Qonitah
Qonitah

berbekal tawakal sejati menjemput karunia ilahi

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Berbekal Tawakal Sejati Menjemput Karunia Ilahi

pilar-15Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus

Saudariku fillah, pada edisi-edisi yang telah lalu kita telah mempelajari beberapa macam ibadah, yaitu ad-du’a (doa), al-mahabbah (cinta), al-khauf (rasa takut), dan ar-raja’ (harapan). Di antara macam-macam ibadah lainnya adalah at-tawakkul (tawakal).

at-Tawakkul (Tawakal)

Ketahuilah, Saudariku fillah, tawakal merupakan ibadah qalbiyyah (ibadah hati). Bahkan, tawakal termasuk ibadah yang paling utama.

Yang dimaksud dengan tawakal adalah menyandarkan hati dengan sebenar-benarnya kepada Allah dalam hal mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat; menyerahkan seluruh urusan hanya kepada-Nya; dan merealisasikan iman dengan meyakini bahwa tidak ada yang bisa memberi atau menahan pemberian, menimpakan mudarat atau mendatangkan manfaat, kecuali Allah semata. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali)

Banyak sekali dalil, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, yang memerintah kita untuk bertawakal hanya kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٣

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (al-Maidah: 23)

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ

 “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kecukupan kepadanya.” (ath-Thalaq: 3)

 

Macam-macam Tawakal

Asy-Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ketahuilah, tawakal itu ada beberapa macam.

Pertama, tawakal kepada Allah l. Ini merupakan kesempurnaan iman dan tanda kejujuran iman seseorang. Tawakal jenis ini wajib hukumnya. Tanpanya keimanan tidak akan sempurna.

Kedua, tawakal yang tersembunyi. Maksudnya, seseorang bertawakal kepada orang yang telah mati dalam hal mendatangkan manfaat atau menolak mudarat. Tawakal jenis ini merupakan syirik besar. Tawakal ini hanya terjadi pada orang yang meyakini bahwa orang yang telah mati tersebut memiliki kuasa secara tersembunyi dalam mengatur alam semesta. Sama saja apakah orang yang telah mati tersebut nabi atau wali, atau bahkan thaghut, musuh Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketiga, tawakal atau bergantungnya seseorang kepada orang lain dalam urusan yang memang orang lain tersebut memiliki kuasa di dalamnya, disertai perasan bahwa orang lain tersebut berkedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Contohnya, seseorang bergantung kepada orang lain dalam hal pekerjaan dan yang semisalnya. Tawakal seperti ini masuk dalam kategori syirik kecil karena kuatnya ketergantungannya kepada orang lain.

Adapun jika dia meyakini bahwa bersandarnya dirinya kepada orang lain itu hanyalah sebagai sebab, dan bahwa Allah-lah yang mendatangkan rezeki kepadanya melalui orang lain, hal ini tidak mengapa.” (Syarh al-Ushuluts Tsalatsah)

 

Antara Tawakal dan Ikhtiar (Usaha)

Tawakal kepada Allah tidaklah berarti tidak melakukan usaha-usaha fisik yang mubah. Allah telah memberitakan kepada orang-orang yang beriman bahwa Dia bersama mereka, akan memenangkan agama-Nya, dan menolong hamba-Nya. Akan tetapi, Allah memerintah mereka untuk melakukan persiapan dan menghimpun kekuatan dalam melawan orang-orang kafir.

Allah juga telah menjamin rezeki setiap hamba. Akan tetapi, Allah memerintah mereka untuk bekerja mencari karunia Allah tersebut. Hal ini tidak berarti Allah tidak mampu menolong hamba-Nya ketika hamba tersebut tidak melakukan persiapan. Hal ini juga tidak berarti Allah tidak mampu mendatangkan rezeki kepada hamba-Nya ketika hamba tersebut tidak berusaha. Namun, sudah menjadi ketetapan Allah di alam semesta ini bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan sebab akibat.

Perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan manusia berketurunan. Allah menjadikan hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan sebagai sebab adanya keturunan. Seandainya Allah menghendaki, sangat mudah bagi Allah menciptakan manusia tanpa keberadaan laki-laki sebagaimana terjadi pada ‘Isa, tanpa keberadaan perempuan sebagaimana terjadi pada Hawa, bahkan tanpa keberadaan laki-laki dan perempuan sebagaimana terjadi pada Adam.

