Berwudhu dengan Bimbingan Syariat (Bagian Pertama)
Bersuci dalam rangka menghilangkan hadats[1] ada tiga macam: (1) wudhu, (2) mandi, dan (3) tayammum sebagai pengganti wudhu dan mandi. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan ketiganya dalam satu ayat, yaitu dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri untuk shalat, basuhlah wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku; usaplah kepala kalian; dan (basuhlah) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki. Jika kalian dalam keadaan junub, bersucilah. Jika kalian sakit, atau dalam keadaan safar, atau setelah buang air, atau setelah ‘menyentuh’ wanita, kemudian kalian tidak mendapatkan air, bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik, yaitu usaplah wajah dan tangan-tangan kalian. Allah tidak menginginkan sesuatu yang memberatkan kalian, tetapi Dia ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian sehingga kalian bersyukur.” (al-Maidah: 6)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah, dalam Tafsir beliau, menyebutkan lebih dari lima puluh faedah hukum yang bisa diambil dari ayat ini. Akan kami sebutkan faedah yang terkait dengan bahasan kali ini, yaitu masalah wudhu. Di antara yang beliau sebutkan adalah:
Termasuk membasuh wajah adalah berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) berdasarkan tuntunan yang disebutkan oleh as-Sunnah. Demikian pula membasuh rambut-rambut yang tumbuh di wajah. Jika rambut yang tumbuh di wajah ini tipis[5], diwajibkan sampainya air ke bagian kulit; jika rambut tersebut tebal, cukup dibasuh bagian luar rambut.
Tata Cara Wudhu Menurut Sunnah Nabi
Sebagai penyampai syariat Allah kepada umat manusia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga telah mencontohkan tata cara wudhu yang benar kepada kita. Walhamdulillah, para sahabat telah mengisahkan kepada kita tata cara wudhu yang mereka saksikan dan dengar langsung dari uswah kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama pun bersemangat mengumpulkan hadits-hadits tentang tata cara wudhu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.
Di antara hadits yang cukup lengkap menggambarkan tata cara wudhu adalah hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, hadits ini disebut ‘umdah (pedoman) tata cara wudhu. Selain itu, ada pula hadits dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr, dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.
Berdasarkan ayat ke-6 dari surat al-Maidah dan berdasarkan banyak hadits, para ulama merumuskan bahwa wudhu memiliki rukun-rukun dan sunnah-sunnah.
Rukun Wudhu
Mengapa Hanya 4 Anggota Badan yang Menjadi Anggota Wudhu?
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, dalam karya beliau yang berjudul Miftah Daris Sa’adah, menjelaskan bahwa di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala mengkhususkan empat anggota tubuh saja sebagai anggota wudhu adalah:
Mengapa Kepala Hanya Diusap, Tidak Dibasuh?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan, di antara hikmah diusapnya kepala dalam ibadah wudhu, dan tidak perlu dibasuh[17], “Ini merupakan kemudahan dari Allah bagi para hamba-Nya. Sebab, pada umumnya kepala ditumbuhi rambut, sedangkan sifat rambut adalah menyerap air. Jika kepala harus dibasuh, akan banyak air tertahan di kepala dan terserap ke dalam tubuh. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan, lebih-lebih pada saat cuaca dingin.”
Sunnah-sunnah Wudhu
Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah:
Adapun mengusap kepala, yang dituntunkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sekali saja.
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ، فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوُضُوءَ، ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya kemudian mengucapkan أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga, dia bisa memasukinya dari pintu mana saja yang dia mau.” (HR. Muslim)
[1] Hadats adalah suatu sifat dalam diri seseorang yang menyebabkan dia tidak boleh melakukan ibadah yang harus dilakukan dalam keadaan suci darinya sampai dia mengangkat/menghilangkan hadats itu.
[2] Misalnya, seseorang berwudhu untuk shalat zhuhur, lalu mengerjakan shalat zhuhur dan wudhunya tidak batal sampai datang waktu shalat asar. Dalam keadaan ini disunnahkan baginya berwudhu lagi walaupun wudhunya untuk shalat zhuhur belum batal.
