkan. Akan tetapi, menghambur-hamburkan harta demi memenuhi sesuatu di luar kebutuhan adalah hal tercela, dan inilah yang disebut perilaku tabdzir dan israf.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٣١
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang bagus setiap (kalian memasuki) masjid, dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (al–A’raf: 31)
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا ٦٧
“Dan (termasuk hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar.” (al–Furqan: 67)
وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا ٢٧
“...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al–Isra’: 26—27)
Al-Imam Ibnul Jauzi v berkata, “Tentang makna tabdzir, ada dua pendapat. Menurut pendapat pertama, tabdzir adalah membelanjakan harta di luar kebutuhan yang dibenarkan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas . Al-Imam Mujahid mengatakan, ’Andaikan ada orang yang membelanjakan seluruh hartanya pada jalur yang benar, dia bukan orang yang mubadzdzir (melakukan tabdzir). Sebaliknya, jika dia menafkahkan bahan makanan sebanyak satu cakupan telapak tangan di luar jalur yang benar, dia termasuk orang yang mubadzdzir.’
Al-Imam az-Zajjaj berkata, ‘Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk selain ketaatan kepada Allah. Dahulu masyarakat jahiliah menyembelih unta dan menghambur-hamburkan harta dalam rangka membanggakan diri dan mencari ketenaran. Kemudian, Allah memerintahkan untuk membelanjakan harta dalam rangka mencari keridhaan-Nya, yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.’
Menurut pendapat kedua, tabdzir adalah menghambur-hamburkan harta sampai habis. Ini keterangan yang disampaikan oleh al-Mawardi. Abu ‘Ubaidah berkata, ‘Orang mubadzdzir adalah yang berlebihan, yang menghabiskan dan menghancurkan harta’.” (Zadul Masir, Ibnul Jauzi v)
Pembaca, mengumpulkan kekayaan, mengejar kemewahan, dan menjadikan makan serta minum sebagai gaya hidup adalah perilaku yang mengundang azab Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَآ أَرَدۡنَآ أَن نُّهۡلِكَ قَرۡيَةً أَمَرۡنَا مُتۡرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيۡهَا ٱلۡقَوۡلُ فَدَمَّرۡنَٰهَا تَدۡمِيرٗا ١٦
“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintah orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi mereka justru melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu. Oleh karena itu, sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (al–Isra’: 16)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kemewahan adalah salah satu sebab kebinasaan dan kehancuran sebuah masyarakat. Salah satu jalan mengejar kemewahan adalah budaya konsumtif.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَأۡكُلُونَ كَمَا تَأۡكُلُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثۡوٗى لَّهُمۡ ١٢
“...dan mereka makan seperti makannya hewan, dan (kelak) nerakalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Ayat ini mengabarkan bahwa ada segolongan orang, yaitu orang-orang kafir, yang semangat hidupnya sebatas pada makan dan minum. Sementara itu, budaya konsumtif mendekatkan seseorang kepada semangat seperti ini dan menjauhkannya dari semangat keagamaan.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
“Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (al–Humazah: 3)
Sesungguhnya, manusia tidak akan hidup abadi di dunia, meski hartanya melimpah ruah dan barang-barang mewahnya berserakan.
Rasulullah n menjelaskan bahwa seorang muslim merasa cukup dengan makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مَلَأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً قَطُّ شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، يَكْفِي لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَابُدَّ فَاعِلًا فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah manusia mengisi bejana yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang ia harus mengisinya, ia jadikan sepertiga perut untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Adapun orang-orang kafir, meskipun bersenang-senang dengan banyak makan dan minum, mereka tidak akan merasakan kepuasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ يَأْ كُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالْكَا فِرُ يَأْ كُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
“Seorang mukmin makan dengan satu lambung, sedangkan seorang kafir makan dengan tujuh lambung.” (HR. al-Bukhari)
Maka dari itu, jangan sampai seorang muslim dan muslimah menjadikan konsumerisme sebagai gaya hidup. Sebab, perilaku tersebut hanya pantas bagi orang-orang kafir yang mengejar kesenangan dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
An-Nawawi menjelaskan bahwa setiap mukmin dipenjara di dunia ini dan dilarang melampiaskan syahwat yang haram dan dibenci. Di sisi lain, ia dibebani untuk melaksanakan ketaatan yang terasa berat olehnya. Akan tetapi, ketika meninggal dunia, ia beristirahat dari semua ini dan situasi pun berbalik. Ia menuju kenikmatan abadi dan peristirahatan yang nyaman yang tidak ada kekurangannya sedikit pun, yang telah dipersiapkan oleh Allah untuknya.
Adapun orang kafir, dia mendapatkan apa yang diinginkannya di kehidupan dunia. Itu pun sedikit saja dan diwarnai berbagai kesulitan hidup. Ketika mati, ia pun menuju siksaan yang tiada henti dan kesengsaraan yang abadi. (Syarh Shahih Muslim)
Wallahu a’lam.