Api bersifat panas, air bersifat dingin, besi bersifat keras, dst., karena Allah menetapkannya demikian. Seandainya Allah menghendaki, api yang panas akan menjadi dingin sebagaimana terjadi pada Ibrahim, dan besi yang keras akan menjadi lunak sebagaimana terjadi pada Dawud. Ini semua menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Hanya saja, Dia menjadikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki sebab-sebab. Dia juga memerintah para hamba-Nya untuk menempuh sebab-sebab tersebut sebagai ujian bagi mereka.

Jika hal ini telah dipahami, ketahuilah bahwa tawakal itu sendiri merupakan sebab terbesar. Dengan tawakal, akan teraih hal-hal yang diinginkan. Ketergantungan hati seseorang kepada Allah secara penuh, dalam setiap usaha yang dia tempuh sesuai dengan sebab-sebab yang telah dijadikan oleh Allah, merupakan kunci terbesar keberhasilan. Oleh karena itu, dalam usaha mencapai setiap tujuannya, seorang mukmin selalu menggantungkan hatinya kepada Allah dengan menempuh sebab-sebab yang mubah. Inilah hakikat tawakal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung itu keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Perhatikanlah hadits ini dengan saksama. Dalam hadits ini Rasulullah menggambarkan hakikat tawakal, yaitu apabila seseorang menggantungkan rezekinya hanya kepada Allah, hatinya tidak bergantung kepada siapa pun selain-Nya, kemudian dengan badannya dia berusaha keluar mencari karunia Allah, niscaya Allah memberinya rezeki yang selalu berganti setiap hari. Dia tidak perlu menyimpan rezeki hari ini untuk besok, sebagaimana burung yang keluar dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong, lalu pulang pada sore hari dengan perut kenyang.

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah mengibaratkan tawakal sejati dengan tindakan seekor burung. Apakah burung tersebut diam di sarangnya, menunggu rezeki jatuh dari langit? Itulah hakikat tawakal.

 

Rasulullah, Manusia yang Paling Bertawakal kepada Allah

Tentu kita semua sepakat bahwa Rasulullah adalah manusia yang paling bertawakal kepada Allah. Bahkan, dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, disebutkan bahwa Allah menamai beliau dengan al-Mutawakkil (orang yang bertawakal kepada Allah).

Meskipun demikian, pada Perang Uhud beliau keluar dengan mengenakan baju besi rangkap dua. Beliau juga memakai perisai. Saat beliau terluka dalam perang tersebut, putri beliau berusaha menghentikan darah yang mengucur dari wajah beliau. Saat safar, beliau membawa bekal. Saat lapar, beliau keluar rumah mencari karunia Allah, dst. Itu semua dilakukan oleh orang yang paling bertawakal kepada Allah.

 

Antara Tawakal dan Ittikal (Pasrah tanpa Usaha)

Telah dijelaskan bahwa tawakal sejati adalah dengan berusaha menempuh sebab-sebab fisik yang mubah dan menyandarkan hasilnya kepada Allah, disertai keyakinan bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat kebaikan. Adapun orang yang tidak menempuh sebab dan tidak berusaha sama sekali untuk meraih keinginannya, yang terjadi padanya ini bukan tawakal. Akan tetapi, yang terjadi padanya ini disebut ittikal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhawatirkan ittikal ini terjadi pada umat beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada salah seorang sahabat, yaitu Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas para hamba dan hak hamba atas Allah?”

Mu’adz berkata, “Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu’.”

Beliau menyabdakan, “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Adapun hak hamba atas Allah adalah Dia tidak mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Mu’adz berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah saya menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?’.”

Beliau menjawab, “Jangan, nanti mereka justru berittikal (bersandar pada berita tersebut dan tidak mau beramal).”

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam meletakkan satu kaidah yang sangat agung, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak mau berusaha tidaklah teranggap sebagai tawakal sedikit pun. Seandainya hal itu merupakan tawakal, niscaya Rasulullah akan menganjurkannya, bukan justru mengkhawatirkannya. (Lihat al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh ‘Utsaimin).

Wallahu a’lam.