[3] Ini sebagai patokan bagi mereka yang botak dan yang semisalnya.
[4] Dari batasan ini, sangat penting untuk kita tidak lupa membasuh kulit yang terletak di antara telinga dan rambut yang tumbuh di wajah (merupakan bagian dari jenggot pada kaum pria).
[5] Dikategorikan tipis jika kulit masih terlihat.
[6] Yakni dalam firman-Nya ﭞ.
[7] Sunnah nabawiyah menunjukkan bahwa beliau n mengusap seluruh kepala beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim z.
[8] Bahkan, asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa mengusap kepala terlebih dahulu lalu mengusap telinga termasuk sunnah.
[9] Sebagian ulama memasukkan niat sebagai syarat sahnya wudhu, bukan rukunnya.
[10] Ada perbedaan mendasar antara menghilangkan hadats dan menghilangkan najis. Menghilangkan najis tidak dipersyaratkan niat, sebagaimana sudah dikemukakan pada pembahasan menghilangkan najis.
[11] Apakah disyaratkan memutar-mutar air di dalam mulut ketika berkumur? Jika air yang dimasukkan ke mulut untuk berkumur itu sedikit, perlu diputar-putar di dalam mulut agar mengenai seluruh bagian dalam mulut. Adapun jika airnya banyak, seluruh bagian dalam mulut sudah terbasahi walaupun air tidak diputar-putar sehingga tidak disyaratkan memutar-mutar air.
[12] Berkumur dan istinsyaq dilakukan sekaligus dari satu cidukan tangan, dan yang sunnah adalah dilakukan tiga kali, baru membasuh wajah.
[13] Batas kepala yang dimaksud di sini adalah tempat tumbuhnya rambut. Jadi, jidat, leher, dan tengkuk tidak termasuk di dalamnya.
[14] HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani menyebutkannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
[15] Diistilahkan dengan muwalah, yang oleh sebagian ulama diartikan bahwa anggota wudhu harus disucikan sebelum anggota wudhu sebelumnya mengering. Misalnya, tangan harus sudah dibasuh sebelum wajah mengering. Ini semua dengan ukuran bahwa cuacanya pertengahan, tidak terlalu lembab (sehingga anggota wudhu tidak segera mengering), dan tidak terlalu kering (sehingga anggota wudhu lebih cepat mengering).
[16] Yang dimaksud tindakan yang tidak perlu di sini adalah perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan wudhu. Misalnya, ketika seseorang berwudhu dan sudah membasuh wajah, tiba-tiba mendengar bayinya menangis. Kemudian, dia sibuk menenangkan bayinya hingga kering wajahnya. Dalam hal ini dia harus mengulang wudhunya dari awal. Sebaliknya, jika perbuatan yang menyelingi wudhu itu terkait dengan wudhu itu sendiri, dia boleh melanjutkan wudhunya. Misalnya, setelah membasuh wajah dan akan membasuh kedua tangan, dia mendapati di jari tangannya ada cat yang menempel sehingga menghalangi sampainya air ke kulit. Akhirnya, dia sibuk menghilangkan cat tersebut dari kulitnya sampai kering wajahnya. Dalam kondisi ini dia boleh melanjutkan wudhu dan langsung membasuh tangannya.
[17] Hakikat perbedaan antara pengusapan dan pembasuhan adalah bahwa pada pembasuhan/pencucian, disyaratkan adanya air yang mengalir ke anggota wudhu, sedangkan pada pengusapan, tangan cukup dibasahi lalu diusapkan ke kepala.
[18] Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa berwudhu dari timba/gayung lebih baik daripada berwudhu dari keran air. Sebab, menggunakan air dari keran memungkinkan terbuangnya air secara sia-sia dalam jumlah lebih banyak, kecuali jika seseorang mau bersabar dengan cara mengambil air dari keran, lalu menutup keran dengan salah satu jarinya, baru kemudian membasuh wajah, lalu membuka keran lagi untuk membasuh kedua tangan, dst.